Adu Komen di Tragedi Kanjuruhan
Oleh: Djono W. Oesman
Tragedi Kanjuruhan ditetapkan Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM biasa. Bukan berat. Itu ditirukan Menko Polhukam Mahfud MD. Lalu, Mahfud dikritik ramai-ramai. Jadilah, membingungkan publik.
-------------
Kronologi: Sabtu, 1 Oktober 2022 malam ada laga bola Arema versus Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang. Terjadi tragedi, 135 orang penonton tewas. Lalu diselidiki.
Penyebab utama tragedi, penembakan gas air mata oleh polisi ke penonton. Diungkapkan, dalam 9 detik ada 11 tembakan. Sebanyak 45 tembakan. Dikalkulasi, sekali tembakan 3 peluru. Maka total 135 tembakan.
Menghasilkan enam tersangka. Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panpel Arema FC AH, Security Officer SS, Kabag Operasi Polres Malang WSS, Danki III Brimob Polda Jatim H, dan Kasat Samapta Polres Malang BSA.
Rabu, 2 November 2022, Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam menggelar konferensi pers, mengumumkan keputusan:
"Tragedi Kanjuruhan merupakan peristiwa pelanggaran HAM (tidak pakai berat), akibat tata kelola yang diselenggarakan dengan cara tidak menjalankan, menghormati, dan memastikan prinsip dan keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan sepak bola."
Itu hasil penyelidikan Komnas HAM dengan meminta keterangan pihak terkait, membandingkan dokumen, serta memeriksa 233 video.
"Harusnya situasi terkendali. Tragedi tidak perlu terjadi, jika polisi tidak menembak gas air mata. Itu excessive use of force. Dan tindakan ini tidak hanya dipahami sebagai melanggar SOP, sehingga tidak cukup dengan kode etik tapi juga merupakan tindak pidana."
Alhasil, Komnas HAM memutuskan, itu pelanggaran HAM (tidak pakai berat).
Selasa, 27 Desember 2022 Mahfud melalui akun Teitter @mohmahfudmd mengungah: Tragedi Kanjuruhan tidak melanggar HAM berat. Atau sama persis dengan pernyataan di konferensi pers Komnas HAM, Rabu, 2 November 2022.
Pernyataan Mahfud itu juga dikatakan di forum PBNU di Surabaya. Perkataan yang sama.
Selasa, 27 Desember 2022, Sekjen Federasi KontraS, Andy Irfan kepada pers mengatakan:
"Mahfud Md offside. Bukan kewenangan dia tiba-tiba menyebut Tragedi Kanjuruhan bukan pelanggaran ham berat. Karena, posisi dia adalah Menko Polhukam. Dia tidak punya kewenangan bicara hal itu. Mestinya Komnas HAM."
Dilanjut: "Kalau laporan Komnas HAM kemarin, baru penyelidikan awal. KontraS kan juga baru bertemu dengan Komnas HAM, dan sedang dalam proses penyelidikan lebih lanjut."
Ditutup: "Kalau Mahfud Md copy paste dari hasil tim Choirul Anam (Komisioner Komnas HAM), kalau hanya begitu, sah-sah saja karena itu copy paste saja. Kalau kemudian Mahfud Md menegaskan itu, ya itu tidak pada tempatnya."
Sampai di sini membuat kepala masyarakat puyeng. Bingung membedakan kata 'copy paste' dengan kata 'menegaskan'. Apa bedanya?
Bisa ditafsirkan, menegaskan berdasarkan copy paste. Atau sebaliknya. Lalu, apakah menegaskan merupakan suatu keputusan negara yang mengikat? Malah lebih membingungkan.
Rabu, 28 Desember 2022, Mahfud, lagi, melalui Twitter @mohmahfudmd menyatakan:
"Betulkah sy bilang kasus Tragedi Kanjuruhan bkn pelanggaran HAM Berat? Betul, sy katakan itu Selasa kemarin di depan PBNU dan para ulama di Surabaya. Itu adl hasil penyelidikan Komnas HAM. Mnrt hukum yg bs menetapkan adanya pelanggaran HAM Berat atau tidak itu, hanya Komnas HAM."
Dilanjut: "Pembunuhan atas ratusan orang scr sadis oleh penjarah itu bkn pelanggaran HAM Berat. tp kejahatan berat. Tp satu tindak pidana yg hny menewaskan beberapa orng, bs menjadi pelanggaran HAM Berat."
Stop sampai di sini. Sudah jelas, itu polemik yang sengaja dibikin tidak nyambung. Mahfud memang copy paste hasil penyelidikan Komnas HAM. Dikatakan di forum PBNU. Juga di medsos. Sudah diakui Mahfud sejak awal.
Tapi, seolah-olah dianggap suatu keputusan oleh Kontras. Di situ letak tidak nyambungnya.
Mereka tidak masuk pada substansi persoalan: Apa beda antara 'melanggar HAM' dengan 'melanggar HAM berat'?
Dikutip dari data Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) atau Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, dipaparkan, Universal Declaration of Human Rights (UDHR) didirikan menanggapi kekejaman Perang Dunia II. Termasuk Holocaust, pembantaian jutaan orang Yahudi oleh tentara Nazi pimpinan Adolf Hitler.
Dari situ lahir HAM. Menyatakan, semua orang punya hak bebas dari penyiksaan, bebas berekspresi, dan hak mencari suaka. Pelanggaran HAM jadi tanggung jawab negara, di tempat terjadinya pelanggaran.
Berangkat dari sana, kemudian rincian HAM berkembang sampai ratusan item. Di negara-negara Barat sampai diatur hak asasi orang untuk bekerja. Jadi, kalau ada penganggur, itu tanggung jawab negara.
Kemudian berkembang lagi jadi pelanggaran HAM biasa, ada juga pelanggaran HAM berat. Dirinci oleh OHCHR. Indonesia sudah meratifikasi, atau ikut. Beda antara biasa dengan berat, begini:
Pelanggaran HAM biasa adalah pelanggaran yang tidak terlalu serius terhadap hak-hak yang diakui oleh hukum internasional atau oleh hukum suatu negara.
Meliputi hak bebas dari diskriminasi, hak bebas dari kekerasan fisik, hak bebas dari penyiksaan, bebas berpendapat.
Pelanggaran HAM berat, adalah pelanggaran sangat serius terhadap hak-hak yang diakui hukum internasional atau oleh hukum nasional suatu negara.
Meliputi tindakan sangat kejam atau keji, kekerasan massal, genosida, atau tindakan-tindakan yang menyebabkan kematian atau luka-luka yang sangat parah pada orang-orang yang tidak bersalah.
Sampai di situ, tampak bahwa perbedaannya tipis. Tidak dirinci secara deskriptif. Misal, tindakan sangat kejam itu deskripsinya bagaimana? Apakah polisi menembak penonton bola yang cenderung rusuh, termasuk kejam biasa, atau sangat kejam? Atau sedang-sedang saja?
Indonesia menerapkan HAM mengadopsi aturan badan PBB, OHCHR. KUHP saja peninggalan Belanda yang diterapkan di Belanda 1915 disebut Wetboek van Strafrecht. Baru saja direvisi DPR RI, kemarin. Apalagi, aturan tentang HAM yang lahir di Perang Dunia kedua (1943).
Beda tipis HAM biasa dengan HAM berat, di Indonesia ditentukan Komnas HAM. Rakyat harus percaya. Meskipun penentuannya bersifat subyektif. Sebab, kalau keputusan Komnas HAM ditentang lalu Komnas HAM mengalah kepada si penentang, maka ambyar kredibilitas negara.
Kondisi beda tipis itu bakal jadi 'panas' jika dikompori aneka pendapat. Sementara, pihak yang mengompori pastinya punya agenda sendiri yang tak mungkin terungkap.
Korbannya adalah keluarga korban Tragedi Kanjuruhan. Baik korban tewas atau korban cacat fisik-mental. Mereka sudah jadi korban, lalu jadi korban lagi oleh aneka pendapat.
Semoga keluarga korban Kanjuruhan dilimpahi barokah. (*)