Ahlan Wa Sahlan Jenderal Budi Gunawan
Masuknya Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan dalam jajaran Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI) menyedot banyak perhatian. Link beritanya menyebar dengan sangat cepat dan masif di sejumlah platform media pertemanan.
Caption ucapan selamat untuk Budi Gunawan yang disebut terpilih menjadi Ketua Umum DMI menggantikan Jusuf Kalla (JK) juga bertebaran di medsos. Padahal posisinya Wakil Ketua Majelis Pakar DMI, bukan ketua umum.
Mengapa masuknya BG -- begitu biasa dipanggil—menjadi heboh? Padahal sejumlah pejabat termasuk Gubernur DKI Anies R Baswedan, dan kolega BG Wakapolri Komjen Pol Syafruddin juga masuk dalam kepengurusan. Mengapa mereka tidak diributkan?
Pertama, posisi BG sebagai kepala BIN yang selama ini selalu diliputi aura kerahasiaan. Pimpinan sebuah lembaga intelijen biasanya lebih tertutup dan tidak tampil di depan khalayak, apalagi menjadi pengurus sebuah organisasi yang berurusan dengan publik.
Dengan menjadi pengurus di Dewan Masjid, mau tidak mau BG harus sering tampil terbuka, atau setidaknya akan banyak berinteraksi dengan pengurus lainnya. Sebagai anggota pimpinan pusat, BG sesekali pasti juga harus bertemu dengan pengurus organisasi DMI di bawahnya.
Kedua, sebagai sebuah organisasi, DMI berbeda dengan lembaga non pemerintah lainnya. Urusannya dengan masjid, berarti bersentuhan dengan masalah keumatan. Kedekatan BG dengan salah satu partai politik (PDIP) menimbulkan resistensi. Apalagi dalam konstelasi politik saat ini, PDIP dicitrakan sebagai partai yang banyak berseberangan dengan kepentingan umat. Karena itu masuknya BG banyak dipertanyakan.
Soal ini sebenarnya sudah dijawab oleh JK. BG, kata JK, dipilih bukan karena posisinya sebagai kepala BIN. Dia dibutuhkan untuk memberi nasehat agar masjid dapat dijauhkan dari gerakan radikal.
Kepada media BG menyatakan tertarik bergabung dengan DMI karena melihat potensi masjid yang dapat dimanfaatkan untuk mencerdaskan dan meningkatkan ekonomi umat.
Ketiga, saat ini adalah tahun politik, segala sesuatunya pasti dikait-kaitkan dengan kepentingan politik. BG merupakan salah satu figur yang disebut-sebut berpotensi menjadi salah satu kandidat capres/cawapres. Hasil survei dari sejumlah lembaga mengkonfirmasi hal itu.
Dewan Masjid membawahi ratusan ribu masjid di seluruh Indonesia. Jumlahnya lebih kurang sekitar 800.000, tersebar mulai dari tingkat provinsi, sampai kota dan kabupaten. Dikhawatirkan posisinya di DMI akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Potret sebuah pembelahan
Reaksi yang muncul atas bergabungnya BG di DMI, lagi-lagi menjadi sebuah konfirmasi adanya pembelahan di masyarakat dan public distrust terhadap lembaga negara. Selain kedekatan BG dengan PDIP, latar belakangnya sebagai perwira tinggi polisi nampaknya berpengaruh besar terhadap cara pandang umat Islam terhadap BG. Dalam berbagai Aksi Bela Islam (ABI) polisi dinilai menjadi alat kekuasaan menghadapi gerakan umat.
Situasi semacam ini dalam jangka panjang tidak bisa dibiarkan, karena sangat mengganggu kohesi bangsa. Pernyataan BG bahwa masjid bisa menjadi potensi untuk mencerdaskan dan membangun ekonomi umat, hendaknya bisa dipandang sebagai niatan baik. Ada sebuah paradigma yang berubah. Pemerintah/pejabat negara tidak lagi melihat umat Islam sebagai sebuah ancaman, tapi sebuah potensi.
BG dengan tepat menyebutkan dua kata kunci. Kecerdasan dan meningkatkan ekonomi umat. Dengan cerdas seseorang menjadi punya cara pandang yang lebih terbuka, tidak radikal. Dengan ekonomi yang meningkat, lebih sejahtera, maka akar persoalan terbesar, yakni kesenjangan ekonomi bisa diatasi.
Hiruk pikuk yang terjadi di Pilkada DKI 2017 faktor pencetus utamanya adalah kesenjangan ekonomi, dan ketidak adilan. Pemerintah dinilai lebih berpihak kepada kepentingan para pemodal. Sebagai mayoritas, umat Islam merasa diperlakukan tidak adil. Umat Islam khawatir akan semakin terpinggirkan bila pemimpin yang terpilih tidak berpihak kepada mereka.
Kesenjangan ekonomi yang semakin lebar, penguasaan aset dan kekayaan hanya pada segelintir minoritas menjadi penyebab semua itu. Bila yang terpilih juga berasal dari kalangan para pemilik modal dan penguasa ekonomi, makin lengkaplah penderitaan umat.
Alih-alih dirangkul, dipahami, dan dicarikan jalan keluarnya, umat malah dimusuhi. Diberi label radikal, anti NKRI, dan berbagai label lain yang tidak menyenangkan. Gerakan tersebut terlihat sangat sistematis, melibatkan aparatur negara, bahkan presiden.
Munculnya kampanye “Saya Pancasila, Saya Indonesia,” dipandang sebagi upaya terencana dan sistematis menyudutkan umat sebagai kelompok yang anti Pancasila.
Pendekatan semacam itu harus diubah. PDIP lepas dari apapun agenda politiknya, tampaknya juga menyadari ada persoalan besar tersebut. Dalam pilkada serentak kali ini, pilihan kandidat PDIP menunjukkan ada upaya mereka untuk mendekat dengan kekuatan umat Islam.
PDIP bersedia mengusung figur-figur dari kalangan Islam, atau mendukung figur yang sebelumnya sudah diusung oleh partai Islam. Hanya saja langkah PDIP tersebut sejauh ini mendapat penolakan, mengundang suara minor, dan dipandang dengan curiga.
Berbagai kebijakan politik pemerintahan Jokowi -- nota bene adalah representasi pemerintahan PDIP—pernyataan dan sikap para tokohnya, termasuk berbagai statemen dari Ketua Umum PDIP Megawati, menunjukkan bahwa partai tersebut mengambil posisi berseberangan, bahkan bisa disebut memusuhi umat Islam.
Bila sekarang mereka berniat berubah, tidak bisa mendadak. Ketika BG atau PDIP tiba-tiba “mendadak santri,” tentu sangat wajar bila dicurigai. Apalagi bersamaan dengan kontestasi pilkada serentak dan jelang Pilpres 2019. Perlu proses, perlu pembuktian, aksi nyata bahwa langkah tersebut bukan hanya semata murni kalkulasi politis, tapi sebuah proses kesadaran atas pentingnya semua kekuatan anak bangsa untuk bersatu. Rumah besar bernama Indonesia ini adalah milik bersama.
Umat Islam bagaimanapun juga secara demografis merupakan jumlah terbanyak. Mereka tidak mungkin dimusuhi, apalagi disingkirkan. Ketertinggalan, kebodohan umat, akan menjadi cermin ketertinggalan, dan kebodohan bangsa. Keterpurukan ekonomi umat, juga implikasinya pada keterpurukan ekonomi bangsa. Mereka harus dirangkul, diajak bicara, diadvokasi, dan diberdayakan.
Masa depan politik BG
Lepas dari pergulatan memperebutkan suara umat Islam, seorang kepala lembaga intelijen kemudian terjun ke dunia politik dan menjadi presiden di sebuah negara demokrasi, sebenarnya sah-sah saja. Malah sudah ada contohnya. Tidak perlu diributkan selama sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku.
George W Bush Presiden Amerika Serikat (1989-1993) pernah menjadi Direktur CIA (lembaga intelijen pusat). Sebelumnya dia pernah menjadi anggota Senat dan kongres, menjadi duta besar AS di Cina, dan kemudian terpilih menjadi wakil presiden mendampingi Ronald Reagan (1981-1985, 1985-1989).
Kebetulan saat terpilih menjadi wapres, Bush berusia 57 tahun, atau hanya setahun lebih muda dari usia BG (58). Track seperti Bush bisa dipilih BG dengan menjadi pendamping Jokowi misalnya. Toh Jokowi juga sudah memasuki periode kedua. Dengan begitu pada Pilpres 2024 BG bisa bertarung untuk memperebutkan posisi presiden. Sebagai wapres incumbent, tentu akan lebih memudahkan baginya untuk meraih posisi tersebut.
Pilihan lain bagi BG berkompetisi langsung dengan Jokowi yang naga-naganya bakal membelot dari PDIP. Langkah BG dan PDIP mendekat dan merangkul kalangan umat Islam, bisa menjadi nilai lebih ketika berhadapan dengan Jokowi. Saat ini Jokowi tampaknya sedikit kesulitan merangkul kalangan Islam perkotaan.
Silakan berlomba, berebut simpati umat Islam. Silakan berlomba mencerdaskan dan meningkatkan ekonomi umat, asal dengan niat yang tulus dan bukan kalkulasi politik jangka pendek.
Sebagai pengurus dewan masjid BG pasti sangat paham “ Berlomba-lomba dalam kebaikan. Saling nasehat-menasehati dalam kebaikan, dan kesabaran,” adalah salah satu inti ajaran Islam.
Ahlan wa sahlan Jenderal Budi Gunawan. End
Advertisement