Air Mata Kiai Irfan:Â Keras karena Minim Ilmu
Rapat takmir menjadi sesuatu yang mencemaskan Kiai Irfan. Sebab, acara itu selalu dimanfaatkan Purwanto untuk melampiaskan apa saja yang tidak cocok di hatinya. Dengan Bahasa yang sangat vulgar dan kasar, Purwanto melayangkan kritik pedas kepada siapa saja. Dan rasanya, semua salah. Tidak ada yang benar di matanya.
Karena sikap Purwanto yang begitu keras dan kasar, beberapa kali acara rapat takmir menjadi arena adu mulut. Bantah-bantahan. Beberapa kali juga hampir terjadi adu jotos. Rapat pun menjadi tidak produktif dan tidak fokus ke persoalan inti.
Kiai Irfan sebagai orang yang dituakan, tentu dalam posisi serba salah. Beliau berusaha untuk berada di tengah. Menjadi perekat. Namun tidak mudah. Karena resiko berada di tengah adalah tidak memuaskan semua pihak. Tuntutan atau harapan berbagai pihak, hanya bisa diakomudir sebagian. Sementara, pihak-pihak itu pada umumnya ingin semua keinginannya dipenuhi. Pihak lain dikebiri.
Yach… resiko. Harus bersabar. Kiai Irfan sadar betul dengan semua itu. Karena dalam berdakwah, modal terbesar yang harus dimiliki adalah rasa sabar. Karena itu, doa yang selalu dipanjatkan Kiai Irfan adalah agar dirinya diberi kekuatan jiwa dan kesabaran.
Upaya Kiai Irfan menjaga keseimbangan, belum mampu menciptakan keharmonisan warga. Perilaku Purwanto sudah melewati batas. Sehingga, satu per satu pengurus takmir mundur teratur. Rapat-rapat berikutnya, sepi. Minim peserta.
“Saya mengerti niatmu baik. Tapi, tolong dimengerti bahwa untuk mewujudkan hal yang ideal itu butuh waktu. Butuh proses. Dalam mengajak kebaikan, kita harus bertahap. Kita harus mendampingi masyarakat dengan sabar,” ujar Kiai Irfan suatu ketika kepada Purwanto. Kiai Irfan terpaksa menyampaikan itu karena situasinya sangat tidak kondusif.
KIai Irfan sangat sedih. Masjid yang harusnya menjadi media perekat umat, malah di kampungnya menjadi ajang pertengkaran. Masjid yang harusnya menjadi tempat yang tenang untuk bermuhasabah diri, malah menjadi ajang untuk menyalahkan orang lain. Hibah, membuka aib orang, seakan malah menjadi menu harian yang selalu tersaji. Hujatan dan umpatan juga tidak dianggap sebagai aib yang harus dihindari.
Di masjid, orang harusnya bersimpuh, ingat akan kedho’ifannya, yang terjadi malah menjadi ajang keangkuhan. Merasa paling berhak atas kebenaran. Merasa paling berhak mewakili Tuhan untuk menghakimi orang lain. Tuhan ditampilkan sesuai dengan nafsu yang sedang menguasai dirinya.
Saat diajak ngomong Kiai Irfan, Purwanto hanya diam. Kiai Irfan sangat berharap setelah itu, Purwanto bisa merubah sikapnya. Namun, sepertinya harapan Kiai Irfan meleset. Purwanto pancet. Tidak berubah. Malah setelah itu, dia mulai menjauh dari Kiai Irfan. Kalau berpapasan, dia cepat-cepat menghindar.
Kian hari, kondisi semakin memburuk. Warga yang datang ke masjid semakin berkurang. Tidak jarang, jamaah shalat maktubah hanya diikuti 5 orang. Perempuan 3, lak-laki 2 orang. Sepi. Purwanto tetap paling aktif ke masjid. Bahkan suatu ketika, hanya dia yang datang ke masjid.
Perubahan itu, tidak juga membuat Purwanto sadar. Seakan dia kian mendapatkan pembenaran bahwa keislaman warga memang rendah, tidak seperti dirinya. Kesadaran warga untuk berjamaah di masjid, juga masih rendah. Dia tidak sadar, tidak datangnya warga ke Masjid, sebagian karena mereka malas bertemu dirinya. Malas bertengkar dengan dirinya.
Kiai Irfan belum menemukan cara untuk memecahkan masalah itu. Beberapa kali Kiai Irfan berdiskusi dengan beberapa tokoh di kampung itu. Namun, belum juga ditemukan cara yang pas.
“Purwanto itu sejak dulu karakternya memang seperti itu. Setel sama dengan istrinya. Maunya menang sendiri. Semua orang harus ikut keinginan dia,” ujar Slamet, warga kampung yang seusia dengan Purwanto.
Slamet lalu menuturkan bahwa Purwanto belajar agama baru beberapa tahun belakangan. “Setahu saya, baca huruf Arab juga belum bisa. Kalau baca Qur’an, dia membaca latinnya,” cerita Slamet.
Soal minimnya ilmu agama Purwanto, Kiai Irfan sudah tahu. Juga perihal ketidakmampuan Purwanto membaca huruf Arab, Kiai Irfan juga sangat paham. Sikapnya yang keras dan kaku, dikarenakan kedangkalan ilmu agama Purwanto. “Itulah kalau semangat tidak disertai ilmu. Jadinya nabrak-nabrak,” tutur Kiai Irfan kepada Slamet.
Soal berdakwah dengan santun, bil hikmah wal maidhotil hasanah, semestinya sudah berkali-kali dijelaskan Kiai Irfan. Bahkan, sesaat setelah kepengurusan takmir terbentuk, Kiai Irfan juga mengundang mereka ke rumah dan menjelaskan tentang berbagai hal tentang kearifan dalam membimbing masyarakat.
Kiai Irfan juga menjelaskan soal fiqih dakwah. Di mana, standar fiqih yang ideal, seperti kesempurnaan dalam ibadah, demi kepentingan dakwah tidak apa-apa bila belum tercapai. Yang penting, ada proses atau upaya untuk menuju ke titik ideal. “Menuju sempurna itu butuh proses. Butuh waktu. Tidak bisa seketika,” kata Kiai Irfan dalam suatu kesempatan.
Kalau bicara kekurangan, Kiai Irfan sendiri menyaksikan banyak kekurangan Purwanto. Saat dia wudhu, saat dia sujud, saat dia melantunkan shalawat (puji-pujian) sebelum shalat, dan lain sebagainya. Tapi, kekurangan itu, sementara dibiarkan oleh Kiai Irfan. Tidak ditegur. Kiai Irfan ingin membetulkannya pelan-pelan. Dengan harapan, yang bersangkutan tidak malu, tidak patah semangat.
Dalam dakwah perlu kearifan. Dan, kearifan itulah yang belum dimiliki Purwanto.
Kiai Irfan mengakui, kalau sedikit-sedikit ada kemajuan pada diri Purwanto. Dia sepertinya belajar keras untuk mengerti agama. Dan sekilas, dia sekarang sudah lebih paham agama dibanding dengan warga kampung pada umumnya. Cuma dia belajar melalui media sosial. Belajar sendiri. Tanpa guru. Dia sepertinya gengsi untuk bertanya.
Bagi Kiai Irfan, perkembangan sekecil apapun, dan meski belum sempurna pada diri Purwanto tetap dipandang positif. Cuma yang menggelisahkannya, dari hari ke hari sikap Purwanto semakin sok sholeh. Beberapa orang disalahkan. Bahkan, meski tidak terang-terangan, Purwanto mulai berani menyalahkan Kiai Irfan. Ada saja yang dipersoalkan.
Kiai Irfan tetap berusaha ngemong. Tidak henti-hentinya beliau mendoakan Purwanto agar bisa dinasehati. Tidak keras hati. Kiai Irfan khawatir perilaku kaum khawaridj di zaman kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, ditiru Purwanto. Merasa paling sholeh, merasa paling islami, merasa paling benar menafsiri Al Qur’an. Sementara yang lain, dianggap salah. “Na’udzubillah mindzalik,” ucap Kiai Irfan lirih.
\Dalam hati kecilnya, tak henti-hentinya Kiai Irfan berdoa agar Purwanto dilembutkan hatinya oleh Allah SWT. (bersamnbung)
Akhmad Zaini
Penulis adalah aktivis pendidikan Islam, tinggal di Tuban, Jawa Timur.