Adu Kuat dan Tarik Ulur Para Petinggi Poros Oposisi
Pertemuan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Prabowo Subianto yang berlangsung Selasa (24/7) malam memastikan persaingan pada Pilpres 2019 mengerucut pada dua poros saja. Demokrat memutuskan membuka peluang berkoalisi dengan Gerindra, dan menutup pintu bagi Jokowi.
Apabila kesepakatan tercapai, maka poros oposisi akan terdiri dari Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS. Poros Jokowi diusung oleh enam partai. PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, dan Hanura.
Kemungkinan munculnya poros ketiga tetap ada, menyusul gugatan judicial review (JR) atas UU Pemilu oleh Perindo dan Jusuf Kalla (JK). Kita masih harus menunggu bagaimana keputusan MK. Bila dikabulkan, dipastikan JK akan meramaikan bursa cawapres Jokowi dan bisa memicu perpecahan poros partai pendukung pemerintah.
Sebelum SBY memutuskan bergabung, PAN lebih dulu memastikan menutup pintu kerjasama dengan Jokowi. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan Selasa (24/7) pagi bertemu Jokowi dan “berpamitan” secara baik-baik. Bagaimanapun PAN saat ini berada dalam pemerintahan Jokowi dan diharapkan tetap bergabung.
Rabu malam (25/7) giliran Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang bertemu SBY. Belum ada deal tentang koalisi. Namun ada kesepakatan Demokrat dan PAN akan terus berkomunikasi sampai waktu pendaftaran capres/cawapres 4-10 Agustus.
Bila akhirnya Demokrat bergabung dengan Gerindra, PAN, dan PKS, peta pertarungan internal di poros oposisi dipastikan akan berlangsung seru. Peta berubah total. Hadirnya Demokrat bisa mengancam peluang PAN, dan terutama PKS yang sangat mengincar posisi cawapres. Keduanya tidak lagi punya daya tawar yang kuat seperti sebelumnya. Bagi Prabowo dan Gerindra, masuknya Demokrat merupakan angin segar dan dapat mengurangi tekanan.
Diantara keempat partai tersebut PAN yang tampaknya paling rileks, dan tidak adu kenceng-kencengan. Benar mereka menginginkan Zulkifli Hasan menjadi cawapres sebagaimana amanat Rakernas PAN. Namun hal itu bukan harga mati. Masih bisa baku atur. Yang penting bagaimana mendapat figur yang punya peluang memenangkan pertarungan dan memberi dampak elektabilitas terhadap partai. Tentu figur internal akan lebih baik dan dipastikan berdampak langsung.
Dengan sikap tersebut, PAN sangat terbuka dengan kemungkinan tampilnya figur kandidat dari luar partai. Mereka cukup intens melakukan pembicaraan dengan Gatot Nurmantyo. Zulkifli Hasan juga punya hubungan yang cukup dekat dengan Anies Baswedan. Dua figur ini digadang-gadang menjadi kandidat yang bisa mengalahkan Jokowi, andai saja Prabowo legowo.
Posisi PAN agak berbeda dengan PKS. Sejak awal sekutu Gerindra ini mematok posisi cawapres sebagai harga mati. Para petinggi PKS misalnya sering melontarkan ancaman akan “meninggalkan” Prabowo bila tidak digandeng sebagai cawapres. PKS yang semula mengajukan dua nama, Ahmad Heryawan dan Ketua Majelis Syuro Salim Segaf Al Jufri bahkan sudah mengerucutkan calonnya pada satu figur, yakni Salim Segaf.
Alasan PKS tentu saja berkaitan dengan elektabilitas partai. Selain itu PKS juga merasa kini waktunya PAN untuk mengalah. Pada Pilpres 2014 ketika Prabowo nyapres, dia didampingi Ketua Umum PAN Hatta Radjasa. Jadi wajar jika sekarang giliran mereka. Sementara bagi Salim Segaf pribadi, inilah saat yang paling tepat baginya untuk naik kelas dalam jabatan publik. Dubes sudah, menteri juga sudah. Wajar kalau sekarang dia promosi menjadi wapres.
Bagaimana dengan Demokrat? Tentu tidak ada alasan untuk mengalah. Peluangnya untuk mendapatkan jatah cawapres jauh lebih besar dibandingkan jika bergabung dengan poros pemerintah. Bila hanya mendapat jatah menteri, mereka juga sudah mendapat jaminan akan mendapatkannya di kubu Jokowi. Sebagai pemilik jumlah kursi kedua terbesar setelah Gerindra, Demokrat punya sejumlah kelebihan yang tidak dimiliki partner koalisi lainnya.
SBY pernah menjadi presiden dua kali. Tentu SBY masih punya pengaruh dan pendukung yang besar. SBY juga memiliki jaringan dan akses yang tidak dimiliki oleh PAN, dan PKS. Yang lebih penting lagi, Demokrat bisa menjawab persoalan logistik yang selama ini dikeluhkan dan menjadi problem besar Prabowo.
Kelebihan lain dari Demokrat, mereka punya jagoan muda Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dalam berbagai survei putra mahkota SBY ini memiliki elektabilitas yang tinggi. Prabowo bahkan sudah menyatakan, figur AHY bisa menjadi jembatan baginya untuk meraih dukungan dari kalangan generasi milineal.
Dengan berbagai kelebihan tersebut, Kendal sebagai pendatang baru sangat mungkin SBY memainkan peran sebagai “kepala suku.” Posisinya berada diatas angin.
Secara bercanda elit Demokrat menggoda Gerindra dengan sebuah metafora “Garuda hanya akan bisa terbang tinggi di langit yang biru.” Garuda adalah logo Gerindra, dan langit biru adalah corporate colour identityDemokrat.
Harus ada kesediaan saling mengalah
Bagaimana nasib koalisi ini? Secara hitung-hitungan jumlah kursi mereka sudah tidak mungkin membentuk dua poros. Pilihannya hanya meneruskan koalisi, atau menyeberang ke kubu Jokowi.
Gerindra yang memiliki 71 kursi menjadi semacam kartu Joker. Dipasangkan dengan siapapun, mereka bisa mengusung kandidat dan memenuhi syarat presidential threshold(112 kursi). Jadi bisa menjadi penentu yang membuat Gerindra mematok harga mati sebagai capres. Sementara Demokrat (61 kursi), PAN (49 kursi) dan PKS (40 kursi), tak punya banyak pilihan. Mereka hanya bisa mengusung kandidat, bila ketiganya bersatu.
Hambatan utama yang menghadang di depan mata adalah ego partai, dan ego para ketua umum/ketua majelis syuro, yang punya kepentingan dan agenda politik masing-masing. Bila masing-masing tak bersedia mengalah, maka kemungkinan besar akan ada yang terlempar keluar.
Apakah Gerindra bersedia membicarakan kembali posisi Prabowo sebagai capres? Apakah PKS bersedia mengalah tidak mengajukan cawapres dengan kompensasi sejumlah portofolio menteri? Atau kalau tetap menginginkan posisi cawapres, PKS bersedia mengganti cawapresnya dari Salim Segaf kembali ke opsi utama Ahmad Heryawan? Begitu pula halnya dengan PAN, dan Demokrat.
Semangatnya harus dicari kandidat yang terbaik dan berpotensi mengalahkan Jokowi. Bukan hanya sekedar menjadi kandidat capres atau cawapres untuk mendongkrak elektabilitas partai. Soal kalah atau menang melawan Jokowi tidak penting. Urusannya belakangan.
Lebih parah lagi bila ternyata diam-diam diantara partai oposisi ada yang terkena operasi intelijen, maju untuk kalah. Menjadi semacam calon boneka untuk Jokowi. Toh sudah ada presedennya pada Pilpres 2014. Kubu oposisi (Koalisi Merah Putih) yang mengusung Prabowo-Hatta menyeberang ke kubu pemerintah. Semakin tinggi perolehan kursinya, semakin kuat tawar menawar politiknya dengan pemerintahan baru. Mulai dari jabatan di kabinet, posisi-posisi penting lain di pemerintahan, sampai konsesi bisnis yang menggiurkan.
Sebagai incumbent, Jokowi tentu tidak mudah dikalahkan. Selain elektabilitasnya paling tinggi, dia memiliki semua sumber daya, sumber dana, akses kepada kekuasaan, birokrasi pemerintahan, TNI dan Polri. Semua itu bisa diubah menjadi mesin politik untuk memenangkan pertarungan.
Inilah yang sekarang diamati dengan harap-harap cemas oleh kelompok keumatan dan masyarakat madani (civil society). Mereka khawatir oposisi tak berhasil melakukan konsolidasi. Kalau toh ada kesepakatan, lebih didasarkan kepada kepentingan partai, bukan masalah rakyat dan keumatan. end
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari hersubenoarief.com atas ijin penulis.