Adopsi Tak Sesuai Prosedur Bisa Dicap Trafficking
Siapa yang tak gemas melihat mungilnya bayi baru lahir? Tak jarang, kehadiran jabang bayi adalah yang paling dinantikan oleh pasangan suami istri.
Namun ada juga pasangan yang justru tak menginginkan kelahiran si jabang bayi. Alasannya, himpitan ekonomi atau bayi yang dilahirkan dari hasil hubungan haram pasangan.
Jika sudah terjepit seperti ini, maka yang biasa dilakukan adalah menitipkan ke panti asuhan atau kepada pasangan lain yang menginginkan anak. Namun proses pengalihan asuh anak tak semudah membalikkan tangan. Ada proses hukum yang harus dilalui.
Kasus Ica, dapat menjadi gambaran nyata seorang ibu yang tega menjual buah hatinya. Ica (22), perempuan asal Surabaya itu menjual anak ketiganya pada Alton Phinandita (29). Ica menjual bayinya yang baru berumur 11 bulan, lantaran terbelit hutang dan tagihan arisan online.
Pembelinya adalah perempuan asal Bali. Namanya Ni Nyoman Sirait (36). Cara ini sengaja ia tempuh, semata karena ingin memiliki anak laki-laki. Diakuinya, selama tujuh tahun menikah, ia belum juga dikaruniai buah hati. Selain itu, transaksi beli bayi melalui Instagram, juga diniatkannya untuk membantu ibunda sang bayi, Ica.
Menurut Priyono Adi Nugroho, dari Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur secara hukum, orang tua diperbolehkan untuk mengadopsi atau merelakan anaknya diadopsi oleh orang lain. Masalah ekonomi dan psikologis orang tua adalah yang menjadi pertimbangan kuat atas berlangsungnya proses adopsi.
Misalnya orang tuanya adalah seorang fakir. Atau orang tuanya adalah penderita cacat mental. Supaya sang anak dapat tumbuh dengan baik, maka mengadopsikannya kepada orang lain adalah jalan terbaik.
Kata dia, filosofinya pengangkatan anak itu, karena anak yang butuh keluarga. Bukan keluarga yang mencari anak untuk kesenangan atau lucu-lucuan. Anak itu butuh hidup di tengah keluarga. Tidak boleh seorang anak itu tanpa keluarga. Bayi-bayi itu boleh hidup sendiri. Keluarga itu tentu yang terutama ayah dan ibu kandung.
Kalau tidak memungkinkan, karena tidak menikah, tidak mampu secara ekonomi atau fisik, secara lainnya. Maka keluarga pengganti. Pengganti itu bisa asuhan sementara atau adopsi. Itu lebih baik dari panti asuhan.
"Panti asuhan adalah pilihan terakhir,” tutur Drs. Priyono yang juga anggota Permohonan Izin Pengangkatan Anak (PIPA).
Mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua kandung atau wali yang sah kepada orang lain yang selanjutnya bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak bukanlah perihal biasa. Adopsi merupakan suatu peristiwa hukum. Definisinya dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “UU Perlindungan Anak”. Bunyinya:
“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.”
Sehingga, ketika adopsi anak tidak dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan yang telah ditetapkan. Apapun alasan pelaksaannya, baik penjual, perantara, dan pengadopsinya dapat dijerat tindak pidana. Apalagi jika proses adopsi dilakukan dengan adanya transaksi sejumlah uang. Bukanya adopsi, proses ini malah dikategorikan sebagai trafficking.
Itulah kenapa, dalam kasus Ica, ia yang merupakan ibu kandung juga dijebloskan ke dalam penjara. Tak ketinggalan, sebagai Ni Nyoman Sirait pun turut dibui. Padahal tak ada niat buruk saat ia bertransaksi. Kesalahan prosedur yang dilakukannya, membuat keinginanya memiliki anak laki-laki malah berbuah mendekam di jeruji besi.
Advertisement