Aidit, dari Muazin Kecil, Orator Ulung dan Jadi Tokoh PKI
Lahir dengan nama Ahmad Aidit pada 30 Juli 1923 di Tanjung Pandan, Pulau Belitung, sekarang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Setelah pindah ke Jakarta, namanya diubah menjadi Dipa Nusantara Aidit (DN Aidit), seorang tokoh utama Partai Komunis Indonesia (PKI) yang geger dengan Gerakan 30 September 1965 (G30SPKI) ketika itu.
Dipanggil Amat, pada masa kecilnya. Lahir dari keluarga yang ketat dengan pendidikan Islam. Ayahnya bernama Abdullah Aidit bin Ismail dan Ibunya bernama Mailan. Ayah Aidit adalah tokoh di Belitung yang melawan kolonial Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, Abdullah sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) mewakili Belitung. Abdullah ketika itu pernah mendirikan perkumpulan keagamaan bernama Nurul Islam.
Aidit kecil dikenal sebagai anak soleh. Di kampungnya menjadi muazin di mushola dan masjid di Belitung. Itu karena suaranya yang keras dan lafalnya yang jelas. Aidit kecil dan adiknya mendapat bimbingan agama pamannya yaitu Abdul Rahim. Usai pulang dari sekolah, Aidit dan adiknya mengaji di bawah bimbingan langsung pamannya, yaitu Abdul Rahim.
Di kampungnya di Tanjung Pandan, orang tuanya dikenal sebagai keluarga terpandang. Dari garis ayahnya, punya kakek bernama Haji Ismail, seorang pengusaha di bidang perikanan yang kaya raya. Sedangkan dari garis Ibunya, yaitu Ayu Mailan, dikenal sebagai keluarga bangsawan, yaitu Ki Agus Rahman, dari Belitung.
Merantau ke Jakarta
Ahmad Aidit merantau ke Jakarta sebelum masa penjajahan Jepang pada tahun 1940-an. Ada yang menarik dari awal keberangkatannya ke Jakarta, Ahmad Aidit, pamit dengan terlebih dahulu membaca Al Quran di depan keluarganya hingga 30 juz atau khatam. Pamitan ini, kabarnya sebagai tradisi keluarganya.
Sesampai di Jakarta, Aidit menggantikan namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit. Aidit remaja ketika itu, sudah memberi tahu perubahan nama ke orang tuanya dan disetujui.
Pria yang dikenal kutu buku ini, mendirikan sebuah perpustakaan bernama Antara di daerah Tanah Tinggi, Kawasan Senen, Jakarta Pusat. Aidit melanjutkan belajarnya di Sekolah Dagang Handelsschool. Di tempat belajar itulah Aidit belajar pelbagai banyak teori.
Mengutip wikipedia.org, salah satu yang kemudian ditekuninya adalah teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia. Dalam aktivitas politiknya Aidit mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia. Di antaranya Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta dan Mohammad Yamin.
Dari sejumlah pengakuan teman-temannya, Bung Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya. Aidit menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.
Aidit kemudian berubah total dengan haluan politiknya. Dia menjadi seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern). Meski demikian, Aidit juga menaruh perhatian dan mendukung atas faham Mahaenisme (adalah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa). Ideologi ini dikembangkan oleh Presiden Soekarno ketika itu.
Mengembangkan Organisasi
Dalam perjalanannya Aidit lebih memilih mengembangkan organisasinya dan menjadi Sekjen PKI hingga menjadi ketua di partai berlambang palu dan arit ini. Aidit memimpin PKI dan mengembangkan ideologi kiri ini terus berkembang. Di bawah kepemimpinan Aidit, PKI menjadi partai komunis tiga besar dunia, setelah Uni Soviet dan Tiongkok.
Aidit juga berhasil mengembangkan kelompok masyarakat yang menjadi underbow partainya. Seperti Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Corp Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), dan dari para pekerja yaitu Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan lainnya.
Aidit yang dikenal sejak kecil bersuara lantang, tumbuh menjadi politisi kiri. Aidit berhasil membangun kembali organisasinya yang sempat jeblok akibat pemberontakan PKI dipimpin Musso, pada tahun 1948 terpusat di Madiun dan beberapa kabupaten di Jawa Timur. Terbukti pada Pemilu 1955, PKI kembali mendapatkan pengikut. Keberhasilan itu tak lepas dari peran Aidit, dengan programnya yang dikenal karena membela rakyat kecil di tanah air.
Peristiwa G30SPKI
Keberhasilan Aidit, dalam mengembangkan PKI dengan sayapnya di tanah air menjadi partai terbesar dan berpengaruh. Aidit-nya juga dikenal luwes dan bisa masuk ke tokoh-tokoh penting. Dari tokoh politik, juga militer yang sebagian dipengaruhinya.
Hingga peristiwa tragis dengan sebutan Gerakan 30 September (G30S) dilakukan oleh PKI. Gerakan pemberontakan ini mengincar perwira tinggi TNI AD Indonesia. Tiga dari enam orang yang menjadi target langsung dibunuh di kediamannya. Sementara itu, beberapa lainnya diculik dan dibawa menuju Lubang Buaya.
Keenam perwira tinggi yang menjadi korban G30S PKI antara lain Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, dan Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono. Ada juga Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir jenderal Donald Isaac Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
Selain enam jenderal yang gugur, ada pula ajudan Menhankam/Kasab Jenderal Nasution, Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, dan Pengawal Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena, Brigadir Polisi Satsuit Tubun. Salah satu jenderal yang berhasil selamat dari serangan adalah AH Nasution. Namun, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani Nasution, meninggal terkena tembakatan, saat proses penculikan ayahnya.
Eksekusi Aidit
Dikutip dari merdeka.com, Komandan Brigade IV Infanteri, Kolonel Yasir Hadibroto, dan para anak buahnya, menemukan persembunyian Aidit di sebuah tempat di Solo. Pada pagi buta, Yasir pergi dengan membawa Aidit meninggalkan Solo. Memasuki Boyolali, Yasir membelokkan mobilnya menuju ke Markas Batalyon 444.
Di sana, ia menanyakan pada Mayor Trisno, komandan batalyon, apakah ada sumur di tempat itu. Sang komandan menunjuk sebuah sumur tua di belakang markas. Yasir lalu membawa Aidit ke sana.
Di depan sumur, Yasir mempersilahkan tahanannya untuk mengucapkan pesan terakhir. Namun, waktu itu justru Aidit mengumandangkan pidato dengan berapi-api.
Mendengar pidato itu, Kolonel Yasir dan para anak buahnya naik pitam. Dia langsung menembak Aidit dengan peluru hingga dadanya berlubang. Jenazahnya langsung tersungkur dan masuk ke sumur pada 22 November 1965.
Tapi, beberapa tahun berlalu, tak ada satupun penanda bekas sumur di pekarangan gedung tua bekas markas Batalyon 444 di Boyolali. Tanahnya sudah ditumbuhi berbagai tanaman seperti labu siam, ubi jalar, pohon mangga, serta jambu biji. Tapi banyak orang meyakini dahulu ada sumur tua yang menjadi tempat pembuangan jenazah Aidit.
Advertisement