Aksi Kamisan Surabaya: Pemerintah Seharusnya Perhatikan Hak Warga, Ketimbang Kepentingan Elit
Sejumlah aktivis kemanusian yang tergabung dalam elemen Aksi Kamisan Surabaya melakukan aksi diam di seberang Gedung Negara Grahadi, Jalan Gubernur Suryo, Surabaya.
Aksi itu mereka lakukan jelang Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, 10 Desember, yang telah disepakati dalam Universal Declaration of Human Rights, sebagai upaya penegakan keadilan dan pemenuhan hak-hak serta kebebasan tiap manuisa.
"Kamisan malam ini, kami memperingati hari deklarasi universal hari hak asasi manusia yang jatuh tiap 10 desember," kata Perwakilan Kamisan Surabaya, Wahyu Eka Setyawan, di sela aksi, Kamis 7 Desember 2017.
Wahyu mengatakan, aksi ini, bertujuan mengingatkan pemerintah terkait pelanggaran-pelanggaran ham yang masih berceceran di banyak wilayah, seperti yang baru-baru ini terjadi di Kulon Progo, Yogyakarta.
"Kita lihat brutalnya aparatur negara untuk menggusur lahan-lahan warga tanpa ada proses yang memadai, yang mengedepankan dialog, musyawarah dan juga mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia," kata dia.
Di aksi ini pula, Wahyu dan para kativis kemanusiaanya lainya melakukan upaya merawat ingatan, sekaligus mengingatkan pemerintah terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM masalalu yang belum juga tuntas.
"Kasus priok, Talangsari, kasus Cak Munir, belum juga terungkap sampai sekarang apalagi dokumen Tim pencari Fakta (TPF) dikatakan menghilang, belum lagi tindak-tindak kekerasan yang ada di seluruh Indonesia," katanya.
"Aksi kamisan ini lebih kepada menyebarkan semangat demokrasi, bahwasanya warga dan masyarakat agar lebih peduli pada isu-isu sosial yang memang bersinggungan langsung dengan mereka," tambahnya.
Kedepan, Ia berharap, pemerintah seharusnya bisa lebih obyektif dan mengedepankan hak-hak warga dari pada kepentingan segelintir elit saja. Seperti yang baru-baru ini terjadi, Angkasa Pura 1 (AP 1) dengan dibantu aparatur negara melakukan tindakan represif pada warga Kulon Progo.
Aparat melakukan aksi inkonstitusional, dengan melakukan upaya penggusuran paksa, seperti merusak properti rumah, saluran listrik dan lahan warga.
Warga dan aktivis dari berbagai elemen masyarakat pun datang ke Kulon Progo untuk menggagalkan eksekusi.
Sehari setelah eksekusi dibatalkan, Selasa, 5 Desember 2017, tindak sewenang-wenang pun terjadi. Sebanyak 15 aktivis dan warga jaringan solidaritas penolak Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, ditangkap.
Mereka dituding sebagai provokator, padahal kata Wahyu, apa yang mereka lakuakan di sana adalah upaya memberikan perlindungan hak asasi manusia.
"Sekarang kawan-kawan masih berdiam di sana, mendampingi warga dan juga warga siap siaga, karena teman-teman di sana bukan menjadi provokator, teman-teman disana tergerak hatinya untuk membaur sebagai sesama warga negara," pungkas Wahyu. (frd)
Advertisement