Ahli Dzikir, Taat dan Punya Rasa Takut kepada Allah
Secara harfiyah, dzikir diartikan mengingat Allah SWT melalui berbagai macam bacaan dan kalimat-kalimat thayyibah. Dalam praktiknya, dzikir dalam upaya mengingat Allah bukan merupakan proses instan, melainkan diperoleh melalui ilmu sehingga dzikirnya tersambung (wushul) dengan Tuhannya.
Uraian tentang dzikir ini banyak dijelaskan di dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an termasuk mengenai keterangan ahli dzikir. Lalu, siapakah ahli dzikir itu? Pertanyaan ini salah satunya bisa dijawab melalui keterangan QS Al-Anbiya’ ayat 7:
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۖ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya, “Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”
Ahli Dzikir dan Orang Berilmu
Dalam ayat di atas, disebutkan secara sharih (terang dan jelas) mengenai siapakah ahli dzikir itu, ialah orang-orang yang berilmu. Pertanyaan selanjutnya, lalu siapakah orang-orang berilmu itu?
Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya dalam bukunya Secercah Tinta (2014) menjelaskan tentang siapakah ahli dzikir itu. Beliau menyatakan bahwa ahli dzikir adalah para wali Allah dan para ulama yang dalam hatinya terdapat rasa takut (khasyyah) kepada Allah SWT.
Dengan demikian, jika dinisbatkan bahwa wali Allah dan ulama juga manusia, maka manusia yang mempunyai ketaatan dan rasa takut kepada Allah juga termasuk ahli dzikir.
Karena dalam ayat tersebut di atas disebutkan bahwa ahli dzikir adalah orang-orang yang berilmu, maka perlu dipahami bahwa ahli dzikir bukan sekadar orang yang pintar. Itu artinya semua orang pintar bukan berarti ahli dzikir. Ahli dzikir ialah orang yang ‘arif, rijalul ‘arif. Habib Luthfi menyebutkan, kalau orang ‘arif' sudah dipastikan ibadahnya baik. Itu semua disaksikan dan diakui oleh Allah SWT yang menciptakan.
Para wali Allah, ulama, dan orang-orang ‘arif itulah sumber-sumber aqidah, bagaimana umat Islam bisa memahami agama dengan sumber-sumber yang mutawatir, dapat dipertanggungjawabkan, dan tersambung sanadnya hingga kepada Baginda Nabi Muhammad SAW kemudian sampai kepada seluruh umat. Sebab, orang-orang yang disebutkan di atas mendapatkan kesaksian dalam Al-Qur’an yang disaksikan oleh Nabi Muhammad sekaligus diangkat oleh Baginda Nabi.
Menurut Habib Luthfi, kebesaran Al-Qur’an pertama kali disaksikan pertama kali oleh Nabi Muhammad. Kemudian Al-Qur’an menjadi syahadah (saksi) kebesaran Baginda Nabi. Baginda Nabi menjadi saksi bagi kebesaran sahabat yang diangkat oleh Allah.
Karena kebesaran Al-Qur’an pertama kali disaksikan oleh Nabi Muhammad, maka kebesaran ulama yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an tersebut dengan sendirinya disaksikan oleh Baginda Nabi. Dengan demikian, semuanya saling menyaksikan.