Aisyiah Harus Dipahami Utuh dan Kontekstual, Ini Faktanya
Bagi Muhammadiyah perempuan memiliki peran, hak dan kesempatan yang setara dengan laki-laki, demikian yang ditanamkan oleh Kiai Ahmad Dahlan dan Nyai Siti Walidah kepada para perempuan melalui pengajian Sopo Tresno yang kelak berubah menjadi organisasi besar bernama ‘Aisyiyah.
“’Aisyiyah saat 1917 sudah punya tujuan jelas untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan sebagai ibu, pendidik utama dan pertama dalam keluarga, mempunyai kegiatan dan amal usaha yang sama dengan Muhammadiyah di berbagai bidang,” ungkap Ketua PP ‘Aisyiyah bidang Koordinator Majelis Kesehatan dan Lingkungan Hidup Atikah M Zakki, Sabtu.
Bagi Atikah peran yang telah dikerjakan oleh ‘Aisyiyah di bidang kesehatan masyarakat, kesehatan ibu dan anak, pendidikan, hingga ketahanan keluarga yang didukung oleh berbagai universitas dan rumah sakitnya perlu dipahami dalam kerangka bagaimana cara Muhammadiyah memuliakan perempuan.
Menyambung Atikah, Tenaga Ahli Utama Kantor Staff Presiden RI yang juga pegiat ‘Aisyiyah Siti Ruhaini Juhayatin memandang bahwa pemahaman terhadap perspektif Muhammadiyah dalam melihat perempuan akan membawa gerak Persyarikatan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Kiai Ahmad Dahlan.
“Laki-laki dan perempuan di Muhammadiyah sejak awal adalah pribadi yang otonom. Hal yang paling revolusioner adalah memberikan akses yang sama. Muhammadiyah, ‘Aisyiyah adalah pionir dalam pendidikan perempuan,” ujar Siti Rohaini dalam seri keempat International Conference on 'Aisyiyah Studies (ICAS) yang membawa tema besar pembacaan kritis terhadap diskursus gender di Muhammadiyah.
Karena itu, dirinya berharap pembacaan terhadap gerakan ‘Aisyiyah dilakukan secara lengkap dan kontekstual sehingga tidak muncul kecurigaan bahwa gerakan ‘Aisyiyah ditunggangi oleh feminisme Barat yang berakibat pada penyempitan dan pembatasan terhadap gerakan ‘Aisyiyah sebagaimana yang telah terjadi beberapa kali.
Dalam aspek sosial, ‘Aisyiyah selama ini dianggap telah berhasil merekonstruksi tafsir perempuan terhormat dari perempuan yang pasif, berposisi sebagai objek dan melakukan pekerjaan sebatas perkara domestik menjadi perempuan yang aktif menjadi subjek termasuk dalam berbagai jabatan publik dan agama.
“2010 usia pernikahan anak telah diatur Muhammadiyah, sementara Indonesia baru melakukannya pada 2019. Abad kedua, ‘Aisyiyah telah melakukan lompatan besar, termasuk mengelola universitas. Kita harus membaca secara utuh tentang Muhammadiyah agar kita bisa bangga terhadap Muhammadiyah,” jelasnya.
Advertisement