Ahli Tata Ruang Kota ITS Sebut Reklamasi SWL Tidak Layak Disebut Proyek Berskala Nasional
Rencana pembangunan reklamasi berkedok Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land (SWL) yang akan berlangsung 300 meter dari kawasan pesisir yang membentang dari Kenjeran hingga Mulyorejo, menuai kritik dari masyarakat dan akademisi.
Pakar Perencanaan dan Tata Ruang Wilayah Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Ir. Putu Rudy Setiawan, M.Sc menyebut, proyek fantastis senilai Rp72 triliun tersebut dipandang terlalu diglorifikasi dan tidak akan berdampak banyak pada roda perekonomian Provinsi Jawa Timur secara keseluruhan. Tetapi akan berimplikasi pada perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah disusun dan dikaji sedemikian rupa.
Rudy melanjutkan, ia menilai proyek tersebut hanya akan memberikan dampak ekonomi pada masyarakat di sekitar wilayah Surabaya Raya saja, tidak sampai dirasakan oleh seluruh masyarakat provinsi, apalagi berdampak pada roda perekonomian nasional.
“Padahal, ini skalanya hanya skala lokal ataupun skala Surabaya Raya saja, lalu kenapa harus kebijakan tata ruang yang berbeda itu harus disesuaikan dengan ini (PSN SWL), itu yang menjadi persoalan pelik sebetulnya, bahwa seolah-olah kemudian ada keberpihakan pemerintah pusat yang menyatakan bahwa ini harus skala nasional, padahal kenyataannya tidak,” ungkapnya, ketika ditemui Ngopibareng.id, Selasa 6 Agustus 2024.
Rudy, yang juga terlibat sebagai tim ahli dalam penyusunan kajian awal mengenai rencana reklamasi yang akan dilakukan oleh PT. Granting Jaya juga menjelaskan, dengan terlaksananya PSN di Kota Surabaya, maka kesenjangan sosial di Provinsi Jawa Timur akan semakin terasa.
Perputaran uang, barang, dan jasa hanya berpusat di ibukota provinsi saja. Sedangkan wilayah-wilayah lain justru akan berperan sebagai penonton dan tidak merasakan implikasi dari pembangunan pulau buatan yang diperuntukkan untuk hunian, wisata, MICE, dan industri perikanan tersebut.
“Maka ekonomi itu akan terakumulasi terdampak secara positif di sekitar Kota Surabaya ataupun Surabaya Raya saja dan itu implikasinya akan terjadi kesenjangan semakin besar antara Kota Surabaya dengan kabupaten atau kota lainnya di Jawa Timur. Mestinya Pemprov Jatim itu punya sejumlah rencana untuk memeratakan distribusi ekonomi ke kabupaten/kota di seluruh Jatim,” paparnya.
Rudy juga menerangkan, sebagai salah satu anggota tim ahli yang pada awalnya mendampingi PT. Granting Jaya, mengatakan bahwa pihak PT. Granting Jaya awalnya tidak ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai operator resmi, tetapi perusahaan tersebut melakukan pengajuan secara langsung mengenai ide reklamasi kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Rudy menjelaskan, pengajuan proposal ke pemerintah pusat terjadi karena proyek ambisius tersebut tidak senafas dengan RTRW Provinsi Jawa Timur, yang terkandung dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2023 dan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2022 tentang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Gerbangkertosusila, di mana kawasan perairan yang rencananya akan direklamasi merupakan daerah ranjau bom.
“Sebetulnya, saya cenderung mengatakan terlalu dini bagi pemerintah pusat untuk menetapkan ini harus PSN karena memang tidak ada kajian dampak ekonomi, yang ada hanya kajian finansial saja, yang mengukur kelayakan secara finansial bukan ekonomi, kajian spasial menyatakan ini tidak layak yaitu tidak sesuai atau missmatch dengan semua rencana tata ruang pada level kota, provinsi, maupun skala nasional,” terangnya.
Dirinya juga menerangkan, glorifikasi PSN oleh berbagai pihak juga dipandang Rudy sebagai pemantik bagi para pemilik modal atau kaum kapitalis untuk semakin giat melakukan investasi dan berusaha untuk menerabas segala aspek perizinan dan tata ruang wilayah, yang dianggap berbelit-belit.
Bahwa reklamasi berdampak pada lingkungan, seperti adanya perubahan arus yang berdampak pada sedimentasi, abrasi dan perubahan habitat alam. Biota-biota laut yang bermukim di sana lalu bermigrasi dan menyebabkan kerugian bagi nelayan karena menambah pengeluaran mereka untuk mencapai zona penangkapan itu.
“Kesannya PSN ini hanya memberikan fasilitas kepada kapitalistik dan ini adalah kelanjutan dari Undang-Undang Cipta Kerja, yang memberikan karpet merah kepada para investor supaya investasi itu dapat berjalan lancar, maka tidak perlu diganggu oleh sejumlah kebijakan tata ruang dan diganggu oleh syarat-syarat perizinan yang terlalu panjang seperti itu,” tegasnya.
Namun, dirinya juga memaparkan bahwa status Surabaya Waterfront Land sebagai satu dari sekian PSN yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, bisa saja dicabut perizinannya bila hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah pusat menunjukkan SWL tidak memiliki dampak yang signifikan bagi perekonomian.
Rudy menyatakan, pernyataan tersebut didapatnya dari Deputi VI Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso, saat menghadiri rapat bersama perwakilan PT. Granting Jaya di Jakarta beberapa waktu silam.
“PSN itu secara regular dievaluasi oleh Kementerian Perekonomian berdasarkan progresnya, berdasarkan impact-nya yang diproyeksikan sekian persen, pertumbuhan ekonomi sekian persen, kalau tidak tercapai maka itu juga akan dievaluasi tentu bisa jadi digugurkan dan dikeluarkan dari list PSN dan kalau masyarakat dan institusi pemerintah di tingkat lokal merasa itu tidak sesuai, maka saya kira bisa saja melakukan komplain,” terangnya.
Terkait rencana reklamasi dan pembangunan pulau buatan yang justru dapat merusak lingkungan dan tidak berimplikasi terhadap perekonomian di skala lokal dan nasional, Rudy menyarankan pemerintah pusat untuk fokus mengembangkan daerah lain yang memiliki potensi besar di Provinsi Jawa Timur demi memeratakan roda perekonomian dan sosial.
Kawasan tersebut adalah jalur Selingkar Wilis, yang meliputi enam kabupaten yaitu Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun, dan Nganjuk, Jalur Pantai Selatan, dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, yang terletak di kawasan Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang.
“Kenapa tidak pemerintah pusat tidak berfokus pada pengembangan kawasan Selingkar Wilis, lalu Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan Pansela (Pantai Selatan), kenapa tidak ke sana saja investasi itu diarahkan? Kenapa harus di Kota Surabaya dan sekitar Surabaya Raya,” pungkasnya.
Advertisement