Adakah Dusta di Atara Dukungan ke Jokowi?
SEJARAH berulang kembali. Dukung mendukung yang pernah menjadi modus di era Orde Baru, kembali berulang atau diulang di era reformasi.
Modus yang dimaksud, dukungan partai-partai politik kepada Joko Widodo sebagai Presiden RI, untuk maju kembali dalam Pipres 2019.
Setidaknya sudah ada 5 dari 10 partai yang punya perwakilan (fraksi) di DPR-RI yang secara eksplisit menyatakan dukungan kepada Joko Widodo. Kelima partai tersebut : Golkar, Hanura, PPP, Nasdem dan PDIP.
Yang jadi pertanyaan, efektif serta terjaminkah dukungan tersebut ? Dalam arti apakah otomatis Joko Widodo akan terpilih kembali dalam Pilpres 2019 ?
Jawabannya tidak !
Dukungan itu hanya akan efektif, bila sistem pemilihan presiden masih seperti di era Orde Baru. Dimana pemilihan dilakukan di dan oleh MPR-RI, Lembaga Tertinggi Negara dalam sisten ketata negaraan RI.
Hanya saja secara psikologis, dukungan ala Orde Baru itu bisa dijadikan barometer sementara tentang pergerakan dan pergeseran politik di tanah air.
Tetapi supaya tidak dianggap meremehkan ataupun melecehkan dukungan-dukungan itu, mari kita bedah esensinya.
Golkar merupakan partai yang pertama kali menyatakan dukungannya.
Agak janggal memang, dukungan Golkar ini. Sehingga dukungan Golkar tersebut perlu dan masih bisa diperdebatkan. Selain masih sangat dini, yang menegaskan dukungan tersebut barulah Setya Novanto, Ketua Umum-nya. Dan kesan yang mengemuka, dukungan itu belum dirapatkan secara korum di internal Golkar. Kebutuhan sesaatlah yang mendorong munculnya dukungan itu. Sehingga dukungan itu bisa diartikan sebagai pendapat atau lebih bersifat dukungan pribadi Setya Novanto.
Nah yang menjadi pertanyaan, apakah Setya Novanto mampu meyakinkan semua anggotanya bahwa Joko Widodo memang patut didukung oleh Golkar sebagai Presiden RI untuk satu periode lagi ?
Tanpa bermaksud meremehkan apalagi melecehkan Setya Novanto, yang menjadi kepedulian, sejauh mana eksistensinya di Golkar ?
Tak bisa dipungkiri, eksistensinya di Golkar, bukanlah seperti pendahulu-pendahulunya, seperti Akbar Tanjung, Harmoko, Sudharmono atau Amier Murtono.
Para bekas Ketua Umum yang disebutkan di atas memiliki kharisma tersendiri, selain alam demokrasi ala Indonesia waktu itu, sangat mendukung kepemimpinan mereka. Para mantan Ketum Golkar itu, memiliki basis pendukung yang antara lain dibentuk oleh Presiden Soeharto sebagai tokoh sentral Golkar maupun militer.
Sehingga apa yang mereka katakan, biasanya sudah merupakan kebijakan korporat Golkar.
Hal serupa tidak terjadi pada Setya Novanto – atau pada era dimana dalam Golkar sudah terbentuk faksi-faksi.
Lagi pula kalau melihat karakter Golkar, mustahil partai yang pernah berkuasa selama 32 tahun bersedia melepas jabatan RI-1 kepada partai lain atau tokoh lain. Golkar justru masih tetap berambisi meraih kekuasaannya kembali.
Di tambah lagi Joko Widodo bukanlah sosok yang penting bagi Golkar. Misalnya, Joko Widodo pernah berjasa dalam membesarkan Golkar.
Begitu kuatnya obsesi dan ambisi Golkar untuk berkuasa, sampaiu-sampai, Golkar tidak pernah mau menempati posisi oposisi.
Sebisa mugkin, Golkar harus ada anggotanya masuk dalam kabinet, sekalipun Presidennya dari partaai non-Golkar.
Saya belum berani menyebut, Golkar atau angga-anggotnya merupakan politisi yang menganut paham pragmatism atau oportunistis. Tetappi secara samar-samar, bakat menjadi seperi itu, ada.
Kalau boleh berterus terang, Setya Novanto berani mengatas namakan Golkar, karena dia sahabatnya Luhut Panjaitan, salah seorang menteri senior di Kabinet Jokowi, yang punya pengaruh besar kepada pebisnis dan politikus ini.
Tapi pengaruh Luhut Panjaitan di Golkar pun, tidak sebesar atau sekuat seperti pengaruh bekas bossnya di TNI, yakni Jenderal Benny Moerdani.
Di zaman Orde Baru, apa yang dikatakan atau didiktekan oleh Benny Moerdani, bisa diamini oleh sebagian besar pentolan Golkar. Kini, belum tentu demikian apa yang diminta oleh Luhut Panjaitan.
Kendati demikian upaya Luhut menjinakkan Golkar menjadi sepeti macan kertas terhadap pemerintahan Jokowi, patut dicatat dengan dengan fulpen dan tinta khusus.
Joko Widodo sendiri, berasal dari PDIP – partai yang di era Orde Baru merupakan salah satu musuh atau pesaing resmi Golkar. Walaupun rezim sudah berganti, tetapi persaingan itu, tidak otomatis hilang.
Golkar tidak punya kepentingan melanggengkan kekuasaan yang ada di tangan PDIP.
Jadi kalau dari perspektif yang diuraikan di atas, semestinya, dukungan Golkar itu bukan sebuah jaminan. Dukungan itu, justru perlu diwaspadai Joko Widodo. Dukungan itu bisa diartikan sebagai upaya Golkar menarik Joko Widodo keluar dari rangkulan PDIP. Dukungan itu punya sisi untuk melemahkan kekuatan politik Joko Widodo.
Agak berbeda dengan dukungan Partai Hanura. Masih lebih masuk akal dan bisa dipercaya. Apalagi dukungan itun terjadi, setelah ada koalisi antara Partai Gerindra dan Partai Demokrat.
Gayung bersambut. Hanura yang kini dipimpin Oesman Sapta Odang (OSO), secara psikologis berseberangan dengan Gerindra yang dipimpin Prabowo Subianto. Masih ingat, bagaimana OSO mendirikan HKTI Tandingan, ketika ormas itu dipimpin oleh Prabowo.
Pembentukan HKTI Tandingan tersebut menunjukkan “kelaki-lakian” dan kejantanan OSO yang tidak takut berhadapan dengan Prabowo yang mantan Danjen Kopassus.
Di luar itu, Hanura identik dengan Wiranto. Dan Wiranto idem dito sebagai jenderal purnawirawan yang akan terus menjegal Prabowo menuju kursi kekuasaan tertinggi di republik ini.
Wiranto yang mantan Panglima TNI, wajar kalau lebih mendukung Joko Widodo sebagai Presiden, ketimbang Prabowo. Apapun alasannya, gambar yang pernah beredar dimana Wiranto mencopot pangkatnya Prabowo sebagai Pangkostrad, di tahun 1998, masih tetap berbicara.
Hanura saat ini, juga banyak menampung politisi “buangan” dari Partai Demokrat. Mereka ini semua akan menjadi kekuatan ekstra yang lebih militan mendukung Joko Widodo, ketimbang putera SBY, Agus Harimurti Yudhoyono, menjadi Wapres di Pilpres 2019.
Agak sama dengan Hanura, adalah Partai Nasdem, pimpinan Surya Paloh. Nasdem, tidak punya calon atau pilihan lain kecuali Joko Widodo.
Yang paling membingungkan, PPP. Partai Ka’abah ini terpecah dua : pimpinan Djan Faridz dan Rommy. Dua-duanya mendukung Joko Widodo. Sementara Joko Widodo dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pemerintahan, lebih dulu memberi dukungan kepada Djan Farids baru ke Rommy.
Kini Rommy berada di atas angin, setelah memenangkan perkara kepemimpinan partai di PTUN. Rommy langsung menjadi pendukung Joko Widodo. Apakah ini sekedar menyaingi Djan Farids atau murni dan tulus ?
Kalau PDIP, sekalipun baru belakangan menegaskan dukungannya lewat Wakil Sekjen, Ahmad Basarah tetapi dukungan itu, memang cuma soal waktu. Karena PDIP sendiri, belum punya calon lain.
Tetapi yang paling aman bagi Joko Widodo, dukungan riel dari seluruh komponen bangsa. Sebab Pemilu Presiden, dilakukan secara langsung.
Dan untuk mendapatkan dukungan itu, Joko Widodo harus mampu meyakinkan rakyat Indonesia lewat bukti kerjanya dalam waktu tersisa yang tidak sampai dua tahun lagi.
Mengandalkan dukungan dari partai-partai politik, boleh-boleh saja. Tapi jangan lupa, pepatah Barat : there is no free lunch, brother. Tidak ada makan siang yang gratis mas bro.
Atau jangan lupa ungkapan Boery dan Dewi Yul dalam lagu cinta : “Jangan Ada Dusta Di Antara Kita”. Dua kekasih yang kelihatannya saling mencintai, masih bisa berdusta satu sama lain. Harus ada keterus terangan sikap atau kejujuran.
Dan sikap jujur inilah yang sulit didapatkan dari politikus.
*) Derek Manangka adalah wartawan Senior yang tinggal di Jakarta