Akpol Bukan Kavling Anak Jenderal, Penempatan Taruna Dioplos
Rabu, 17 Mei 2017 malam pukul 23.00 menjelang pergantian hari mendadak Brigdatar MKL dipanggil seniornya Brigtutar RLW di Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang. Perintahnya agar beberapa taruna tingkat II berkumpul di Flat A Graha Taruna Detasemen Tingkat III.
Pukul 24.00 para taruna tingkat II pun berkumpul di Flat D Graha Taruna. Selanjutnya mereka berangkat menuju Flat A di tangga bawah melalui tebing di belakang kantor Detasemen Taruna Tingkat III. Sekitar pukul 00.45, para taruna tingkat II diberi tindakan fisik seniornya taruna tingkat III berupa pemukulan. Baik tangan kosong maupun pakai alat yang ada dalam gudang.
Pukul 01.30 Brigtutar CAS memanggil Brigadir Taruna II (Brigdatar) Mohamad Adam (20). Ia diberi tindakan sendiri oleh CAS dengan cara memukul pakai tangan kosong satu kali ke arah ulu hati. Ia pun langsung berlutut lalu menunduk. Ia mengeluhkan kesakitan sambil memegangi dada menggunakan kedua tangannya. Namun itu tak membuat pelaku iba malah seperti kesetanan.
Pelaku makin beringas. Korban terus dipukuli hingga lima kali. Akibatnya korban tersungkur. Lunglai di lantai.
Korban ditelentangkan CAS untuk dicek kondisi kesehatanya. Sadisnya, wajah korban malah diguyur air mineral. Maksudnya, agar korban segera siuman. Tapi, korban tetap tidak sadarkan diri. Selanjutnya, korban dibawa keluar gudang dibantu brigtutar lainnya untuk mendapatkan udara segar. Tetap saja korban tak sadarkan diri.
Korban lalu dibawa ke kamar A.3 melalui kamar mandi guna diberikan pertolongan. Tapi, Brigdatar Mohamad Adam tetap tak sadarkan diri. Pukul 02.20 CAS taruna tingkat III pelaku penganiaya Adam menghadap dan melaporkan kejadian ke Pawas AKP Agung Basuni. Selanjutnya dilaporkan ke Pawasden Taruna Tingkat III AKP CFR untuk mengecek kesehatanya. Pukul 02.30 korban buru buru dibawa ke RS Akpol guna mendapat tindakan medis. Tapi, terlambat sesampainya di RS Akpol, oleh dr Wina yang bersangkutan dinyatakan telah meninggal dunia.
Kematian Adam meninggalkan luka mendalam bagi keluarganya. Orang tua Adam menulis surat untuk sang buah hati yang tak pernah kembali lagi itu. Surat berjudul "Curhatan Hati Sang Ayah" begitu menyayat hati itu dibagikan saat mengadu ke Komnas HAM, 23 Mei 2017.
Adam tewas dengan luka lebam di bagian dada. Hasil visum, putra Asiandri Umar itu tewas akibat luka kekerasan benda tumpul. Rinciannya, luka memar pada pelipis kiri, leher kanan, dada dan tungkai atas, ada resapan darah pada kulit pelipis bagian dalam. Juga memar pada otot dada, paru kanan, dan kiri.
Tubuh Adam tak kuasa meredam bertubi-tubi pukulan seniornya hingga dia begitu kesakitan sebelum limbung tak sadarkan diri. Lemas lalu mati. Polisi bergerak cepat. Beragam barang bukti berupa satu kayu bulat warna hitam sepanjang 45 cm, berdiameter 3 cm, satu pipa aluminium bekas gagang sapu sepanjang 60 cm dan satu raket bulu tangkis. Juga ada kopel rim hitam, sebuah kunci slot sepeda, tiga anak kancing baju, PDL coklat dan satu sarung tangan buntung warna hitam.
Setelah memeriksa 31 taruna Akpol rekan korban dan tiga orang pengasuh polisi menyimpulkan ada 14 orang senior Adam dari tingkat III, atau Brigtutar yang menjadi tersangka dengan peran berbeda beda. Inisialnya CAS, RLW, GCM, EA, JED, MB, HA, CAE dan AKU. Juga ada GJN, RAP, RK IZ dan PDS. Para tersangka ditahan dan dalam proses dipecat dari Akpol.
Empat dari sembilan pelaku tindak kekerasan terhadap almarhum Adam akhirnya divonis pengadilan antara enam bulan, 20 hari sampai satu tahun. Vonis lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Salah satu pelaku diketahui anak mantan salah satu jendral polisi berpangkat Irjen.
Tak hanya taruna yang akan mengakhiri mimpinya jadi ksatriya Bhayangkara. Para pemimpin Akpol pun kena getah akibat kelakukan tak terpuji anak didiknya. Gubernur Akpol Irjen Anas Yusuf harus rela dilorot dari jabatannya. Berdasar salinan TR no ST/1408/VI/2017 tertanggal 2 Juni 2017, Anas digeser sebagai analis utama di Lembaga Pendidikan dan Latihan (Lemdiklat). Anas menyerahkan kursinya pada Irjen Rycko Amelza Dahniel (Adi Makayasa Akpol Angkatan 1988).
Tak hanya Anas yang dicopot dari jabatannya. Sebelumnya, Komandan Korps Pembinaan Taruna dan Siswa (Kakorbintarsis) Direktorat Pembinaan dan Pelatihan Akpol Kombes Djoko Hari Utomo juga dicopot dari jabatanya. Djoko diganti Kombes Suhendri. Selanjutnya Djoko non job diparkir di Detasemen Yanma Polri.
Di Jakarta, Kapolri Jendral Tito Karnavian mengaku kecewa karena beberapa saat sebelum kejadian Kapolri berkunjung ke Akpol dan menegaskan kepada seluruh taruna dan pengasuh, supaya budaya kekerasan tidak terjadi lagi. Menurutnya pemukulan lebih banyak mudlaratnya dan tidak membawa untung.
"Ini momentum untuk mengubah budaya yang masih berlaku di sini (Akpol). Saya perintahkan selain korban dibantu, juga dilakukan tindakan tegas kepada taruna yang terlibat. Saya minta untuk dipidanakan. Nanti kita evaluasi pengasuh di situ. Kenapa budaya itu nggak juga berhenti. Padahal, perintah saya sudah jelas demikian," kata Kapolri.
Semangat perubahan juga ditangkap Arief. Saat memberi pengarahan dalam siang kelulusan di Graha Cendekia, Akpol Semarang 3 Agustus 2017, Arief menjamin tak akan ada lagi kekerasan di Akpol. Di sisi lain Arief juga meminta taruna dan taruni Akpol 2017 itu tidak menjadi generasi Akpol ayam sayur.
"Tiga bulan pertama kalian akan dididik bersama dengan taruna Akmil di Magelang. Buktikan kalian bukan taruna ayam sayur tapi taruna yang siap bersaing dengan taruna lainnya," kata Arief. Untuk perwira yang masih bersifat kekanak-kanakan, Arief menjuluki sebagai "perwira hello kitty".
Arief meminta ratusan calon perwira Polri, apakah anak orang biasa atau jendral diminta melepas bayang-bayang orangtua. Supaya bisa jadi pribadi tangguh, dewasa dan tidak cengeng. Karena itu, orangtua taruna diminta jangan perlakukan mereka seperti anak TK. Sebab, ada taruna meski tinggal di asrama, selalu diurusi orangtuanya. "Snack diantar tiap hari. Ini calon taruna atau play group," kata Arief.
Kepada Pembina Taruna di Akpol Arief berpesan untuk memberikan penilaian seobyektif mungkin. Kalau nilainya kurang ya diberi kurang. Pembina jangan sungkan pada taruna yang orangtuanya anggota Polri senior. Soal penilaian atau perangkingan jadi masalah krusial. Sebab, di masa lalu rangking kelulusan taruna menentukan posisi dinas.
Dulu, lulusan dengan rangking 1 sampai 10 misalnya, akan ditempatkan di Polda Metro Jaya. Lalu rangking berikutnya akan ditempatkan di luar Polda Metro Jaya tapi masih berada di Pulau Jawa dan Polda Sumatra Utara. Yang rangking bontot ditempatkan di luar Jawa seperti, Polda NTT dan Polda Papua.
Saat ini penempatan berdasarkan rangking sudah tak berlaku lagi. Lulusan Akpol 2017 misalnya, dibagi menjadi beberapa kelompok, dimana tiap kelompok komposisinya dicampur antara rangking terbaik dengan rangking bontot. Sehinga komposisi tiap kelompoknya merata.
Alasanya, supaya yang pintar menularkan ilmunya kepada yang kurang pintar. Selama ini yang pintar berkumpul dengan yang pintar. Dan, selalu ditempatkan di Polda strategis. Akibatnya, Polda Polda yang jauh dari Jakarta malah mendapatkan perwira yang tidak pintar.
"Karena yang kurang pintar ditaruh di pelosok, di hutan yang ada "harimaunya" dan ada 'hantunya', maka supaya selamat, mereka lalu berteman dan bisa saja berubah ikut menjadi seperti 'harimau' atau 'hantu'. Ini yang bikin perwira rusak. Kita tidak inginkan lagi itu," tegas Arief.
Arief juga mengancam orangtua yang masih memanjakan anaknya di Akpol dengan cara memberi rangsum anaknya, menitip uang ke pembina atau office boy untuk dibatasi. "Biarkan mereka survive. Mungkin ada orangtua khawatir kejadian kekerasan kemarin. Saat ini Pimpinan Polri sudah mengubah para pengasuh dan pola pengasuhan. Pembina Akpol saat ini adalah polisi yang terbaik." katanya.
Arief dengan percaya diri menjelaskan, jika rekrutmen Akpol 2017 tidak bermasalah. Indikatornya dari klaimnya bisa dilihat dari profil orangtua taruna /taruni yang lolos. Memang masih ada 96 atau sekitar 34 persen anak polisi. Tapi, mayoritas bukan. Sebab, selama ini ada pameo jika Akpol hanya untuk kapling anak polisi. Fakta itu otomatis terbantahkan.
Soal mengapa anak polisi masih mendapat jatah 34 persen, menurut Arief, ini tak lebih karena mereka telah dipersiapkan jauh hari untuk bisa lolos berkompetisi dan bersekolah di Akpol, akademi kasta tertinggi kepolisian.
Dari 96 anak polisi yang lolos di Akpol, hanya enam orang anak jendral. Termasuk anak Kapolda Metro Jaya Irjen Idham Aziz bernama Ilham Aziz Saputra yang muncul sebagai peraih skor tertinggi. Dua anak jendral lainnya Danny Rizar Ramadhan dan Dandi Fitra Ramadhan. Keduanya anak Kapolda Kalsel Brigjen Rachmat Mulyana. Lalu ada M Noorbuwono Erchaka Putra anak Brigjen Ermi Widyanto.
Jumlah itu tentu tidak siqnifikan karena anak enam jendral tadi hanya 2,1 persen dari 282 taruna dan taruni yang diterima. Kursi Akpol kini tak lagi hanya menjadi kaveling anak jendral. Bahkan seorang anak jendral di lingkungan SDM Polri tidak lolos dalam tes Akpol tahun ini (2017). (Bahari)