Sudah Mogok Makan, Gubernur tetap Enggan Temui Demonstran
Massa demonstran yang menolak tambang emas di Tumpang Pitu Banyuwangi, akhirnya membuktikan janjinya. Beberapa di antara mereka akhirnya melakukan mogok makan. Jumlahnya 21 orang yang melakukan aksi mogok makan.
Tak semua yang melakukan mogok makan adalah warga Banyuwangi. Warga yang dari Banyuwangi yang mogok makan, jumlahnya 12 orang, sedangkan sisanya adalah simpatisan dari luar Banyuwangi yang juga ikut aksi mogok makan. Mereka mulai mogok makan sejak kemarin.
Namun, meski sudah membuktikan janjinya untuk aksi mogok makan, para demonstran tak juga ditemui oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Ustman, koordinator aksi menyebut jika Khofifah memang sengaja tak mau menemui para demonstran. Bukan karena Khofifah tak tahu atas aksi mereka.
"Saya menduga kalau ada unsur kesengajaan, karena sejak kami berangkat ke sini Kamis, 20 Februari 2020 lalu, sudah banyak berita beredar di sosial media soal aksi ini. Tak mungkin Khofifah tidak tahu," katanya.
Selain menganggap Khofifah sudah tahu dari media sosial, Ustman juga menyebut sudah berkirim pesan kepada Khofifah agar mau menemui mereka. Namun sayangnya, upaya untuk minta bertemu dengan Khofifah dianggap salah alamat. Khofifah menurut Ustman juga menyebut, jika tuntutan demonstran salah alamat.
Padahal, menurut Utsman perizinan penambangan itu bisa dicabut serta disetujui oleh Gubernur. Berdasar dalil tersebut, menurut Ustman, Khofifah sebenarnya bisa mencabut.
"Menurut Undang-undang Otonomi Daerah tahun 2014, mengatakan bahwa ini wilayahnya (Gubernur). Itu menyangkut juga perizinan IUP (Izin Usaha Penambangan)," ujarnya.
Mengutip Mongabay, penolakkan warga terhadap aktivitas tambang emas di Tumpang Pitu sebenarnya sudah berlangsung sejak 1997 lalu. Namun, kembali marak pada 19 Oktober, 22 November dan yang terakhir 25 November 2015. Warga menolak karena takut dampak yang terjadi bila Tumpang Pitu dijadikan tambang emas.
Perubahan status pegunungan Tumpang Pitu yang semula hutan lindung kemudian menjadi hutan produksi, menjadi awal ketakutan masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, yang menolak rencana beroperasinya tambang emas di sana.
“Pengalihfungsian hutan lindung menjadi tambang faktanya telah memicu konflik sosial, dan ini kerugian besar yang dialami masyarakat bila operasional itu terus dilakukan,” ungkap Rosdi, dari Banyuwangi Forum For Environmental Learning (BAFFEL), kepada Mongabay-Indonesia.
Bentrok antara aparat kepolisian dengan sejumah warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, dipicu aksi penolakan warga terkait aktivitas tambang emas PT. Bumi Suksesindo (BSI) di kawasan Gunung Tumpang Pitu.
Rosdi menyesalkan alih fungsi hutan dari kawasan lindung menjadi produksi, telah menimbulkan konflik horisontal serta mengancam kelangsungan hidup masyarakat beserta lingkungan di sekitarnya. “Mestinya ditinjau lagi, atau bila mau tegas ya dicabut. Kembalikan Tumpang Pitu sebagai hutan lindung dan jangan ada tambang,” ujar Rosdi.
Selain konflik horisontal, beroperasinya tambang emas di Tumpang Pitu juga mengancam kehidupan satwa dan ekosistem di dalamnya. Hasil inventarisasi Amdal PT. IMN dilaporkan terdapat elang laut dan macan tutul di sekitar pegunungan Tumpang Pitu. Bila eksploitasi dilanjutkan, dikhawatirkan akan memicu migrasi satwa dari kawasan itu.
“Saya pernah lihat langsung elang laut, belum lagi ada yang melaporkan beberapa jenis mamalia,” kata Rosdi.
Tambang emas dipastikan akan mempengaruhi ekosistem dan lingkungan, karena bahan kimia berupa merkuri atau sianida yang digunakan dapat merusak lingkungan. “Kalau ada pembuangan limbah, sudah pasti satwa di ekosistem pantai juga terancam,” terangnya.