Aktifkan Kegiatan Seni di Balai Pemuda Sesuai SE Walikota
Oleh: Jil Kalaran
Baru-baru ini, sejumlah seniman yang dimotori oleh (semoga saya tidak salah) Butet Kartarajasa, menemui Presiden Jokowi.
Mereka ingin memperoleh pedoman yang final untuk standar nasional. Seperti apa aturan-aturan mainnya.
Usai pertemuan, Butet, Ratna Riantiarno dan Rentasari (wakil swasta, katanya) melakukan konferensi pers.
Presiden, kata Butet, mengatakan masih mengacu pada pedoman lama, bahwa pertunjukan seni di dalam gedung bisa dilaksanakan sampai 50% kapasitas gedung. Mulai Maret diperkirakan bisa bertambah hingga 70% sampai 80% dari kapasitas gedung.
Pemerintah sedang mengolah dan kepastiannya akan diumumkan pada bulan Maret.
Saya melihat, pada intinya, presiden mendorong agar kegiatan seni budaya bisa tetap berlangsung dan bahkan tidak boleh mati di tengah situasi pandemi ini, meskipun setiap daerah punya otonominya sendiri.
Dari pernyataan presiden, sebenarnya sudah clear urusannya. Artinya, kegiatan kesenian tidak boleh berhenti.
Tapi ternyata tidak. Di zaman otonomi ini, ketentuan pusat belum tentu bisa berjalan pada ketentuan daerah.
Seperti yang dikatakan Ratna Riantiarno dalam keterangan pers tersebut, bahwa apa kata pimpinan belum tentu bisa dilaksanakan oleh bawahan.
Bahkan yang lebih ekstrem lagi, sudah sangat jelas tertulis dalam edaran serta peraturan-peraturan lainnya, tetap saja bawahan tak berani ambil risiko.
Saya bertanya-tanya, sebenarnya tidak berani ambil risiko atau ini hanya bentuk kemalasan?
Coba sejenak kita lihat apa yang terjadi di Surabaya dalam urusan kegiatan seni.
Seperti yang diberitakan di berbagai media di Surabaya, Walikota Surabaya mengeluarkan surat edaran tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 2 Covid 19 yang berlaku mulai 8 Februari 2022 sampai 14 Februari 2022.
Dalam Surat Edaran itu tertulis, bahwa pelaksanaan kegiatan pada sektor esensial seperti fasilitas pusat kebugaran/gym, ruang pertemuan/ruang rapat/meeting room, dan ruang pertemuan dengan kapasitas besar/ballroom, diizinkan buka dengan memakai aplikasi PeduliLindungi dan kapasitas maksimal 50 persen dan penyediaan makanan/minuman disediakan dalam box dan tidak ada hidangan prasmanan.
Fasilitas umum (area publik, taman umum, tempat wisata umum dan area publik lainnya) diizinkan buka dengan kapasitas minimal 50 persen dengan menerapkan prokes yang diatur oleh Kemenkes. Jam operasionalnya pukul 06.00–21.00. Tempat wisata yang operasionalnya mulai pukul 18.00 diizinkan buka sampai Pukul 00:00 WIB.
Nah ini yang penting, kegiatan seni budaya, olahraga dan sosial masyarakat (loka seni, budaya, sarana olahraga dan kegiatan sosial yang dapat menimbulkan keramaian dan kerumunan) diizinkan buka dengan kapasitas maksimal 50 persen dengan menerapkan prokes yang ketat.
Jam operasionalnya dimulai pukul 06:00 berakhir 21:00. Sedangkan untuk kegiatan yang dimulai pukul 18.00 berakhir pukul 00:00 WIB.
Saya kira apa yang tertera dalam Surat Edaran Wali Kota Surabaya ini sudah sangat jelas. Seharusnya sudah menjadi kewajiban bagi instansi yang ada di bawahnya untuk melaksanakan surat edaran ini dengan sebijak-bijaknya.
Bisa dipahami jika ada kekhawatiran. Tetapi kekhawatiran yang berlebihan (paranoid) terhadap masalah pandemi ini juga menjadi tidak bijaksana.
Kegiatan seni di kompleks Balai Pemuda Surabaya harus dilihat sebagai kegiatan yang penting. Kalau warga kota masih bisa berbelanja di mall, makan di kafe-kafe, restoran dan di area publik lainnya, lantas mengapa kegiatan serupa tidak bisa dilakukan di kompleks Balai Pemuda?
Apa yang membedakan antara kegiatan di kompleks Balai Pemuda dengan di area publik lainnya?
Menurut saya, para bawahan walikota harus proporsional melihatnya. Azas keadilan harus dipakai.
Selama kegiatan-kegiatan tersebut tidak melanggar prokes yang telah ditentukan oleh Kemenkes, juga ketentuan yang diberlakukan melalui Surat Edaran Wali Kota Surabaya itu, maka tak ada alasan apa pun untuk tidak mengizinkan kegiatan seni di Balai Pemuda.
Lalu siapa yang akan menjamin agar prokes itu terlaksana sehingga kegiatan-kegiatan bisa berlangsung lancar dan aman? Pertama-tama, tentu saja pihak Pemkot, sebab Pemkot punya semua perangkat untuk melaksanakannya.
Kedua, ya seniman. Saya yakin para seniman akan ikut menjaga semua peraturan itu. Para seniman bukanlah sekelompok manusia barbar, gak bisa diatur, dan sebutan lainnya yang negatif. Buang jauh-jauh asumsi negatif ini.
Saatnya fokus menjadikan Kota Surabaya sebagai kota kreatif. Sarana dan prasarana (meski belum sempurna) untuk menjadikan Kota Surabaya sebagai kota kreatif sebenarnya boleh dibilang sudah menunjang.
Ingat kata Presiden Jokowi ; dunia seni jangan berhenti, jangan mati.
Ayo hidup berdampingan dengan pandemi dengan cara-cara yang kreatif.
*Jil Kalaran, Pekerja seni
Advertisement