Ajari Rakyat Membaca Perekonomian Bangsanya
Dalam suatu acara khusus, saya sempat diundang ngobrol dengan ibu-ibu yang tergabung dalam sebuah organisasi sosial keagamaan. Anggota perkumpulan ini berasal dari sebuah daerah di Jawa tengah yang mayoritas terdiri dari para ibu rumahtangga setengah baya. Latar pendidikan mereka rata-rata telah tamat SMA dan hanya sekitar 10 persen yang sempat mengenyam bangku perguruan tinggi dan berhasil menyandang gelar sarjana.
Pada awalnya dialog berjalan santai, hanya membahas seputar pentingnya kehadiran rumah tangga sebagai tonggak budaya bangsa. Namun rupanya ibu-ibu zaman now sudah mulai melek politik. Dialog pun merambah ke masalah kondisi perpolitikan yang amburadul hingga menyoal masalah manajemen kekuasaan sampai dengan gaya dan kualitas kepemimpinan Jokowi. Agak mengagetkan karena pertanyaan yang mereka ajukan terasa lebih menyulitkan dibanding ketika saya harus berdialog dengan para mahasiswa atau lulusan S2 sekalipun, di berbagai universitas.
Pertanyaan mereka rata-rata sangat sederhana, tapi justru mendasar dan tajam menukik ke masalah-masalah substansi. Sejauh masalah masih seputar dunia sosial politik, semua pertanyaan terjawab tanpa kesulitan. Saya baru dihadapkan pada kesulitan ketika dialog bergeser ke wilayah ekonomi. Rata-rata pertanyaan mereka meminta saya untuk mengajari bagaimana cara mereka harus membaca angka-angka yang disodorkan para pembantu presiden di bidang ekonomi.
Belakangan ini, yang mereka selalu dengar bahwa fundamental ekonomi kita kuat dan cenderung terus menguat. Ekonom negeri kita termasuk yang berhasil tetap stabil menjaga pertumbuhan ekonominya di tengah situasi ekonomi dunia yang sangat buruk. Sampai-sampai menteri keuangan kita, Sri Mulyani, dianugerahi award sebagai menteri terbaik oleh lembaga yang berbobot dan bertaraf internasional.
Sialnya, bagi mereka berita baik semua itu tidak terasa menyentuh kondisi ekonomi rumahtangga mereka. Bahkan yang dirasakan justru keadaan yang bertolak belakang. Keluhan yang dijadikan argumentasi mereka sangat sederhana; gaji suami tetap tak mengalami pertumbuhan bahkan terkadang menyusut, namun harga-harga kebutuhan rumahtangga semakin mahal dan cenderung terus naik dan tak pernah kembali turun. Daya beli mereka semakin lemah. Ruang lingkup kerja, kecuali bagi mereka yang melek dunia IT, terasa semakin mengecil, susah mencari kerja. Belum lagi takut menghadapi soal pajak karena sama sekali buta akan hal itu.
Secara garis besar, mayoritas dari mereka merasa cerita surgawi mengenai perekonomian kita oleh para pembantu Presiden Jokowi, justru terasa tak sedap. Mereka seakan tengah berada di tepi ‘neraka’. Tabungan terbakar hangus. Rumah gadai pun menjadi teman akrab para ibu rumahtangga. Hingga terlontar pertanyaan yang mengandung keluhan sangat mengenaskan, "Pak, kalau barang-barang kami sudah habis tergadai, apa harus menggadaikan diri kami?” Saat itu juga, saya sungguh berharap Bung Darmin Nasution, Sri Mulyani, dan Rini Sumarno, berada di samping saya dan menjawab pertanyaan yang sangat manusiawi tapi cukup mendasar ini.
Dalam kaitan pertanyaan yang terdengar vulgar tapi jujur ini, saya hanya ingin mengingatkan Pak Jokowi dan para menteri pembantunya yang berada di wilayah kerja ekonomi, begitulah realita rakyat kebanyakan yang hidup di perkampungan di seluruh pelosok tanah air. Saya jamin ini bukan hoaks, karena saya pun salah satu warga yang ingin dan berharap pemerintahan Jokowi berjalan baik dan gemilang.
Akan tetapi bila terbuai oleh laporan angka-angka yang tidak ada hubungannya dengan realita kehidupan sehari-hari rakyatnya, saya mulai khawatir keadaan yang seperti bara dalam sekam ini akan membakar sekejap selimut politik pembenaran yang menutupinya. Dan keadaan chaos yang sangat tidak kita harapkan, berpotensi terjadi. Harap diingat, sejumlah ‘kompor politik’ yang sudah mulai dihidupkan dimana-mana oleh para tokoh yang menyebar agenda ‘benar atau salah, pokoknya Jokowi salah’, sudah mulai terasa kehadirannya.
Berkonsentrasi pada infrastruktur fisik seputar pembangunan tol, jembatan, jalan layang, berikut sarana transportasi penunjang yang dicanangkan dan digelar Jokowi, sungguh merupakan kinerja yang patut kita syukuri dan banggakan. Akan tetapi gagal dalam membangun infrastruktur perekonomian rakyat kebanyakan, bisa jadi segalanya akan kembali ke titik zero, bahkan lebih buruk dari itu.
Semoga para pembantu presiden di bidang ekonomi rajin-rajin turun ke kampung-kampung dan dengan rendah hati mau mendengar langsung amanat penderitaan rakyatnya!
Nuwun sewu lho, Pak Jokowi. Ini hanya imbauan.
*) Erros Djarot adalah budayawan, seniman, politisi dan jurnalis senior - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com