Tali Agel Dipilin Manual, Pakai Paha, Kadang Sampai Kulit Mengelupas dan Berdarah
Jepang, lalu China, adalah wisataman mancanegara yang begitu kerasan datang ke Bali. Selain wisatawan Australia tentunya. Ketiga negara ini begitu mendominasi panorama Pulau Dewata itu. Sementara, Tali Agel Bangkalan nyeberang juga ke Bali. Dibeli mereka untuk dibawa pulang ke negaranya buat buah tangan. Jadilah craft dari tali agel itu menyebar dan dibicarakan dunia.
______________
Soal para janda, soal para pengungsi Madura, akibat konflik horizontal etnis Madura dan Dayak yang begitu menghentak dunia itu, begini kisah Faiqatul Himmah: di tahun 2004, terdapat sejumlah relawan Philipina, Amerika, dan Kanada datang ke Pulau Madura. Kedatangan para relawan dari berbagai negara itu tujuannya hanya satu, yaitu membantu 350 KK warga Madura yang mengungsi akibat kerusuhan massal di Sambas Kalimantan Barat. Kebijakan negara saat itu adalah etnis Madura diungsikan pulang ke Pulau Madura.
Bantuan-bantauan yang dihimpun dan diberikan oleh para relawan itu bertajuk “Sumbangsih Nuansa Madura.” Rewalan bahu-membahu membantu korban kerusuhan ini agar bisa hidup mandiri paska jadi pengungsi. Pemerintah, saat itu, memang memberi rumah untuk para pengungsi, namun tidak dengan penghasilan yang diperlukan sehari-hari.
“Supaya mereka memiliki penghasilan tetap untuk hidup, kami berpikir untuk membuat kerajinan yang bahan bakunya sudah ada di sekitar lokasi pengungsian. Atau, minimal, tidak mendatangkan dari wilayah lain yang justru akan menjadi penghambat pemberdayaan. Akhirnya kita memilih daun agel. Relawan kemudian mendatangkan pelatih dari Surabaya untuk membuat kerajinan rajut dan anyaman dari daun agel itu. Kita latih 10 orang ibu-ibu di kecamatan Sepulu Bangkalan. Sepuluh orang itu yang kita jadikan sebagai ketua kelompok sekaligus koordinatornya. Formatnya satu orang ibu membawahi 10-15 orang,” kisah Faiq.
Di Jepang kerajinan tali agel ini ada di Ginza Plaza, di pusat Tokyo. Orang Jepang sukanya tas handmade bertali pendek, karena bisa ditenteng. Orang Amerika beda lagi, mereka suka tas yang bertali panjang. Jadi selera pasar memang berbeda-beda.
Pohon Agel, kalau orang Madura menyebutnya sebagai Pohon Pocok. Daunnya serupa benar dengan daun palem. Daun dari pohon ini ternyata mempunyai kualitas tersendiri, yaitu bisa dipilin dan dibuat tali sesuai selera.
Sudah sejak lama tali dari daun agel ini dikenal memiliki kekuatan dan tekstur yang bagus. Hanya karena kurang dikenalkan secara luas saja tali agel menjadi barang kelas dua. Prosesnya membuat tali agel, kata Faiq, daun diambil bagian yang muda kemudian dipisahkan dari lidinya. Daun yang sudah tidak berlidi lalu direbus. Setelah dikeringkan baru dipilin hingga membentuk sebuah tali.
Memilin daun agel harus dilakukan secara manual. Dipelintir dengan tangan dan beralaskan paha si pemilin. Tidak ada cara lain selain yang manual begini. Setelah jadi pilinan, tali-temali inilah yang akhirnya dirajut untuk dibentuk menjadi aneka bentuk seperti tas, topi, dompet, taplak meja, tempat tisu, tatakan gelas, piring, tempat pensil, korden dan masih banyak lagi yang lainnya.
”Para pengungsi ini tadinya sama sekali tidak punya ketrampilan blas. Tidak juga punya dasar kemauann merajut. Karena itu kita ajari dari awal. Dari nol. Sulit, dan tingkat kesulitannya sungguh tak terbayangkan. Maka setelah berproses, hasilnya ada yang bagus dan ada juga yang jelek. Semua hasil jelek bagus kita beli. Pokoknya bagaimana mereka bisa berpenghasilan untuk kebutuhan berbelanja. Untuk mempermudah keadaan mereka kita modali. Mereka tinggal merajut saja. Sementara tukang jahit untuk membuat kain lapisan dalam tas, kami yang menyiapkan,” kata Faiq.
Pokoknya, hasil jelek maupun bagus tetap dibeli para relawan. Untuk menentukan harga jual barang mereka bersepakat semuanya ditimbang terlebih dahulu. Harga jual ditentukan berdasarkan berapa banyak tali yang dipakai.
Harga tali agel per kilogramnya saat itu 18.000 rupiah. Setelah jadi produk tas, topi, taplak dan lain sebagainya ditimbang dulu untuk mengetahui berapa beratnya, setelah itu baru ditentukan berapa harga jual produk tersebut.
”Para relawan bersepakat, harga paling murah itu adalah 3 ribu rupiah. Itu bentuknya dompet kecil. Yang mahal 45-50ribu rupiah untuk produk taplak bundar. Untuk taplak yang panjangnya 2 meter harganya 100 ribu rupiah. Semua juga tergantung tingkat kesulitannya. Itu sudah menjadi kesepakatan bersama. Sementara dana untuk membeli barang-barang itu berasal sumbangan teman-teman. Pokoknya dananya mandiri yang kami kelola sedemikian rupa,” jelasnya lagi.
Barang-barang hasil kerajinan dadakan yang sudah terbeli itu semula hanya ditumpuk di gudang. Lama kelamaan tumpukkannya menggunung luarbiasa. Karena dana juga terbatas akhirnya gunungan hasil olah kerajinan dadakan itu dijual.
Semua relawan bergerak. Ada yang dijual hingga pasar pagi atau pasar tumpah di Tugu Pahlawan Surabaya. Termasuk juga relawan bule ikut jualan di Tugu Pahlawan. Uang dari penjualan kemudian dipakai lagi untuk modal membeli hasil ketrampilan para pengungsi itu.
Faiq pun lantas berpikir, andai barang-barang kerajinan itu dibikin secara profesional apa yang terjadi? ”Tahu-tahu saya dapat buyer dari Amerika, namanya Karen. Ia datang langsung melihat proses pembuatannya. Ternyata cocok, hanya kualitasnya yang perlu segera diperbaiki. Karen lantas memesan dalam jumlah cukup besar. Itulah awalnya. Dari Amerika, entah tahu darimana, lantas datang pembeli dari Jepang dalam jumlah besar.
Untuk di Jepang, mereka suka bahan agel yang natural. Nggak mau ada flek-fleknya, nggak mau ada pemutihnya. Memang agak rumit yang di Jepang ini, tapi asyik sebab bekas-bekas pengungsi itu selain makin panjang daftar ordernya juga makin tahu bahwa selera dan kualitas itu sangat penting.
“Di Jepang kerajinan agel ini ada di Ginza plaza, di pusat Tokyo. Kalau untuk pasar domestik, kita sesuaikan, pasar dalam negeri suka warna terang, modelnya tidak suka yang sederhana, mereka sukanya yang ada pernak-perniknya. Kalau orang Amerika suka tas yang bertali panjang, kalau orang Jepang sukanya bertali pendek karena suka yang bisa ditenteng. Jadi selera pasar memang berbeda-beda,” kata Faiq yang kemudian ketika relawan bubar dia meneruskan sendiri jejak kerja besar itu. Faiq yang jebolan Universitas 17 Agustus Surabaya, kental dengan aktivitas LSM, pernah bekerja di Yayasan Phalapa Tahun 2006 itu pun akhirnya menjadi pengusala dengan brand Daun Agel.
Setelah Amerika, Jepang, pasar makin merambah jauh. Swiss, China, Ukraina, Thailand, dan Turki. Bahkan di Swiss tali agel menjadi begitu primadona. Saat dipamerkan di ajang Muster Messe Basel (MUBA) di Kota Basel. Produk dari Bangkalan ini diserbu pengunjung dan pembeli. Alhasil, sebelum pameran bubar Faiq sudah kehabisan stok.
Namun pengunjung masih terus mengalir, sebagai ganti kecewanya, Faiq terus-menerus melakukan demo dan mengajarkan membuat produk dari agel tersebut. “Ayo ke Indonesia saja, nanti bisa memilih sesuai selera lho, oke, please, seklangkong ya,” rayu Faiq dengan logat Madura. (idi/habis)