Afghanistan Dikuasai Taliban, Ini Upaya Keselamatan WNI di Kabul
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI memastikan kondisi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berdomisili di Afghanistan dalam kondisi aman. Hal itu menyusul pergerakan Taliban yang semakin brutal dalam merebut wilayah di negara itu.
Kekacauan di Afghanistan terjadi sejak diumumkannya penarikan penuh pasukan militer oleh Amerika Serikat pada Mei lalu. Di sinilah, kelompok militan Taliban semakin gencar menguasai sebagian besar wilayah di negeri yang dilanda konflik berkepanjangan itu.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI Judha Nugraha menyatakan, saat ini terdapat enam WNI yang berada di Afghanistan.
“KBRI Kabul terus menjalin komunikasi dengan enam WNI yang berada di Afghanistan. Kondisi mereka saat ini sehat dan aman,” ujar Judha dalam pesan singkat kepada media, dikutip Sabtu 14 Agustus 2021.
Kondisi politik dalam negeri Afghanistan yang memburuk, Judha memastikan KBRI Kabul memonitor kondisi keamanan terkini di sana.
“KBRI (Kabul) terus memonitor kondisi keamanan terakhir,” tambahnya.
Kekuatan Taliban Kuasai Wilayah
Taliban mengklaim sukses merebut sembilan provinsi dalam seminggu terakhir, diantaranya Shiberghan, Sar-E-Pul, Farah, Zaranj, Kunduz, Faizabad, Taloqan, Aybak, dan Pul-E-Khmri.
Banyak pihak memprediksikan Taliban berpeluang merebut Ibu Kota Negara Kabul tidak kurang dalam 30 hari kedepan, jika militer tidak menghentikan pergerakan Taliban yang semakin agresif.
Sejak Rabu 11 Agustus 2021 ratusan warga tiba di Ibu Kota Kabul, dengan kondisi yang memprihatinkan tanpa harta benda dan sangat kelaparan.
Gerilyawan Taliban Rebut Kota-kota
Gerilyawan Taliban telah merebut kota-kota terbesar kedua dan ketiga di Afghanistan, menurut para pejabat setempat pada hari Jumat 13 Agustus 2021, saat perlawanan dari pasukan pemerintah melemah dan tumbuh kekhawatiran bahwa serangan terhadap ibu kota Kabul mungkin tinggal beberapa hari lagi.
Seorang pejabat pemerintah mengonfirmasi bahwa Kandahar, pusat ekonomi di selatan, berada di bawah kendali Taliban ketika pasukan internasional pimpinan AS menyelesaikan penarikan setelah perang 20 tahun.
Herat di barat juga jatuh ke kelompok Islam garis keras. "Kota ini tampak seperti garis depan, kota hantu," kata anggota dewan Provinsi Ghulam Habib Hashimi melalui telepon dari kota berpenduduk sekitar 600.000 orang di dekat perbatasan dengan Iran, seperti dikutip dari Reuters, Sabtu 14 Agustus 2021.
Warga Jadi Pengungsi di Kabul
"Keluarga-keluarga telah pergi atau bersembunyi di rumah mereka."
Seorang pejabat pertahanan AS mengatakan ada kekhawatiran bahwa Taliban - yang digulingkan dari kekuasaan pada 2001 setelah serangan 11 September di Amerika Serikat - dapat bergerak ke Kabul dalam beberapa hari.
Pemerintahan Presiden Joe Biden pada hari Kamis mengumumkan rencana mengirim 3.000 tentara tambahan untuk membantu mengevakuasi staf kedutaan AS, dan Pentagon mengatakan sebagian besar akan berada di Kabul pada akhir akhir pekan. Inggris juga mengonfirmasi dimulainya operasi militer untuk mendukung evakuasi warga negaranya.
"Kabul saat ini tidak berada dalam lingkungan ancaman yang akan segera terjadi, tetapi jelas ... jika Anda melihat apa yang dilakukan Taliban, Anda dapat melihat bahwa mereka mencoba mengisolasi Kabul," kata juru bicara Pentagon John Kirby, Jumat.
Gedung Putih mengatakan Biden menerima pengarahan rutin dari tim keamanan nasionalnya tentang upaya untuk memindahkan warga sipil AS.
Kekhawatiran PBB
PBB mengatakan tidak akan mengevakuasi personelnya dari Afghanistan tetapi memindahkan beberapa ke Kabul dari bagian lain negara itu. Banyak kedutaan besar dan kelompok bantuan Barat lainnya mengatakan mereka membawa pulang beberapa staf.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa "Afghanistan bergerak di luar kendali" dan mendesak semua pihak untuk berbuat lebih banyak untuk melindungi warga sipil.
"Ini adalah saat untuk menghentikan serangan. Ini adalah saat untuk memulai negosiasi serius. Ini adalah momen untuk menghindari perang saudara yang berkepanjangan, atau isolasi Afghanistan," kata Guterres kepada wartawan di New York.