Aji Mempeng, Dakwah dan Budaya
Satu foto marching drumband pada Haul Kiai Haji Mbah Ahmad Mutamakkin (almaghfurlah) penyebar Islam generasi pertama di Pati. Haul dilaksanakan setiap bulan Assyura (Suro) yang berlangsung secara meriah dan selalu dibarengi dengan pentas budaya di makam beliau di desa Kajen, Margoyoso, Pati.
Ketika masih muda umur 6 sampai 18 tahun, setiap bulan Suro saya selalu diajak bapak dan ibu datang ke acara tersebut. Salah satu pemegang juru kunci makam adalah Kiai Baedlowi Siradj dari Ponpes Salafiah (almaghfurlah). Saya panggil beliau Pak De karena isteri beliau Makde Marsanah binti Kiai Abdul Hamid (Krasak, Jepara) adalah kakak ibu saya, Hj Asrofah bin K H Abdulhamid (almaghfurlah).
Keunggulan Muslim Indonesia
Kenangan manis dari makam tersebut adalah ketika saya diterima masuk SMAN I Kudus pada 1965 tanpa melalui pendaftaran sesuai ketentuan. Saya diterima sebagai murid baru setelah seminggu tahun ajaran berjalan antara lain berkat berdoa di makam tersebut. Sekembalinya dari makam bapak mampir ke rumah paman jauh saya Pak Fathur Rahman, Jekulo.
Setelah mendengar cerita saya pingin masuk SMA tetapi belum mendaftar karena bapak dan ibu ngotot saya harus ke pesantren, tetapi saya tidak mau. Paklik Fathur Rahman kemudian menelpun kepada Kepala Sekolah SMA, Sutardi Wiryo Hasmoro agar menerima saya sebagai murid, dengan alasan di kampung saya belum ada yang sekolah SMA dan nilau ujian SMP bagus.
Mbah Mutamakkin, almaghfurlah, tergolong penyebar Islam generasi pertama di Pati setelah belajar agama di Timur Tengah. Desa Kajen menjadi basis dakwah beliau dengan pola pendekatan budaya. Dengan kata lain agama dan budaya jalan bersama, bukan berarti mencampuradukkan agama dengan agama (sinkretisme ), tetapi hubungan sinergis agama guna mencapai kemaslahatan. Prinsip inilah yang kemudian, justru menjadi “keunggulan Muslim Indonesia" sebagai modal ukhuwah, persatuan dan toleransi yang kuat. Bayangkan, ratusan suku bangsa, dan ribuan pulau bersatu dalam satu negara Indonesia, sedang bangsa Arab yang mempunyai satu bahasa Arab (fuskhah) terbagi dalam 22 negara.
Sekitar tiga bulan yang lalu, Sheikh Hisyam Najjar dari Universitas Al-Azhar Mesir meminta pendapat saya tentang penyebaran Syiah di Indonesia. Pertanyaan Sheikh adalah apakah kamu tidak khawatir terhadap ancaman Syiah - Iran?. Komunikasi dengan Sheikh Hisyam dilakukan via medsos dan dijembatani oleh anak didik beliau di Jakarta, adinda Muqoddas MA . Pertanyaan itu bertitik tolak dari agresivitas penyebaran Syiah -- eskpor Revolusi Iran sejak Khomeiny merebut kekuasaan sekitar 30 tahun yang lalu.
Kami jawab, bahwa kami waspada tetapi tidak terlalu khawatir. Para ulama kami terdahulu, selalu menjadikan budaya sebagai “media penting” dalam dakwah, sehingga agama dan adat terjadi sinkronisasi alias jalan bergandengan sesuai fungsi masing-masing.
Warga NU bisa bersahabat dengan pemeluk Syiah dengan prinsip “kami tetap berpegang teguh pada Akidah Ahlus Sunnah Waljamaah dan kami bisa jalan bersama atas dasar budaya". Atas dasar ini, tentu saja penyebaran Syiah yang eksklusif kita tolak seperti yang terjadi di Pamekasan sekitar 15 tahun yang lalu. Beberapa budaya Syiah bisa diakomodir karena tidak bertentangan dengan Aswaja. Misalnya, syair dalam Kasidah Barzanji yang berbunyi “Ya Nabi Jadal Khusaini" atau bangunan cungkup di makam yang merupakan tradisi Syiah -- ajaran Syiah mulai disebarkan pada zaman Sultan Malikul Saleh, Aceh, sekitar 200 tahun yang lalu, tetapi pemeluknya tidak cukup besar dibanding pengikut Aswaja.
Akhirnya, dapatlah disimpulkan bahwa nilai budaya Indonesia merupakan kekuatan dahsyat sebagai kekuatan pemersatu dan sekaligus penjinak unsur-unsur radikal dari berbagai agama yang terbawa serta masuk ke Indonesia. Meskipun semua agama pada dasarnya mengajarkan sikap moderat, tetapi karena perkembangan sejarah berlangsungnya konflik internal agama di Eropa dan Timur Tengah, apapun agamanya unsur radikal tersebut bisa terserap oleh unsur unsur budaya toleransi bangsa kita.
Pesan budaya: Aji mumpung mendorong pejabat korupsi. Aji mempeng membuat pejabat nggak korup.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Advertisement