Aksi Represif Kekuasaan, Din dan Kambing Hitam
Akhir-akhir ini ada kekhawatiran dari kaum intelektual terhadap kemungkinan aksi represif dari pemerintah terhadap kritik-kritik yang disampaikan. Ekonom senior Kwik Kian Gie termasuk yang awal menyuarakan kekhawatiran tersebut.
Kasus pelaporan salah seorang tokoh moderat Din Syamsudin kepada aparat keamanan kiranya dapat memperkuat sinyalemen tersebut di atas. Pasal 28 huruf I UUD menjamin kebebasan setiap warga negara, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran secara berlebihan.
Saya pernah mendengar pernyataan dari Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo agar aparatnya bertindak selektif dalam memproses pengaduan terjadinya pelanggaran kebebasan berpendapat.
Pada sisi lain Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk memberikan kritik, artinya tetap mempunyai komitmen terhadap kebebasan berpendapat seperti dipraktikkan selama 6 tahun memimpin pemerintahan. Dalam dua bulan terakhir, dinamika politik sangat tinggi, sehingga suasana euforia demokrasi sangat terasa, khususnya terjadinya silang pendapat para buzers dengan saingannya secara tajam.
Dalam suasana seperti itu, pemerintah mudah dijadikan kambing hitam dan di sisi lain masyarakat juga menjadi mudah terprovokasi dan dituduh anti-Pancasila.
Dalam suasana liberalisasi politik seperti itu pula, kritik destruktif lebih mengemuka dari pada kritik konstruktif. Sebagai contoh ada pihak yang menyandingkan “isu bendera tauhid dengan isu PKI bangkit".
Bisakah itu dianggap sebagai sekedar kritik atau atau bagian dari kritik distruktif ? Pada hal kritik konstruktiflah yang diperlukan oleh pemerintah dalam kondisi apapun dan pemerintah harus mendengarnya.
Di samping itu , karena UUD 2002 membawa semangat liberalissai politik maka muncul kembali persaingan ideologis yang tajam. Kaum liberal berusaha mempengaruhi ruh dan nafas UUD agar selaras dengan liberalisme. Argumentasinya didasarkan pada pasal 28 UUD yang merupakan copy paste dari Deklarasi HAM PBB”.
Sebaliknya para pendukung teokrasi melawan dengan memperjuangkan “negara agama” dan menolak liberalisme yang tidak Islami. Mereka juga memanfaatkan celah pasal KUHP tentang delik politik yang hanya ditujukan terhadap eks-PKI. Di sini tampak adanya ruang abu-abu, seolah ada kebebasan untuk mengganti ideologi negara.
Dengan demikian, pendukung Pancasila terjebak dua lawan yang bersaing demi ambisi masing masing. Satunya ingin negara “demokrasi liberal“ , satunya ingin menegakkan “negara teokrasi“. Di sisi ini pemerintah dituntut cerdas untuk memilah mana kritik yang murni demi perbaikan keadaan atau yang bermuatan politik ideologis.
Negara dan bangsa ini sebaiknya menyadari adanya wilayah abu-abu tersebut sebagai “titik lemah“ yang menjadi titik pangkal konflik ideologis dengan segala implikasi dan imbasnya.
Wilayah abu-abu sebaiknya segera diakhiri dengan menjabarkan pasal 28 J ayat ( 1 ) dan ayat (2) dalam berbagai UU sehingga negara tidak disibukkan oleh persoalan ideologis yang seharusnya selesai, sehingga lebih fokus pada pembangunan khususnya sosial ekonomi.
UUD pasal 28 huruf J ayat 1 dan 2 sesungguhnya merujuk pada UU No39 tentang HAM dan TAP MPR No 17 Tahun 1999. Kalau hal itu dilaksanakan secara konsekuen, wilayah abu-abu bisa hilang dan negara bisa bertindak lebih konstruktif.
Mari kita simak bunyi UUD Pasal 28 UUD huruf J ayat ( 1 ) : Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 28 UUD huruf J ayat ( 2 ) : Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang tunduk pada pembatasan yang ditetapkan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Demikian, wallahu a'lam.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2015. Tinggal di Jakarta.