Aktivis Korban Penculikan 1998 Hadiri Slepet Imin di Jember
Faisol Riza, aktivis yang menjadi korban penculikan pada 1998 hadir dalam agenda Slepet Imin di Jember, Jawa Timur, Sabtu, 3 Februari 2024 malam. Ketua Komisi VI DPR RI dari PKB itu sempat bercerita singkat terkait tragedi kemanusiaan itu.
Ia diminta langsung oleh Cak Imin naik ke atas panggung. Hal itu dilakukan untuk merespons salah satu peserta Slepet Imin, Ovizon. Pada kesempatan itu, alumni FH Unej yang berprofesi sebagai advokat itu memberikan sebuah buku berjudul Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998.
Secara singkat Ovizon menyampaikan salah satu isi dalam buku karya Muhidin M. Dahlan dan Zen RS. Salah satu tokoh penculikan dalam buku ini berdasarkan hasil psikotes salah satunya haus kekuasaan.
Menanggapi pemberian buku itu, Cak Imin memanggil Faisol Riza naik ke atas panggung. Faisol kemudian langsung bercerita singkat mengenai peristiwa yang dialami.
Faisol berkisah, kran kebebasan berpendapat dan demokrasi di Indonesia tak terlepas dari peran para aktivis dari Sabang sampai Merauke. Mereka melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran pada 1998, menyikapi krisis moneter yang melanda Indonesia sejak 1997.
Wajah Indonesia saat itu dipenuhi dengan masyarakat yang mengantre untuk mendapatkan beras dan minyak tanah. Harga kebutuhan pokok yang meroket saat itu tidak dapat dijangkau oleh masyarakat.
Kondisi yang semakin buruk itu menimbulkan kegelisahan dalam benak aktivis. Mereka kemudian serentak melakukan aksi unjuk rasa.
Perjuangan mereka tidak berjalan mulus, melainkan mendapat perlawanan dari penguasa. Penguasa melakukan operasi sehingga banyak aktivis yang hilang tanpa jejak.
14 Aktivis Hilang, 9 Dibebaskan
Faisol mencatat ada 14 aktivis yang hilang dan sembilan aktivis dibebaskan. Sembilan aktivis yang dibebaskan oleh penguasa itu, bukan karena penguasa berniat baik, tetapi karena tuntutan internasional.
“Saat itu Indonesia mengajukan hutang luar negeri ke IMF dan IGGI. Salah satu syarat agar dipenuhi adalah dengan membebaskan para aktivis,” ungkap Faisol.
Salah satu aktivis yang dibebaskan adalah Faisol Riza. Ia diculik dan disekap selama dua bulan sejak tanggal 12 Maret 1998 atau sehari pasca MPR memilih Soeharto. Faisol dibebaskan pada bulan Mei 1998.
Meskipun mengalami sakit karena korban penculikan, Faisol tidak menceritakan kepada semua orang, termasuk orang tuanya. Saat orang-orang bertanya, Faisol menjawab pergi melaksanakan ibadah haji.
“Saya disekap bersamaan dengan waktu pemberangkatan jamaah haji dan dibebaskan saat jamaah pulang. Sehingga saat ditanya saya mengatakan selesai melaksanakan ibadah haji,” jelasnya.
Lebih jauh, Faisol mengatakan, peristiwa menakutkan itu sampai saat ini belum diadili. DPR RI telah melakukan upaya membongkar dan merekomendasikan pembentukan pengadilan ad hoc terhadap pelanggaran HAM berupa penghilangan paksa.
Namun, sampai saat ini pemerintah belum menjalankan rekomendasi tersebut. Presiden Jokowi sudah 10 tahun berjanji membuka kasus, namun tak kunjung ditepati.
Isu penculikan itu menjadi isu lima tahunan setiap pelaksanaan pemilu. Tidak sedikit dari mereka yang tidak memahami konteks peristiwa tersebut turut berkomentar.
Padahal sebelum pelaksanaan pemilu, mereka sama sekali tidak peduli dengan tragedi kemanusiaan itu. Sampai saat ini, korban penculikan yang dibebaskan masih terus mencari keberadaan teman-teman mereka.
“Kami sampai saat ini selalu mencari keberadaan teman-teman kami yang masih hilang sampai hari ini. Kalau pemerintah tidak peduli. Biar kami yang mencari sampai ketemu di mana kuburnya,” pungkasnya.