Air Mata Kiai Ifran: Kotak Amal Kaum Dhuafa
Lelaki tua itu masih tersimpuh di atas sajadahnya. Tidak terasa, air mata meleleh di pipinya yang mulai mengerut. Dia tidak berusaha menyeka. Dibiarkan ait mata itu menetes di atas sajadah.
Malam itu, jarum jam menunjukkan pukul 03.30 WIB. Kurang 30 menit lagi, waktu subuh tiba. Sudah satu jam lebih dia terjaga dari tidurnya. Seperti biasanya, begitu terjaga, dia langsung mengambil air wudhu kemudian shalat malam.
Tidak seperti biasanya, malam itu hatinya sedikit gundah. Shalat malam yang dia lakukan malam itu, tidak seperti pada malam-malam biasanya. Hanya beberapa rakaat saja. Setelah mengakhiri shalat malamnya dengan shalat witir, dia duduk tersimpuh di atas sajadah. Mulutnya tidak henti-hentinya mengucapkan istiqfar.
Kiai tua itu adalah Kiai Irfan. Nama lengkapnya Muhammad Irfan bin Kiai Syakroni. Orang kampung memanggilnya dengan panggilan Kiai Irfan. Beliau kiai kampung. Namanya tidak terlalu tersohor. Namun, jaringannya luas. Beberapa kiai dari daerah lain sering silaturrahmi ke rumahnya. Beberapa pejabat juga kenal baik dengan beliau.
Meski punya kenalan dan jaringan luas, kiai Irfan tipe kiai independen. Beliau tidak pernah terlibat dukung mendukung dalam pesta demokrasi. Beliau memposisikan diri sebagai orang tua yang melindungi semua anak-anaknya. Karena sikapnya itu, orang kampung senang dengan beliau. Beliau di-tua-kan di kampung itu.
Beliau juga dikenal sebagai orang yang muhlis (ihlas). Hidupnya diperuntukkan untuk agama. Beliau pekerja keras. Sejak muda, beliau rela melakukan apa saja yang penting halal. Beliau berprinsip, berdakwah harus menggunakan modal sendiri. Beliau tidak ingin, kegiatan dakwahnya dibiayai oleh umat.
Secara ekonomi, Kiai Irfan tergolong mapan. Tapi, hidupnya sederhana. Sukanya pakai baju kemeja warna putih. Ketika diundang dalam suatu acara, Kiai Irfan jarang mau menerima bisyaroh (amplop). Hanya dalam kondisi yang sangat terpaksa, beliau mau menerimanya. Itu pun, tidak lama di tangannya. Hanya hitungan jam atau hari, uang itu sudah disedekahkan lagi ke pihak lain.
Kiai Irfan juga punya kebiasaan “tidak lazim”. Setiap sebulan sekali, entah harinya apa, beliau malam-malam naik sepeda motor keliling ke beberapa desa sebelah. Beberapa masjid atau musholla beliau datangi. Diam-diam tanpa ada yang tahu beliau memasukkan beberapa lembar uang di kotak amal. Beliau lebih senang memasukkan uang ke kotak amal yang ditulisi, “kotak amal untuk dhuafa dan yatim”.
Terkait dengan apa yang dilakukan itu, KIai Irfan berusaha merahasiakannya. Bu Nyai Masruroh, istinya pun sering tidak tahu.
Malam itu, hati Kiai Irfan bagai tersayat. Beliau mestinya menyadari bahwa peristiwa itu tidak sepenuhnya menjadi tanggungjawabnya. Bahkan, bisa dikatakan tidak terkait sama sekali. Namun, di keheningan malam itu, di saat orang lain masih terlelap, beliau muhasabah diri. Air mata yang meleleh di kedua pipinya, bukan pertanda kerapuhan hatinya atau ketidakikhlasannya atas kehendak Allah. Tapi lebih didorong oleh perasaan sedih, prihatin atas perilaku seorang jamaahnya yang jauh dari ajarannya. Beliau merasa bersalah. Beliau merasa belum berhasil mendidik umat dengan baik.
Kiai Irfan menetap di sebuah kampung yang jauh dari kota. Beliau menetap di kampung itu sepuluh tahun lalu. Beliau pindah ke daerah itu berdasar isyarat yang beliau terima setelah melakukan shalat istikharah. Semula, kawasan itu adalah kawasan abangan. Pelan-pelan, dengan kegigihan beliau, kawasan itu berubah menjadi lebih islami. Orang-orang yang semula tidak mengenal agama, pelan-pelan menjadi mengerti agama. Mereka mulai rajin berjamaah di Masjid yang didirikannya.
***
Purwanto. Ya…, nama itulah yang malam itu menjadikan air matanya meleleh. Siang tadi, setelah jamaah shalat dhuhur di masjid, Kiai Irfan mendapat kabar kalau Purwanto adalah salah satu orang yang terlibat baku tembak dengan aparat kepolisian di sebuah hutan di Jawa Barat. Belum ada kejelasan, apakah Purwanto termasuk korban yang meninggal karena tertembak atau yang masih menjadi buron. Namanya muncul di berbagai media karena polisi berhasil menemukan sebuah kartu pengenal atas nama Purwanto. Foto dirinya juga tertera di kartu pengenal itu.
Ingatan Kiai Irfan melayang 10 tahun lalu, di saat beliau awal-awal tinggal di kampung tersebut. Purwanto adalah salah satu warga desa yang nampak begitu antusias menyambut kedatangannya di kampung tersebut. Dan dia pulalah yang punya inisiatif agar Kiai Irfan mengadakan ngaji rutin tiap malam Ahad di kampung tersebut. Karena di kampung itu belum ada masjid atau musholla, maka ngajinya dari rumah warga ke rumah warga yang lain. Awalnya, hanya 5 orang yang ikut pengajian itu. Tapi, lama kelamaan, jumlahnya semakin banyak. Dan Purwanto-lah yang gigih mengajak warga untuk ikut pengajian.
Berdirinya Masjid di kampung itu, juga tidak lepas dari “provokasi” yang dilakukan Purwanto. Awalnya, Kiai Irfan berpandangan bahwa di kampung itu belum perlu didirikan Masjid. Selain penduduknya tidak terlalu banyak, Masjid yang ada di kampung sebelah juga jaraknya tidak jauh dan masih bisa menampung. Namun Purwanto ngotot. Warga terus “dikompori”. Akhirnya, Kiai Irfan pun tidak bisa mengelak. Setelah diskusi dengan beberapa kiai yang beliau kenal dan mempertimbangkan banyak hal, akhirnya Kiai Irfan menyetujuinya.
Kepanitiaan pun dibentuk. Purwanto menjadi ketua panitia pembangunan. Tidak memakan waktu lama, Masjid yang ukurannya tidak terlalu besar itu, sudah jadi dan bisa digunakan untuk shalat berjamaah. Soal lancarnya pembangunan Masjid, tentu tidak lepas dari peran KIai Irfan. Beliau berada di garis depan atas pembangunan Masjid itu.
Setelah masjid berdiri dan bisa difungsikan, Purwanto pun menjadi salah satu jamaah yang paling aktif. Dia tidak pernah ketinggalan mengikuti jamaah 5 waktu. Malam hari pun, dia juga paling awal datang ke Masjid. Sering kali, dia datang ke Masjid ketika masjid masih terkunci. Karena itu, dia akhirnya minta untuk membawa kunci cadangan agar ketika datang ke masjid dan pintu belum dibuka, dia bisa membukanya.
Kiai Irfan sangat senang dengan semua itu. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, persoalan mulai muncul. Purwanto memprotes Danang (pemuda kampung sebelah yang ditunjuk menjadi muadzin) agar diganti. Alasannya, sering telat mengumandangkan adzan. “Gara-gara dia telat mengumandangkan adzan, kita jadi tidak shalat tepat waktu,” kata Purwanto.
Soal telat mengumandangkan adzan itu, semestinya Kiai Irfan juga tahu. Tapi beliau masih bisa memakluminya. Selain rumah Danang memang agak jauh dari masjid, tingkat ketelatannya juga tidak parah. Ya…, hanya beberapa menit saja. Bagi Kiai Irfan tidak terlalu masalah. Bisa diperbaiki. Dan Danang pun, segera akan dipanggil untuk dinasehati.
Kiai Irfan melihat Danang adalah pemuda yang baik. Eman kalau hanya gara-gara itu, dia dihentikan dari tugasnya sebagai muadzin. Tidak mudah mencari pengganti. Karena selain harus mencari orang yang bisa mengaji dan suaranya bagus, juga diperlukan keikhlasan. Sebab, tanggung jawab yang diberikan cukup besar. Terutama untuk shalat subuh. Sebelum orang lain berangkat ke Masjid, muadzin harus sudah datang lebih dulu. Nyetel qiro’ah, tarhim, dan kemudian mengumandangkan adzan subuh.
Tidak itu saja. Karena takmir masjid belum menunjuk marbot yang bertugas menjaga kebersihan masjid, maka selain sebagai muadzin, Danang juga bertanggung jawab atas kebersihan masjid. Terutama ruang utama masjid. Sedang untuk halaman dan kamar mandi, serta tempat wudlu masjid ada beberapa warga yang secara bergantian membersihkannya secara suka rela.
“Nanti coba saya nasehati dulu,” kata Kiai Irfan ketika Purwanto terus mendesak agar Danang segera dihentikan. Purwanto terlihat kecewa dengan jawaban itu. Tapi dia tidak berani membantah.
Selain memprotes keberadaan Danang, Purwanto juga memprotes Ustadz Faizin yang ditugasi Kiai Irfan untuk mengelola TPQ di Masjid tersebut. Persoalannya hampir sama. Ustadz Faizin dinilai sering datang terlambat. “Saya sering harus menunggu sampai lama. Karena kalau dia belum datang, saya belum berani meninggalkan masjid. Takut anak-anak mengotori masjid,” kata Purwanto.
Kali ini pun, Kiai Irfan tidak bisa mengabulkan permintaan Purwanto. Alasannya sama: tingkat ketelatannya tidak parah. Masih bisa ditoleransi. Kiai Irfan yakin bahwa pelan-pelan semua kekurangan itu bisa diperbaiki. Menurut Kiai Irfan, Ustadz Faizin adalah ustadz yang baik. Dia lulusan dari sebuah pesantren yang mengkhususkan diri mempelajari Al Qur’an. Bacaan Qur’annya bagus. Sedikit-sedikit juga bisa baca kitab kuning. Sehingga selain diajari baca tulis Al Qur’an, anak-anak juga dajari tentang fiqih-fiqih terapan, seperti tata cara wudhu, shalat dll.
Semakin lama, Purwanto sering mengajukan protes. Ada saja yang dipersoalkannya. Bahkan sering terkesan mengada-ada. Padahal menurut Kiai Irfan, masalah-masalah itu masih bisa ditoleransi. Memang belum sempurna. Namun, Kiai Irfan yakin, seiring dengan perjalanan waktu, semua bisa diperbaiki. Tapi, Purwanto maunya serba cepat dan serba sempurna. (bersambung)
Akhmad Zaini
Aktivis pendidikan Islam, tinggal di Tuban, Jawa Timur.
Advertisement