Ahli Satwa: Tak Perlu Kekerasan, Cukup Semprot Air untuk Melerai
Kasus dugaan penyiksaan orang utan Kalimantan yang dilakukan keeper di Kebun Binatang Surabaya (KBS) mendapat tanggapan dari ahli satwa sekaligus petinggi Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau.
Menurut Tony, dalam melerai suatu perkelahian satwa ada Standard Operational Procedur (SOP) yang harus dijalankan. Keeper mempunyai kewajiban untuk terus memonitor satwanya agar saat satwa mengalami konflik. Keeper harus benar-benar tahu cara menangani konflik tanpa harus menggunakan kekerasan.
Dalam kasus dua orang utan koleksi Kebun Binatang Surabaya yang berkelahi, dia menduga kejadian itu bukan karena mood orang utan yang lagi marah, melainkan ada sesuatu yang berkaitan dengan jenis kelamin keduanya. Karena saat dewasa, orang utan akan jadi lebih agresif.
Dalam kasus perkelahian dua orang utan di Kebun Binatang Surabaya itu, Tony menduga bukan karena si A mendahului lalu si B, lalu marah. Tapi karena jenis kelamin yang sama. “Karena kalau sudah dewasa, orang utan memilki sikap agresif yang berbeda," ujar Tony.
Menurut Tony, monitoring sangat penting dilakukan oleh keeper. Tujuannya agar keeper bisa memahami celah untuk melihat situasi saat satwa mengalami konflik. "Seharusnya sudah dipisahkan kalau memang sering melakukan perkelahian, tidak mungkin kali ini," terang Tony.
Tony kemudian menjelaskan bahwa ada dua cara yang menjadi prosedur standar kebun binatang untuk memisahkan satwa yang berkelahi. Cara pertama, menurut Tony adalah dengan menyemprot dengan air bertekanan tinggi. Cara ini dilakukan untuk melerai satwa yang berkelahi dalam konteks perkelahian tidak serius dan tidak membahayakan nyawa salah satu satwa.
“Makanya harus disediakan jet pump tekanan tinggi di dekat kandang untuk melerai satwa berkelahi,” kata dia.
Cara kedua, tambah Tony ialah dengan menggunakan fire extinguisher. Alat ini digunakan jika perkelahian sampai mengancam nyawa salah satu satwa. Tony memastikan bahwa perkelahian orang utan dalam kapasitas menggigit seharusnya cukup menggunakan air untuk melerai.
"Kalau orang utan menggigit, seharusnya sudah cukup menggunakan air. Itu sebenarnya juga tak perlu kalau orang utan masih kecil. Gigitan orang utan kecil seperti gigitan anak-anak yang gemes. Tak mematikan karena belum mempunyai taring," tegas Tony.
Manajemen Kebun Binatang Surabaya sebelumnya berdalih jika apa yang dilakukan keeper orang utan saat itu adalah memisahkan dua orang utan yang sedang berkelahi. Bukan melakukan penyiksaan.
Manajemen Kebun Binatang Surabaya lewat juru bicaranya Wini Hustiani menyebut, jika saat itu keeper hanya menggunakan potongan selang yang dipukul-pukulkan ke lantai. Tujuannya agar perkelahian dua orang utan itu selesai.
Namun keterangan ini dibantah oleh Indra Horianto, salah satu pengunjung sekaligus saksi mata. Kata Indra, dalam pengamatannya, alat yang digunakan oleh keeper bukan potongan selang, melainkan potongan kayu. Karena bentuknya kaku saat diayunkan.
Indra juga menyangsikan jika potongan selang itu hanya dipukulkan ke lantai bukan mengenai tubuh orang utan. Dalam pengamatannya, keeper memukul langsung mengenai tubuh orang utan.
Aktivis Protect of Forest & Fauna (PROFAUNA), Rosek Nursahid juga menyebut, tindakan menakuti-nakuti orang utan semacam ini juga dianggap bertentangan dengan konsep animal welfare yang harus dijalankan dalam merawat satwa. Menakut-nakuti satwa, apalagi orang utan semacam itu dianggap bisa menimbulkan tekanan psikis.
”Pendekatan yang harus dilakukan pawang pun harus bersifat manusiawi, karena orang utan itu satwa primata yang mempunyai daya rekam bagus. Mereka saja bisa merekam kekerasan secara psikis apalagi secara fisik,” kata dia. (faq)
Advertisement