Air Mata Kiai Irfan: Ridha Allah Jangan Diukur Logika
Malam itu, di rumah Kiai Irfan ada tamu. Seorang kiai dari Rembang. Teman Kiai Irfan semasa belajar di pesantren. Dua orang tergopoh-gopoh datang.
“Ada apa?” tanya Kiai Irfan kepada mereka. “Purwanto ngamuk Yi…Marah-marah di Masjid,” jawab dua warga itu.
Setelah terlebih dahulu permisi kepada tamunya, Kiai Irfan bergegas ke masjid. Jalannya agak cepat mengikuti dua warga yang tadi menjemputnya. Dari kejauhan, Kiai Irfan sudah mendengar suara Purwanto yang bicara cukup keras. Begitu tiba di Masjid, Kiai Irfan mencoba menenangkan. Tapi, kelihatannya nafsu amarah telah menguasai Purwanto.
“Ada masalah apa? Kalau ada masalah, ayo disampaikan yang baik. Nanti kita rembuk. Kita cari jalan keluarnya,” ujar Kiai Irfan menenangkan.
Ucapan Kiai Irfan yang lembut itu, ternyata sama sekali tidak bisa mendinginkan suasana. Purwanto masih terus meluapkan amarahnya.
Tidak jelas siapa yang menjadi sasaran utama kemarahannya. Sepertinya, semua salah. Benda-benda mati yang ada di dalam Masjid pun jadi sasaran kemarahan. Untunglah tidak sampai melakukan perusakan.
Seakan sudah punya daftar lengkap soal kesalahan orang lain, Purwanto secara bergantian mengevaluasi semua hal. Satu-satu persatu dipersoalkan.
Sudah kalap. Tidak ada yang bisa mengendalikan. Terus nerocos seperti orang gila!
Karena perilaku Purwanto sudah kelewat batas dan tidak lagi bisa dikendalikan, akhirnya, beberapa warga yang saat itu berada di masjid membiarkan Purwanto ngoceh terus. Satu per satu warga meninggalkan masjid. Kiai Irfan pun kembali ke rumah. Purwanto pun akhirnya berhenti mengumpat setelah di masjid tidak ada satu pun orang di hadapannya.
Setelah peristiwa itu, masjid benar-benar mejadi sepi. Keesokan harinya, hanya satu dua orang yang datang ke masjid. Purwanto pun tidak terlihat batang hidungnya.
Hampir satu pekan, masjid di kampung itu benar-benar sepi jamaah. Purwanto pun tidak pernah terlihat lagi. Warga mulai kembali berdatangan ke masjid setelah mengetahui kalau Purwanto sudah tidak pernah ke masjid. Kiai Irfan mencoba berkali-kali menghubungi Purwanto lewat WA. Dibaca, tapi tidak direspon. Ditelpon, juga tidak diangkat.
Masjid kembali normal. Warga yang ikut jamaah ke masjid kembali banyak seperti awal masjid didirikan. Kiai Irfan bersyukur. Namun, di hati kecilnya tetap kepikiran Purwanto.
Kiai Irfan mengerti bahwa niat Purwanto baik. Beliau juga mengakui, kalau Purwanto adalah orang yang paling rajin ke masjid. Termasuk bila dibandingkan dengan Kiai Irfan sendiri.
Dalam satu bulan, Kiai Irfan bisa dipastikan absen ke Masjid beberapa kali. Ada saja udzur yang menghalangi. Seperti ada urusan keluar kota. Nyambang anak di pesantren. Atau keperluan lainnya.
Ketidakhadiran Kiai Irfan ke Masjid juga kadang memang disengaja. Dengan maksud agar di masjid terjadi kaderisasi. Sebab, kalau Kiai Irfan datang terus, tidak pernah absen, maka yang lain tidak ada yang berani menjadi imam. Juga untuk kegiatan yang lain, seperti kegiatan rutin pembacaan tahlil setiap malam Jum’at.
Sikap Kiai Irfan yang terkadang sengaja absen ke masjid dengan maksud kaderisasi itu, termasuk yang dipersoalkan Purwanto. Masalah itu dijadikan bahan hibbah. “Kiai kok tidak bisa memberikan contoh. Wong ada di rumah kok tidak ke masjid, malah jamaah di rumah sendiri,” kata Purwanto ke beberapa jamaah.
Purwanto memang tidak berani mengatakan hal itu di hadapan Kiai Irfan. Tapi, hal itu dijadikan bahan pembicaraan di belakang.
Sebagian jamaah, terhasut oleh omongan Purwanto. Tapi, Sebagian besar jamaah menganggapnya angin lalu. Cuek. Mereka tahu karakter buruk Purwanto. Warga tetap manaruh rasa hormat kepada Kiai Irfan. Apalagi setelah suatu ketika saat memberikan kultum, Kiai Irfan sedikit menyinggung persoalan itu.
“Dari sisi istiqomah, kalau saya datang terus ke masjid memang baik. Tapi dari sisi kaderisasi, tentu hal itu kurang baik. Saya ingin, ketergantungan jamaah dengan saya dikurangi. Karena sebagai manusia, tentu saya punya keterbatasan. Suatu ketika, saya pasti udzur,” jelas Kiai Irfan.
Kiai Irfan lalu menjelaskan, dalam beragama dan juga bermasyarakat seorang muslim harus selalu bersikap bijaksana. Jangan mudah berprasangka buruk kepeda orang lain. Bisa jadi, orang yang secara kasat mata dianggap berbuat kurang baik itu, ternyata di balik itu, menyimpan niat baik. “Amal ibadah seorang muslim itu bergantung niatnya. Dan soal niat itu, hanya Allah dan orang itu sendiri yang mengetahuinya,” papar Kiai Irfan.
Diingatkan pula, di dalam tradisi kaum sufi, juga dikenal sifat khumul. Yaitu, menyembunyikan perbuatan baik dari mata manusia. Orang itu ingin kebaikan yang dilakukan hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Bahkan, ketika kebaikan itu diketahui orang lain, orang tersebut akan cepat-cepat menutupinya.
“Begitulah… Samudera ilmu dalam Islam begitu luas. Banyak sekali yang harus dipelajari. Karena itu, jangan cepat merasa pintar. Jangan mudah menilai orang lain bodoh. Lebih baik terus berusaha tawadhu atau rendah hati,” urai Kiai Irfan.
Dalam berbagai ceramahnya, Kiai Irfan juga mengingatkan bahwa seseorang masuk syurga atau neraka semua atas kehendak Allah SWT. Innallaha ala syai’in qodir. Jangan pernah berpikiran, karena merasa ibadahnya banyak, amalan sunnahnya juga banyak, maka merasa berhak masuk syurga. “Di syurga itu manusia selamanya. Tidak cukup kebaikan kita selama hidup di dunia, untuk ditukar dengan syurga,” jelas Kiai Irfan.
“Masuk syurga itu, karena semata rahmat dan ridlo Allah. Jadi yang terpenting, berbuatlah kebaikan untuk mencari ridlo Allah. Dan jangan lupa pula, ridlo Allah itu, jangan diukur dengan logika kita. Itu hak prerogatif Allah. Allah SWT punya kriteria sendiri yang manusia sama sekali tidak mengetahuinya. Hanya Allah yang tahu, “ imbuh Kiai Irfan.
***
Setelah peristiwa malam itu, Kiai Irfan tidak pernah bertemu dengan Purwanto. Menurut penuturan beberapa warga, Purwanto sekarang sering keluar kota. Kadang berhari-hari tidak pulang. Warga tidak tahu ke mana Purwanto pergi dan apa kegiatannya. Namun, warga yang pernah berpasasan menceritakan kalau sikap Purwanto berubah. “Menjadi tertutup. Kalau berpapasan berusaha menghindar,” tutur warga.
Kiai Irfan terus berdoa agar Purwanto mendapat taufik dan hidayah dari Allah. Semangatnya untuk mendalami agama, semoga mendapatkan bimbingan dari Allah. Tidak salah jalan. Semoga Purwanto bertemu guru baik. Benar cara berpikir keagamaannya. Tidak ekstrim. Tidak mudah menyalahkan orang lain yang tidak sama dengan pemahamannya.
Adzan subuh berkumandang. “Astaqfirullah,” Kiai Irfan menghela nafas panjang. Tidak terasa, beliau begitu lama memutar memorinya tentang Purwanto. Setelah kembali memanjatkan doa untuk Purwanto sejenak, Kiai Irfan bergegas bangkit dari duduknya. Beliau tunaikan shalat qobliyah Subuh 2 rakaat. Setelah itu, beliau bergagas menuju ke masjid dengan berjalan kaki.
Setelah shalat subuh ditunaikan, Kiai Irfan mengajak para jamaah untuk mendoakan Purwanto. “Purwanto saudara kita. Kita doakan semoga Allah memberikan yang terbaik untuknya. Alfatehah,” kata Kiai Irfan. Doa pun dipanjatkan. Lumayan panjang. Suara Kiai Irfan agak parau. Sempat terdengar isakan. Kiai sepuh itu sepertinya benar-benar merasa terbebani hatinya. Warga dengan khidmat mengamini.
Hingga pagi itu, belum ada kepastian soal nasib Purwanto. Masih simpang siur. Warga pun hanya bisa harap-harap cemas! Kiai Irfan pun tidak henti memanjatkan doa. (habis)
Akhmad Zaini
Penulis adalah Aktivis Pendidikan Islam, tinggal di Tuban, Jawa Timur.