Ahokers Pemilih “Rasional” yang Menolak Move On
Sebuah karangan bunga dalam ukuran besar (Jumat 28/4) menarik perhatian para pendukung Ahok yang berkumpul di Balai Kota DKI. Berbeda dengan ribuan karangan bunga lainnya, pesan yang disampaikan cukup menggelitik “Move On Donk Coy!”
Pesan ini jelas ditujukan kepada Ahoker yang sampai saat ini belum bisa menerima kekalahan. Bila dilihat dari kata-kata di bawahnya, jelas karangan bunga ini berasal dari pendukung Anies-Sandi. Ada tulisan OK OC yang identik dengan program andalan Anies-Sandi.
Hanya dalam hitungan puluhan menit, karangan bunga tersebut sudah rusak. Sebelumnya sejumlah Ahoker menempelkan kain dengan motif kotak-kotak dengan tulisan #menolakmoveon.
Fenomena banjir karangan bunga dan aksi Ahokers di sosial media sesungguhnya mementahkan persepsi yang ingin dibangun bahwa pendukung Ahok-Djarot adalah pemilih yang rasional (rational choice), sementara pemilih Anies-Sandi adalah pemilih yang emosional (emotional choice).
Mengacu pada teori perilaku pemilih (voting behavior), setidaknya ada tiga pengelompokan perilaku pemilih. Rational choice, emotional choice dan psychological choice. Pemilih Ahok-Djarot dikesankan adalah pemilih yang rasional karena memilih berdasar kinerja. Sementara pemilih Anies-Sandi adalah pemilih yang memilih berdasarkan emosi atau psikologis (etnis, dan agama).
Menolak mengakui kekalahan dan larut dalam kesedihan yang berkepanjangan, adalah sikap yang sangat emosional dan jauh dari kata rasional. Para Ahoker ini seperti remaja yang tengah patah hati. Mereka menangis mengurung diri di kamar berhari-hari, menumpahkan keluh kesahnya ke dalam buku harian dan menulis puisi-puisi putus cinta yang menyayat hati.
Hanya saja di era media sosial ini ekspresinya menjadi berbeda, tapi tetap dalam tone yang sama melankolis, melodramatis. “Katakan dengan bunga” menjadi pilihan, sehingga Balaikota DKI banjir karangan bunga. Mereka mengunggah lautan karangan bunga dalam berbagai platform media sosial dengan kata-kata yang mengungkapkan rasa frustrasi dan patah hati, karena pangeran kesayangannya kalah dalam sebuah pertempuran.
Ada seorang wartawan senior yang menuliskan fenomena karangan bunga di Balaikota DKI mengingatkan kepada lautan bunga di Istana Kensington dan jalanan kota London, ketika Lady Diana tewas (1997). Pesan yang sampai adalah kemurungan, duka yang mendalam, patah hati dan putus asa campur aduk menjadi satu. Fakta yang tidak bisa diubah, Lady Diana sudah mati.
Coba kalau sedang punya waktu luang, sekali-kali intip apa kata para Ahokers di dunia maya. Ada yang memaki-maki, ada pula yang menolak realitas yang terjadi. Ahoker lainnya seolah mencoba menyalakan harapan dengan menyatakan sebaiknya menunggu keputusan dari KPUD. Siapa tahu rekapitulasi suara di KPUD berubah dan Ahok-Djarot menang. Come on! Selisih 15.90 persen Coy!
Sungguh absurd. Mereka menolak realitas dan sangat emosional. Dalam teori psikologi Kubler-Ross (1969) menyatakan, para Ahokers ini berada dalam tahap penyangkalan (denial) dan marah (anger). Tak heran bila ada joke “Di dunia ini ada dua jenis orang yang sulit diingatkan. Pertama, orang yang sedang jatuh cinta. Kedua, para pendukung Ahok.”
Politik labeling
Dilihat dari sikap para pemilih Ahok, framing media dan pemberian label kepada pemilih Anies-Sandi khususnya dan umat Islam yang menjadi pendukung terbanyaknya, menjadi mentah semua. Mari kita rinci lagi apa saja framing dan labeling yang coba diterapkan selain soal perilaku pemilih.
Pertama, anti NKRI, intoleran, tidak bhineka dan makar. Kedua, politik aliran. Ketiga, kelompok radikal.
Anti NKRI, intoleran, tidak bhineka dan makar
Label dan framing media ini sangat terasa menjelang Pilkada DKI 2017, terutama pasca mencuatnya penistaan agama oleh Ahok. Umat Islam yang menuntut keadilan melalui serial Aksi Bela Islam (ABI) diberi label anti NKRI, intoleran dan tidak bhineka. Yang menyedihkan label ini tidak hanya datang dari kalangan Ahoker, tapi juga aparat keamanan. Polri yang harusnya netral sebagai alat keamanan negara sekaligus pengayom dan penjaga ketertiban masyarakat, mengambil peran terbesar dalam proses labeling ini.
Para aktor intelektual yang mendesain strategi ini lupa membaca sejarah, atau jangan-jangan malah tidak paham sejarah. Sejak kapan umat Islam yang mayoritas di Indonesia ini menjadi anti NKRI. Para tokoh pejuang kemerdekaan RI mayoritas adalah para ulama. Jadi umat Islam Indonesia adalah pewaris sah dari NKRI.
Intoleransi lagi-lagi juga sangat ahistoris. Indonesia adalah negara muslim terbesar dan mendapat pujian dari dunia sebagai muslim yang moderat dan damai. Penguasa-penguasa muslim mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono dan maaf hampir terlewat, Megawati Soekarno Putri nota bene adalah muslim.
Pernahkah mereka melakukan represi terhadap umat beragama lain? Justru yang terjadi malah sebaliknya. Dalam periode tertentu terutama pada masa Soekarno dan Soeharto ada masanya kaum muslim malah mendapat represi. Nah kini pada masa pemerintahan Jokowi yang juga muslim, umat Islam kembali mengalami masa-masa yang tidak menyenangkan.
Soal tidak bhineka? Di kalangan pentolan pendukung Anies-Sandi ada nama-nama besar non muslim seperti Hasyim Djojohadikusumo dan pemilik Group MNC Hary Tanoe Soedibyo. Keduanya adalah penganut Kristen yang taat dan khusus Hary Tanoe adalah seorang konglomerat etnis Cina.
Soal etnis China ini kita juga perlu mencatat nama-nama seperti Kwik Kien Gie, Djaja Suprana, Lieus Sungkharisma atau Zeng Wei Jian yang menjadi ikon perlawanan terhadap Ahok. Khusus untuk nama-nama terakhir, bangsa Indonesia, terutama warga Jakarta berutang budi sangat besar. Mereka layak mendapat ucapan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya.
Tanpa kehadiran mereka ketegangan etnis yang laten di Indonesia bisa saja menjadi tidak terkendali. Ucapan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya seharusnya juga diucapkan oleh komunitas etnis Cina. Mereka telah menjadi bumper pengaman, ketika ulah Ahok dan segelintir para pendukungnya mengungkit memori publik akan kerusuhan sosial.
Politik aliran
Aktor yang berdosa besar dalam pembentukan framing dan labeling politik aliran adalah para akademisi dan para pentolan lembaga survei yang menjadi pendukung Ahok. Data exit poll dalam Pilkada DKI putaran pertama dan kedua mengkonfirmasi bahwa mayoritas komunitas etnis Cina dan non muslim memilih Ahok. Sebaliknya tidak semua pemilih muslim memilih Anies-Sandi. Justru suara terbanyak Ahok-Djarot terbesar datangnya dari pemilih muslim.
Jadi bagaimana kemudian muncul labeling bahwa terpilihnya Anies-Sandi sebagai fenomena menguatnya politik aliran? Lha kalau mayoritas etnis Cina dan non muslim memilih Ahok-Djarot bukan politik aliran? Sementara bila umat Islam memilih sesama agama, politik aliran menguat. Jika sebaliknya tidak? Ini adalah dosa pertama.
Dosa kedua, membangun persepsi dan pemahaman yang keliru bahwa politik aliran itu suatu dosa besar dan hanya terjadi di kalangan muslim. Memilih berdasarkan etnis, suku, agama dan kedekatan-kedekatan lain adalah hal yang biasa dan bahkan terjadi di negeri yang disebut sebagai mbah-nya demokrasi, Amerika Serikat (AS).
Kalangan kulit berwarna, kulit hitam, hispanik, dan keturunan Asia biasanya akan memilih partai Demokrat. Begitu pula orang kulit putih yang liberal, pro aborsi dan LGBT. Sebaliknya kulit putih yang konservatif, cinta keluarga, anti aborsi, pro kepemilikan senjata dan para pengusaha besar akan memilih Partai Republik.
Dalam pemilihan Presiden juga begitu. Selama hampir 200 tahun AS merdeka yang menjadi presiden haruslah memenuhi kriteria kulit putih, keturunan Inggris/British dan Protestan atau biasa disebut white, anglo saxon and protestan (WSAP). Baru pada tahun 1960 John F Kennedy yang beragama Katolik terpilih.
Setelah Kennedy ritualnya balik lagi ke mereka yang masuk kriteria WSAP. Baru 49 tahun kemudian Obama yang setengah kulit hitam terpilih sebagai Presiden AS (2009). Perlu dicatat, Obama adalah penganut Kristen.
Kelompok radikal
Nah labeling dan framing yang terakhir ini yang rada seru. Pelakunya adalah media asing yang di-amplifier oleh media-media lokal dan di-support oleh para intelektual Indonesia yang kebanyakan mengenyam pendidikan Barat.
Tak lama setelah Anies-Sandi dinyatakan menang, media-media Barat menulis kemenangan itu sebagai tanda kemenangan kelompok radikal. Media di Indonesia yang berafiliasi dengan Ahokers langsung ramai-ramai memberitakannya. Para pengamat dan intelektual yang sengaja diberi panggung, makin memberi penekanan soal itu.
Pola semacam ini bukanlah hal yang baru. Ini gaya lama yang dimainkan oleh negara-negara Barat, manakala jagoannya kalah. Barat khususnya AS sebenarnya tidak peduli apakah sebuah negara itu demokratis atau tidak. Bagi mereka yang utama kepentingan politik dan terutama ekonominya terjaga. Selama negara itu bisa dikendalikan, dijadikan boneka, maka mereka adalah sekutu.
Contoh nyata adalah Kerajaan Arab Saudi yang menjadi sekutu dekat AS. Sebaliknya para diktator akan tetap dilindungi dan kemudian disingkirkan apabila mereka menunjukkan tanda-tanda mulai melawan. Ini terjadi pada Manuel Noreiga di Panama dan Saddam Hussein di Irak.
Bagi anda yang sinis dan sering menuduh umat Islam selalu berpikir dengan teori konspirasi, ada baiknya membaca buku The Legacy of Ashes, The History of CIA karya Tim Weiner. Buku ini berisi dokumen-dokumen lembaga intelijen AS CIA yang telah dibuka untuk umum, declassified dan dilengkapi dengan wawancara sejumlah pejabat tinggi CIA.
Dalam buku itu digambarkan AS dan sekutu-sekutunya negara Barat menjadi polisi dunia dan melakukan perang intelijen melawan blok Timur pimpinan Rusia. Banyak pemimpin dunia yang dijatuhkan karena tidak sejalan dengan mereka. Kisah paling tragis terjadi di Chile sebuah negara yang demokrasinya paling stabil di Amerika Selatan.
Ketika Salvador Allende yang Marxis memenangkan Pilpres Chile (1970), agen-agen AS bekerjasama dengan militer lokal menjatuhkannya melalui sebuah kudeta (1973). Sejak itu Chile yang berada di bawah diktator Jenderal Augusto Pinochet menjadi negara teror bagi rakyatnya. Selama 27 tahun (1973-1990) Pinochet berkuasa tercatat ribuan orang terbunuh.
Mau contoh lain? Masih ingat ketika Front Islamique du Salut (FIS) Partai Islam Bersatu memenangkan Pemilu di Aljazair 1991. Dengan dibantu Perancis, militer membatalkan pemilu dan Aljazair berada diambil alih militer.
Begitu juga ketika Ikhwanul Muslimin memenangkan Pemilu di Mesir dan Presiden Mohamed Morsi berkuasa. Militer Mesir melakukan kudeta (2013) dan mengambil alih kekuasaan. AS adalah negara pertama yang mengakui pemerintahan di bawah Jenderal Abdul Fatah Al-sisi. Musim semi demokrasi di negara-negara Arab (Arab spring) berubah menjadi musim gugur yang menyedihkan.
Sekali lagi buat negara-negara Barat, khususnya AS, demokrasi hanya diakui bila sekutunya yang memenangkan pemilu. Bila lawan, apalagi umat Islam yang menang, maka berbagai cara dilakukan untuk merongrong kekuasaan mereka. Mulai dari yang halus membuat labeling dan framing dan kalau tidak mempan, ya jalur keras melalui kudeta.
Syukurlah militer Indonesia tidak punya tradisi kudeta. Dalam berbagai gonjang-ganjing Pilkada DKI, mereka juga bersikap netral. Kehadiran aparat TNI di sejumlah TPS pada putaran kedua juga ditengarai berhasil mencegah kelompok tertentu yang ingin melakukan kecurangan dan kerusuhan. Tidak ada lagi orang model Iwan Bopeng yang bikin onar di TPS. Mereka balik kanan ketika melihat TNI berjaga-jaga di TPS dan sejumlah tempat.
Proses labeling dan framing media ini cara kuno dan tidak laku lagi di era medsos. Ketika era penguasaan media di tangan negara-negara kapitalis, mereka dengan leluasa bisa memaksakan agendanya. Namun saat ini arus informasi tak lagi berjalan linier satu arah. Dengan gadget di tangan semua orang bisa mengakses berbagai informasi dan bahkan memproduksi informasi mereka sendiri.
Saatnya Ahoker untuk move one dan kalau masih punya semangat dan nyali, medan tempur pilkada serentak 2018 menunggu di depan mata. Sebelum terjun dalam pertempuran, siapkan mental untuk menang maupun kalah.
Nasehat seorang ahli pendidikan anak Benri Jaisyurrahman yang statusnya sempat viral di dunia maya pantas untuk direnungkan. “ Didiklah anakmu untuk siap gagal dan kalah. Sebab jika tidak, kita akan repot memberikan ribuan karangan bunga untuk menghiburnya. Mahal, Bro!
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini jadi konsultan media dan politik