Agnostik: Bertuhan Tanpa Agama?
Globalisasi membawa banyak kemaslahatan, tetapi membawa pula kemadlaratan. Salah satunya adalah kampanye para pengikut apa yang disebut dengan Agnostisisme atau Agnostik yaitu suatu faham yang mempercayai adanya Tuhan, tetapi tidak meyakini suatu agama.
Agnotisisme menggelinding dari Eropa terbawa serta dalam proses globalisasi dan masuk ke Indonesia memanfaatkan iklim kebebasan paska reformasi. Jiwa dari pasal 28 UUD (2002) yang antara lain berisi hak kebebasan beragama memang memberi peluang hal tersebut. Meskipun pasal 28 J memuat klausul bahwa negara berhak membatasi ham jika melanggar ham orang lain.
Agnostisme berbeda dengan Atheisme yang menganggap Tuhan dan Agama tidak diperlukan yang dianggap oleh Lenin sebagai “candu bagi masyarakat". Agnotisisme juga bukan sejenis dengan “Aliran Kepercayaan” yang mempercayai adanya Tuhan tetapi peribadatan dilakukan berdasarkan tradisi budaya yang diturunkan secara turun temurun.
Lahir dari Era Globalisasi
Agnostik lahir di Eropa pada era globalisasi sebagai bentuk dari ekspresi kebebasan sesuai dengan prinsip Neo-Liberalisme. Faktor yang turut mempengaruhi kelahirannya antara lain menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja sejumlah gereja yang didera sejumlah skandal. Hal itu pula yang menjadi sebab meningkatnya jumlah pemeluk Islam di Eropa dan secara politik Islam mulai diterima misalnya di Inggris-Jerman sehingga, sejumlah politisi muslim mendapat kepercayaan menduduki kabinet, walikota dan pimpinan partai.
Kehidupan agama di Indonesia tidaklah sama dengan Eropa. Di Indonesia, agama mempunyai posisi dan peranan penting di masyarakat sejak era penjajahan terutama dibidang pendidikan dan perjuangan. Oleh karena itulah sila pertama dasar negara Pancasila adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa". Suatu kesalahan besar menyamakan kebebasan di negara yang masyarakatnya berbudaya relijius dengan yang berbudaya sekularistik.
Dalam sejarahnya, di Eropa pernah terjadi perang agama sesama pemeluk Nasrani berlangsung selama 30 tahun dari 1618 sampai 1648. Perang itu pula yang mengawali lahirnya
ideologi dan sistem politik baru serta faham faham sekuler.
Jadi jangan samakan sejarah agama-agama di Indonesia yang dalam sejarahnya tidak pernah mengalami konflik atau perang agama yang besar seperti terjadi di Eropa.
Para pembawa Agnosistisme sebaiknya mempertimbangkan nilai nilai dan kondisi Indonesia dalam menyebarkan faham barunya. Apalagi saya baca salah satu tulisan di suatu akun menggunakan tagar “Islam Liberal" (mengkaitkan Islam dengan Liberalisme) dan substansinya bernada menggugat peraturan pemerintah yang terkait dengan kebebasan beragama.
Menjelang berakhirnya pandemi saat ini yang diperlukan adalah kerukunan bangsa khususnya kerukunan hidup umat beragama.
Dalam situasi kerawanan sosial sebagai dampak pandemi yang belum pulih benar, promosi nilai nilai baru perlu kehati hatian. Jangan sampai promosi faham baru tersebut dilakukan secara berlebihan sehingga memancing reaksi yang berlebihan juga dari masyarakat.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, Mustasyar PBNU, tinggal di Jakarta.