AJI Protes Rencana Bantuan Non Tunai untuk Wartawan Malang
DPRD Kota Malang berencana memasukkan puluhan jurnalis sebagai penerima bantuan non tunai yang dikeluarkan sebagai jaring pengaman atas dampak pandemi covid-19. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang menilai kebijakan tersebut tak tepat dan meminta Ketua DRPD membatalkan rencana tersebut lantaran berpotensi melanggar kode etik jurnalistik.
Sikap dan penolakan AJI diawali dari recana DPRD Kota Malang untuk mengalihkan anggaran makan dan minum kegiatan masa reses sebesar Rp 1,62 miliar. Anggaran direalokasikan untuk jaring pengaman sosial penanggulangan dampak covid-19 dengan skema bantuan non tunai sebesar Rp 300 ribu per bulan selama tiga bulan disalurkan kepada sekitar 1.800 kepala keluarga miskin.
Kemudian, pimpinan DPRD berencana memasukkan puluhan jurnalis sebagai penerima bantuan itu. Ketua DPRD berdalih bantuan diberikan untuk mengakomodir jurnalis yang tidak mendapat gaji bulanan dari media tempatnya bekerja.
“Bantuan itu lebih menyerupai perlakuan ‘istimewa’ terhadap jurnalis. Jika ada jurnalis yang kategori miskin tetap berhak mendapat bantuan jaring pengaman sosial sesuai dengan mekanisme yang berlaku” kata Ketua AJI Malang Mohammad Zainuddin dalam siaran pers yang diterima Ngopibareng.id, Sabtu 4 April 2020.
Sehingga, AJI menilai keistimewaan itu berpotensi melanggar Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik Indonesia, “yang berbunyi, Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”, lanjutnya.
Selain itu, AJI menyebut jika kesejahteraan jurnalis menjadi kewajiban dari perusahaan media tempatnya bekerja, dalam bentuk memberikan upah dan tunjangan sebagai dukungan agar tetap bekerja secara profesional dan beretika.
AJI berharap pemerintah dan DPRD Kota Malang menyalurkan bantuan tepat sasaran dan tak disalahgunakan.
Selain meminta pembatalan rencana bantuan non tunai untuk wartawan, AJI menuntut informasi yang transparan dan responsif dari pemegang informasi di Malang Raya. Juga menuntut pemerintah agar menghentikan konferensi pers model tatap muka yang meningkatkan risiko penularan covid-19 di tengah pandemi.