AJI: 40% Jurnalis Terinfeksi Covid Tak Dibantu Perusahaan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menemukan sedikitnya 40 persen jurnalis anggota AJI yang terpapar Covid-19, tak mendapatkan bantuan layak dari media tempat jurnalis bekerja. Fakta ini disampaikan dalam catatan akhir tahun (Catahu) AJI Indonesia, sepanjang 2021.
Jurnalis Terpapar Covid-19
Jurnalis juga menjadi kelompok yang banyak terpapar Covid-19 ketika Indonesia mengalami gelombang kedua, pada Juni 2021 lalu. Sedikitnya terdapat 110 jurnalis anggota AJI yang terpapar Covid-19, pada akhir Juni hingga Agustus 2021.
Namun, sebanyak 47 jurnalis atau sekitar 40 persen tidak mendapatkan dukungan dan bantuan dari perusahaan tempat bekerja. Bantuan yang diharapkan seperti bantuan hidup selama karantina, biaya tes antigen/PCR, bantuan berobat dan akses ke fasilitas kesehatan.
"Rata-rata jurnalis membayar sendiri tes Covid-19, di saat layanan gratis dari pemerintah juga tidak tersedia," kata pernyataan tertulis AJI Indonesia, yang diterima pada Rabu 5 Januari 2022.
Jurnalis yang paling rentan dengan kondisi itu adalah jurnalis yang berstatus non-karyawan tetap, atau dikenal dengan jurnalis kontributor, freelance, dan stringer.
Kasus Perburuhan
Selain kurangnya dukungan kesehatan, catatan AJI Jakarta dan LBH Pers menyebutkan terdapat 87 pekerja media yang membuat aduan tentang perburuhan. Di antaranya tidak menerima gaji beberapa bulan sebanyak 32 orang), PHK sebanyak 22 orang, dirumahkan sebanyak 21 orang, gaji dicicil/dipotong/telat sebanyak 9 orang, dan persoalan hak normatif pekerja senanyak 3 orang.
Pengesahan UU Cipta Kerja juga berdampak buruk pada jurnalis. Kementerian Ketenagakerjaan menetapkan bahwa upah minimum rata-rata secara nasional hanya naik 1,09 persen.
Besaran kenaikan upah 1,09 persen itu merupakan buntut dari ketentuan baru Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan, turunan langsung dari Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Penetapan upah minimum 2022 membuat kesejahteraan pekerja media makin terpuruk, setelah terdampak pandemi Covid-19.
Riset AJI Indonesia bersama International Federation Journalist (IFJ) yang melibatkan 700-an jurnalis di akhir 2020, mengungkap sebesar 83,5 persen jurnalis terdampak ekonomi dari pandemi, berupa pemotongan honor sebanyak 53,9 persen, pemotongan gaji sebanyak 24,7 persen jurnalis, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 5,9 persen, dan dirumahkan sebanyak 4,1 persen.
AJI menyebut penetapan upah minimum 2022 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, bahwa setiap orang memiliki hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Ditegaskan juga pada pasal 28D ayat (2) UUD 1945, terkait hak untuk bekerja, mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Profesionalisme Jurnalis
Selain kesejahteraan, AJI Indonesia juga menyoroti profesionalisme jurnalis terutama dalam isu gender, lingkungan, dan Covid-19.
Berdasarkan hasil quick scanning AJI melalui mesin pencari Google, AJI masih mendapatkan sejumlah media online yang menurunkan laporan dengan judul-judul yang click bait dan menakutkan. "Judul-judul berita semacam itu dapat menebalkan ketakutan dan ketidakpercayaan warga pada vaksin Covid-19," tulis pernyataan AJI Indonesia.
Meski AJI juga menyebut tata kelola informasi terkait vaksin, distribusi, efek sampung dan penanganan atas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dari pemerintah juga kurang memadai dan rak transparan. "Hal ini juga turut berkontribusi pada keragu-raguan sejumlah orang untuk menerima vaksin," tulisnya.
Sedangkan pada isu gender, masih ditemukan produk berita dari media mainstream yang tak ramah gender, mengeksploitasi kondisi fisik, demi mendulang klick bait di beranda Google dan mendapatkan pembaca lebih banyak.
Sementara pada isu lingkungan, AJI melakukan quick scanning pada pemberitaan media dengan kata kunci “Proyek Food Estate” dan “Mobil Listrik Berbasis Baterai”. Dua program ini dinilai erat dengan isu lingkungan dan berpotensi memperparah krisis iklim di Indonesia.
Hasil quick scanning di sejumlah media pada 18 Agustus hingga 18 Oktober menemukan jika sebagian besar pemberitaan bersumber dari pemerintah dan private sector serta banyak mengandalkan konferensi pers maupun siaran pers.
"AJI menilai keterlibatan NGO, akademisi, masyarakat lokal termasuk masyarakat adat sangat kurang, sehingga perspektif lingkungan atas dua kebijakan ekonomi itu kurang muncul dalam pemberitaan media," katanya.