Ajari Menenun para Gadis Kencur Agar Tak Mudah Kawin Muda
Meracuni orang tentu akan berurusan dengan polisi. Berhadapan dengan hukum. Terakhir, pastilah masuk bui. Jangan tanya kenapanya, karena pasal pembunuhan berencana pasti dikenakan kepadanya.
______________
Tapi meracuni orang seperti yang dilakukan Uswatun (Uus) Hasanah di Kedungrejo, Kecamatan Kerek, Tuban bukannya diseret masuk bui tetapi malah berbuah manis dengan mendapatkan anugerah Upakarti dari Presiden RI.
Kok bisa? Tentu bisalah! Tinggal menyelidiki jenis apa racunnya dulu.
Jadi, racun jenis apa yang dipakai Uswatun Hasanah, 35 tahun, alias Mbak Uus itu?
Kalau jenis racun mematikan, memang sudah jelas, bui adalah jawabannya. Polisi akan menangkap lalu menyeretnya tanpa ampun.
Tapi kalau jenis racunnya adalah membuat gadis-gadis kencur urung menikah — karena memang belum cukup umur untuk menikah— kemudian diracuni agar pandai menenun dan menghapal motif batik, berikut mengajarkan skill lain agar bisa mandiri, sudah pasti tak ada polisi yang datang menyelidik.
Justru yang terjadi adalah utusan khusus Presiden untuk menjemputnya di Tuban, kemudian membawanya ke Jakarta, lalu menganugerahinya dengan Upakarti. Ouw, my gad....
Upakarti yang diterima Uus di Jakarta itu diberikan pada periode pemerintahan Presiden SBY tahun 2010. Sedang kategori prestasinya adalah “Pelestari Budaya Tenun Gedog.”
Uus pun berkisah: sejak balita dia hidup diantara mesin-mesin tenun punya neneknya. Mesinnya tradisional. Mesin-mesin itu kalau dibuat menenun berbunyi dok.. dok.. dok.. dok.. manakala dipakai untuk bekerja.
“Bunyi itu selalu bisa mengundang saya untuk mendekat. Melihat embok-embok perajin tenun gedog yang rata-rata sudah sepuh menenun dengan nenek,” katanya.
Sayangnya, Uus kecil selalu dianggap ngrusuhi alias mengganggu orang sedang bekerja. Maka dia tidak boleh mendekat. Tak jarang juga dimarahi si nenek.
Tapi Uus mengaku selalu bandel dan ingin tahu. Maka diam-diam, di usia sedikit di atas Balita itu dia berusaha menghapal motif, seperti para embok yang hapal betul dengan motif yang diberikan nenek.
Bandel saat anak-anak itu rupanya menjadi berkah dikemudian hari. Diantara banyak sudaranya dari nenek, juga saudara dari ibunya sendiri, hanya dirinya yang mewarisi keahlian nenek membuat kain tenun tradisional juga batik. Dirinya juga berhasil mendirikan usaha sendiri dengan bendera Sanggar Batik dan Tenun Sekar Ayu. Brand ini pula yang membawa dirinya membawa pulang Upakarti dari Presiden.
Di Sanggar Batik dan Tenun Sekar Ayu miliknya itu, Uus berkiprah tidak hanya sekadar pembuat kain tenun, memelihara mesin-mesin tenun gedog tradisional, atau membantik. Tetapi juga merambah ke bisnis pintal benang, penanaman kapas, mengusahakan dan membuat pewarna alam sekaligus menanam pohon-pohon yang menghasilkan warna-warna alami untuk kain baik. Pendeknya, Uus berusaha total di dunia tenun dan batik sekaligus mengupayakan sendiri bahan baku yang diperlukannya.
Fenomena anak dinikahkan di bawah usia dewasa di sekelilingnya membawa Uus ke sebuah gagasan untuk “melawan” kebiasaan di era yang sudah bukan zamannya itu.
Lewat bendera Sanggar Batik dan Tenun Sekar Ayu itu maka dia menderikan kelas-kelas belajar tenun dan batik. Untuk siapa saja yang memerlukan dan gratis. Uus juga bergerak menemui gadis-gadis kecil usia lulus sekolah dasar. Mereka kemudian “diracuni” untuk mau diajari membatik ketimbang masih kecil disuruh kawin.
“Kalau sudah bisa membatik bisa dapat uang. Kalau sudah bisa menenun uangnya akan banyak. Belajar tidak usah membayar, kalau sudah bisa nenun dan batik, bisa bergabung dan bekerja di Sanggar Batik dan Tenun Sekar Ayu,” begitu kisah rayuannya.
Menurut Uus yang kini punya koleksi 400-an motif tenun kuno dari Tuban, sebagian besar anak-anak belum usia dewasa itu mau bergabung dan mau diajari.
“Mereka hanya bisa pasrah karena tidak mendapatkan solusi lain dari orang tuanya, selebihnya adalah keaadan. Dengan penawaran gratis dan setelah bisa ketrampilan itu bisa ikut bekerja, maka angka perkawinan sangat muda relative bisa di tekan disini,” cetusnya.
Dalam hal ini, aku Uus, dia cukup berbangga hati bahwa satu atau dua hasil kerjanya bisa mengentas kebiasaan kawin di usia sangat muda. Meski baru di lingkup sekeliling dan Tuban sebagian kecil.
Uus pun, dari hasil mengajari anak-anak itu, akhirnya juga memperoleh SDM-SDM andal untuk kualitas tenun dan batik produksi sanggarnya.
“Anak-anak itu sekali diajari gampang sekali hapal motif. Kalau sudah demikian tinggal mengasah skillnya saja bagaimana bisa menenenun halus dan membatik yang bagus tanpa tetesan dimana-mana,” katanya.
Kini, kelas-kelas belajar batik dan tenun yang digarap Uus, pemberitaannya bervibrasi keluar. Selain tetap meracuni agar anak-anak menolak dikawinkan muda usia, di masa libur sekolah sanggarnya kebanjiran siswa dari luar Tuban.
Ada yang dari luar Jawa bahkan luae negeri. Sebab itu sanggarnya juga sedikit berubah, dia harus membangun kamar-kamar untuk siswa yang berdatangan itu dan para bule-bule yang selalu merasa eksotik dengan bunyi-bunyian tenun gedok tradisional yang akan berbunyi dok dok.. dok dok... ketika dibuat bekerja dan menghasilkan tenun halus berkualitas. (widikamidi)