AHY Sebut Politik Identitas Kian Marak Jelang 17 April
Komandan Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyinggung soal fenomena polarisasi masyarakat yang makin terasa, karena makin masifnya sejumlah pihak menggunakan narasi politik identitas.
Hal itu disampaikan putra sulung presiden RI ke-5, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut, dalam Pidato Kebangsaannya yang berjudul Indonesia untuk Semua, di DBL Arena, Surabaya, Sabtu 13 April 2019.
"Sikap saling tuding antar kelompok yang menggunakan narasi identitas seperti, antara pro-kebhinekaan dan pro-Islam, pro-NKRI dan pro-khilafah, atau pro-Pancasila dan anti-Pancasila. Seolah kian merenggangkan hubungan kita sebagai sesama anak bangsa," kata dia.
Penggunaan narasi-narasi yang bisa memicu polarisasi itu kata AHY, sudah terjadi sejak lama. Bahkan sejak Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lampau.
"Sebenarnya penggunaan narasi media semacam itu sudah terasa sejak Pilpres 2014, dan Pilkada DKU Jakarta 2017 yang lalu. Tetapi dalam kontestasi pemilu 2019 ini penggunaan narasi identitas itu kita rasakan semakin keras," kata dia.
Buntutnya, kata AHY sikap saling curiga terus tercipta, sikap saling benci kian mengental, bahkan, menurutnya hal itu sampai mengakibatkan kontak fisik antar para pendukung capres di sejumlah daerah.
Sang ayah, SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat tersebut, kata dia sudah memberikan titah kepada seluruh kader partai untuk senantiasa berkomitmen pada empat pedoman dasar. Yakni, menjaga NKRI, merawat kebhinekaan, menegakkan keadilan, serat mengutamakan rakyat,
"Dalam suratnya pak SBY menyampaikan pesan kepada kita, agar berjuang untuk Indonesia senantiasa menceminkan inklusifness atau melibatkan dan mengayomi seluruh komponen bangsa dengan sesama Indonesia untuk Semua agar mencerminkan keberagaman, kemajemukan dan persatuan unity in diversity, bhinneka tunggal ika, berbeda tapi tetap satu jua," kata dia
SBY, kata dia juga telah menasihatkan, bahwa calon pemimpin yang cara berfikir dan tekadnya adalah untuk menjadi pemimpin bagi semua, kalau terpilih kelak akan menjadi pemimpin yang kokoh.
Sebaliknya, jika pemimpin tersebut mengedepankan politik identitas, atau gemar menghadapkan identitas yang satu dengan yang lain, dan menarik garis pembeda yang tebal antara kawan dan lawan, maka hampir dipastikan pemimpin itu adalah pemimpin yang rapuh.
"Kita semua berkeyakinan baik Pak Prabowo Subianto dan Pak Joko Widodo bukanlah calon pemimpin yang berniat untuk membentur-benturkan identitas masyarakatnya sendiri, kita sendiri semua yakin keduanya juga memiliki komitmen untuk senantiasa menjaga keutuhan bangsa," katanya. (frd)