Ahmad Wahib, Pemikiran (yang) Belum Selesai
Oleh: Ady Amar
Di tahun 1981 sebuah buku terbit, yang mendapat sambutan cukup hangat bahkan terlampau hangat dibicarakan. Ada yang suka atas terbitnya buku itu, dan menganggap bahwa buku itu menginspirasi pembacanya. Tapi tidak sedikit yang kontra terhadap buku itu, dan menganggapnya mengandung pikiran “sesat”.
Belum ada buku terbitan lainnya karya “pemikir” Indonesia, yang hadirnya mengundang pandangan dua sikap yang saling bertolak belakang sekaligus, simpati dan antipati.
Saya yang kala itu remaja, awal menjadi mahasiswa, ikut larut dalam membaca dan membicarakan buku itu. Bahkan membacanya tidak cuma sekali tapi beberapa kali, dan tidak menemukan sesuatu yang membahayakan dalam pikiran Ahmad Wahib, kecuali semacam pikiran anak muda yang “menggelegar”, melihat fenomena yang terjadi di sekitarnya. Menggugat apa saja yang bisa digugatnya. Ahmad Wahib bicara dalam bisu, bicara dalam sunyi.
Anak muda dan mahasiswa kala itu membicarakan buku itu dalam forum-forum diskusi ilmiah maupun dalam perbincangan santai. Dan tentu yang keluar dari mulut mereka adalah decak kagum, dan atau, bahkan sumpah serapah atas isi buku itu. Dan itu biasa saja, itulah awal anak muda dan mahasiswa mulai “disuguhi” pikiran di luar mainstream.
Wahib bicara dalam bisu dan sunyi, karena dia cuma menuliskan catatan harian, yang sebenarnya tidak dimaksudkan sebagai konsumsi umum, apalagi diterbitkan menjadi buku serius. Wahib adalah anak muda yang terlibat dalam diskusi rutin mingguan, yang dilakukan setiap Jum’at sore di Yogyakarta kala itu.
Lingkaran diskusi “Limited Group”, inilah nama kelompok diskusi rutin itu, dimana Wahib sendiri yang memberi nama. Diskusi rutin itu diadakan di rumah Mukti Ali (Rektor IAIN Sunan Kalijaga), di Komplek Perumahan Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Demangan, Yogyakarta.
Diskusi itu berlangsung mulai sejak pertengahan 1967 sampai akhir 1971. Peserta inti diskusi di samping tuan rumah (Mukti Ali), Wahib, Djohan Effendi, dan M. Dawam Rahardjo... sesekali hadir pada diskusi itu Syu’bah Asa, Kuntowidjojo, WS. Rendra, Niels Mulder, seorang Sosiolog dan Antropolog, Simuh (yang terkemudian menjadi Rektor IAIN Sunan Kalijaga).
Adalah Mukti Ali yang kemudian menjadi Menteri Agama RI, yang memfasilitasi dan membina anak-anak muda itu, yang terkadang diskusi itu “kebablasan” mengangkat elemen Teologis yang terlalu berani, atau yang dianggap sudah selesai untuk dibicarakan.
Tidak sedikit materi dari hasil diskusi mingguan itu yang menarik, secara diam-diam dicatat oleh Wahib, dalam catatan hariannya, sebagaimana penuturan Djohan Effendi.
Ahmad Wahib tidak berumur panjang, dia ditabrak sepeda motor di depan kantor Majalah Tempo di Jakarta (1973), tempat dimana dia bekerja selaku calon reporter.
Adalah Djohan Effendi yang kemudian “menemukan” Catatan Harian yang ditulis sahabatnya itu. Tentu itu “catatan” yang bersifat personal. Bisa jadi jika Wahib masih hidup belum tentu menyetujui untuk dibaca banyak orang.
Djohan Effendi dan Ismet Natsir, yang lalu bertindak selaku Editor, menjadikannya buku, dengan memberi judul yang “memancing” respons siapa saja yang melihat atau membaca buku dimaksud: Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib, itulah judulnya. Diterbitkan LP3ES, yang saat itu digawangi oleh sahabatnya, M. Dawam Rahardjo.
Judul buku itu memang “mentereng”, dan tampak berlebihan. Judul yang tepat setidaknya “Pergolakan Pemikiran Seorang Muslim”. Entah kenapa judulnya “dipelesetkan” demikian. Bukan sekadar kesalahan, tapi memang disengaja. Bisa jadi agar lebih memenuhi aspek komersial, tapi “melanggar” aspek etis dan relevan. Saya tidak ingin lebih jauh lagi menilai judul buku dimaksud, agar subyektivitas tidak terganggu.
Kasihan Wahib
Ahmad Wahib (1942-1973), lahir di Sampang-Madura, dari kalangan santri tradisionalis. Saat mahasiswa aktif di HMI Yogyakarta sebagai pengader. Wahib fisiknya berpostur kecil, kulit sawo matang. Pribadi yang tenang, tidak meledak-ledak, apalagi berwatak demonstran. Dia lebih sebagai pemikir setidaknya untuk diri sendiri dan komunitas terbatas.
Memahami Wahib haruslah utuh, tidak sekadar melihat bukunya yang sebenarnya bukan untuk konsumsi umum. Melihat Wahib haruslah melihatnya secara utuh; sosio kultur, politik dan ideologi yang tampil saat itu dengan begitu kerasnya, suasana setelah G30S PKI. Ada suasana keresahan melihat apa yang terjadi, dan itu coba dituangkannya dalam catatan hariannya. Wahib tidak puas dengan kondisi aktual saat itu, dan dia “berontak” dengan caranya.
Wahib bukanlah pemikir yang sudah selesai. Dia berproses dan belum selesai, dan menjadi tidak adil jika kita langsung menganggap itu sebagai pikiran yang sudah final. Usianya yang pendek menghasilkan pikiran yang belum selesai.
Pikiran-pikiran Wahib adalah pikiran anak muda yang tampak bebas-liar, tentu itu bagian dari pergulatan pemikirannya kala itu, dan semata bersifat personal. Kita pun bisa berpikir bebas, bahkan berdialog dengan Tuhan sekalipun dengan dialog yang tidak sewajarnya, namun menjadi tampak “kurang ajar” jika itu diekspose pada komunitas luas, semacam al-Hallaj, yang mengekspose Ana’l-Haqq, dan memicu kemarahan komunitas yang menghantar ke kematiannya. Jika dia mengekspose itu dalam hati, maka takdir bisa jadi tidak menjemputnya dengan cara menyakitkan.
Membaca buku Wahib itu, kita menemukan kesulitan untuk memahami utuh pikirannya saat “menelorkan” igauan-igauannya, pada suasana apa igauannya itu muncul. Sulit melihatnya, karena varian persoalan yang diangkatnya beragam, pengungkapan materi yang tidak terlalu panjang, sehingga sulit untuk menangkap makna yang terkandung secara tepat, dan tidak adanya keterangan pada peristiwa apa “igauannya” itu dicatat. Tidak ada penjelasan. Dan memang, sekali lagi, Wahib menulis pikiran-pikirannya untuk diri sendiri, dia berdialog dengan diri sendiri dalam bisu-sunyi.
Djohan Effendi dan Ismet Natsir lah yang membuatnya seakan Wahib berbicara bahwa itulah pikiran-pikirannya. Tidak tahu persis, apakah catatan-catatan harian Wahib itu semata diterbitkan dengan tujuan mengenang sahabatnya, atau justru dihadirkan karena misi tertentu, bagian dari proyek liberalisme pemikiran. Saya tidak ingin berspekulasi, lebih sependapat bahwa dua sahabat itu cuma ingin mengenalkan pikiran-pikiran Wahib untuk diketahui khalayak, namun meski juga berisiko untuk “diadili” sesat. Kasihan Wahib.
Pemikiran Belum Selesai
Jika harus disalahkan, sebenarnya bukan pikiran Wahib itu yang patut disalahkan, yang cuma diniatkan sebagai catatan pribadi saja, tidak untuk konsumsi umum. Adalah Djohan Effendi-lah pihak yang patut disalahkan, dan itu tepat, karena mengangkat pikiran Wahib yang belum selesai, itu untuk kalangan yang lebih luas dengan menerbitkannya menjadi buku. Terbit setelah sewindu kematian Wahib, dan itu diakui oleh Djohan Effendi sendiri bahwa Ismet Natsir banyak pula melakukan penyuntingan “memotong” beberapa bagian dari “igauan” Wahib itu. Maka asumsi pun bisa ditarik, saat dihadirkannya menjadi buku (1981), suasana pemikiran liberalis mulai menggeliat, dan jika dikaitkan dengan penerbitan buku Wahib, ada benang merah yang tersambung.
Beberapa pikiran kontroversial Ahmad Wahib berikut ini, memang tidak biasa, khas pikiran Pluralis-Liberalis. Dan ini distigma sebagai sesat oleh kelompok yang berkeberatan atas hadirnya buku itu...
“Sesungguhnya orang yang mengaku ber-Tuhan tapi menolak berpikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensi adanya Tuhan.”
Dan lagi, “Orang yang tidak mau berpikir bebas itu telah menyia-nyiakan hadiah Allah yang begitu berharga, yaitu otak.” (Lihat “Pembaharuan Tanpa Apologia”, h. 9-10).
Dia juga mengatakan, “Dalam gereja mereka, Tuhan adalah Pengasih dan sumber segala kasih. Sedang di masjid atau di langgar-langgar, dalam ucapan dai-dai kita, Tuhan tidak lebih mulia dari hantu yang menakutkan, dengan neraka di tangan kanannya dan pecut di tangan kirinya.” (Idem, h. 24).
Juga, “Dengan mengidentikkan al-Qur’an sebagai kalam Allah, justru kita telah menghina Allah, merendahkan Allah dan kehendak-kehendak-Nya ...” (Idem, h. 35).
“Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim.” (Catatan Harian 9 Oktober 1969).
Inilah Wahib anak muda dengan segala kontroversial pemikirannya. Pemikiran yang belum selesai. Dan tidak fair jika harus dihukum sebagai pribadi “sesat”. Catatan Harian yang dibuatnya adalah bentuk kesuntukan melihat Islam yang tidak tampil secara kontekstual, lalu dia mengigau dengan caranya yang tidak biasa, dan cenderung disalahtafsiri sebagai aliran pemikiran menyimpang.
Tulisan ini tidak bermaksud “membela” pemikiran Wahib yang kontroversial itu, tapi untuk mendudukkan bahwa ada yang salah dari pemikirannya, itu benar. Namun begitu, waktu tidak memberi ruang untuk mengoreksi kerancuan berpikirnya. Saya melihat Ahmad Wahib sebagai anak muda dengan pemikiran yang belum selesai. [*]
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.