Pakar Tata Ruang Sebut Penyebutan Alun-alun Surabaya Dipaksakan
Proyek pembangunan alun-alun bawah tanah Kota Surabaya menuai kontroversi. Pakar Tata Ruang Kota, Benny Poerbantanoe menilai penyebutan alun-alun bawah tanah dipaksakan.
"Subyektif saya lebih suka menyebutnya sebagai ruang luar atau eksterior space," kata Benny saat dihubungi Ngopibareng.id, Jumat, 28 Februari 2020.
Dosen planologi UK Petra ini menyebutkan, dalam prinsip pembuatan ruang hijau atau ruang publik bagi masyarakat jika dihitung dengan perspektif makro-mikro kosmos alun-alun bawah tanah kota Surabaya masih jauh dari kriteria.
"Rasanya kurang pas dan kurang sependapat dengan menyebut sebagai alun-alun," katanya.
Ia membandingkan alun-alun bawah tanah Kota Surabaya itu dengan alun-alun Keraton Yogyakarta. Menurutnya, kriteria alun-alun itu seperti alun-alun Keraton Yogyakarta dan alun-alun Kawedanan Sedayu.
Sementara, aktivis pelestari bangunan cagar budaya Surabaya, Freddy Istanto mengatakan, selama ini belum tahu jika ada program pembangunan alun-alun di Surabaya.
Freddy mengungkapkan, konsep alun-alun yang sesungguhnya adalah sebuah tanah atau taman terbuka yang menjadi tempat masyarakat untuk menyatakan pendapat kepada kepala daerah.
"Alun-alun secara fisik memang tanah luas di pusat kota, yang kemudian dilengkapi dengan balai kota, masjid, pengadilan, dan lain-lain," kata Freddy.
Ia malah mempertanyakan maksud pembangunan alun-alun di bawah tanah. "Apakah ini bentuk alun-alun yang dimodernisasi atau seperti apa? Saya belum melihat konsep yang jelas dari program itu. Bisa saja itu wujud dari mengkinikan alun-alun tempo dulu," katanya.