Adakah Allah Cinta Aku? Ini Kisah Gelisah Syeikh Ali At-Tanthawi
Ucapan dan perbuatan Rasulullah Muhammad Saw merupakan representasi dari kehendak Allah, karena Nabi Saw. tidak berkata maupun berbuat sesuatu kecuali yang diwahyukan Allah Swt.
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Qs. al-Najm: 3-4]
Oleh karena itu, siapapun yang mengaku cinta Allah wajib baginya untuk menaati Rasulullah Saw. Jika dia menyelisihi sunah Rasulullah maka pengakuan cintanya hanya dusta belaka.
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata di dalam tafsir ayat ini, “Ayat yang mulia ini sebagai hakim terhadap semua orang yang mengaku mencintai Allah, tetapi dia tidak di atas jalan Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi was sallam, maka sesungguhnya dia itu pendusta di dalam pengakuannya itu. Sampai dia mengikuti syari’at dan agama Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi was sallam di dalam seluruh perkataan dan keadaannya”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali-‘Imran, ayat 31)
Asbabun Nuzul Surat Ali Imran ayat 31 ini berkaitan dengan kisah Ka’ab ibnul Asyraf dan kelompoknya yang terdiri dari orang-orang Yahudi yang mengaku mencintai Allah.
Kisah ini diriwayatkan Ibnu Munzir dari Hasan bahwa kelompok Kaáb bin Asyraf ini mengabaikan ajakan Rasulullah, karena mereka merasa sebagai anak dan kekasih Allah. Mereka bertkata: "Demi Allah, Wahai Muhammad! Kami sungguh mencintai Tuhan Kami". Klaim sesat mereka ini termaktub dalam firman Allah:
نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ
“Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. (Qs. Al-Maidah [5]:31)
Melihat respon dari Ka'ab bin Asyraf, Rasulullah pun menyampaikan Surat Ali Imran ayat 31. Maka perhatikan peringatan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“…Orang-orang yang menyalahi perintah Rasul Allah, hendaklah mereka takut ditimpa malapetaka di dunia atau azab yang pedih di akhirat”. (QS. An-Nuur [24]: 63)
Bagi orang-orang yang beriman dan berakal sehat, tentu akan muncul pertanyaan, “Apakah Allah Swt mencintai kita?” Pertanyaan ini telah menggugah hati seorang ulama kelahiran Damaskus, 23 Jumadil Ula 1327 H bertepatan dengan 19 Juni 1909 M, bernama Syeikh Ali At-Tanthawi. Lalu, ulama pejuang yang wafat pada hari Jum'at 4 Rabi'ul awwal 1420 H bertepatan dengan 18 Juni 1999, melakukan muhasabah, evaluasi dan korekasi terhadap dirinya sendiri.
Kemudian, katanya, saya teringat bahwa kecintaan Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya takkan datang begitu saja tanpa ada sebab apa-apa. Lalu, sayapun berusaha menghadirkan sebab-sebab dan sifat-sifat tersebut di dalam pikiran, agar dapat beradaptasi dengan diriku. Semoga saja menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri, “Apakah Allah mencintaiku?”
“Aku mulai mencari jawabannya, ku coba membuka mushaf Al-Qur’an untuk mencari jawaban atas pertanyan tersebut. Berharap, mudah-mudahan saja aku temukan jawabannya,” katanya.
Aku buka beberapa lembar Al-Qurán. Aku menemukan jawaban, bahwa orang yang dicintai Allah adalah “Al-Muttaqin”, orang-orang yang bertakwa.
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taat kepada Allah dan bertauhid”. (QS At-Taubah [9]: 4)
Kurasakan sepertinya masih sangat jauh diriku untuk mencapainya. Menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya bukan perkara mudah. Aku mencari dan mencari lagi. Ku bolak balik mushaf. Aku temukan jawaban lagi, bahwa orang yang dicintai Allah adalah “Ash-Shabirin” mereka yang sabar.
وَاللّٰهُ يُحِبُّ الصّٰبِرِيْنَ
“Allah mencintai orang-orang yang tabah menghadapi musibah dalam perang.” (QS Ali 'Imran [3]:146)
Kulihat diriku ternyata masih sangat lemah kesabaranku. Aku menemukan jawaban berikutnya, “sesungguhnya Allah mencintai “Al-Mujahidin” para pejuang, pembela agama Allah”.
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِهٖ صَفًّا كَاَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَّرْصُوْصٌ
“Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berperang untuk membela agama Allah dalam satu barisan, seolah-olah mereka itu sebuah bangunan yang berdiri kokoh.” (QS Ash-Shaff [61]: 4)
Aku sadar, aku ini penakut, pemalas, tidak mau bersungguh-sungguh dan sedikit untuk berusaha atau berjihad membela agama Allah. Aku cari lagi, aku temukan, Allah mencintai “Al-Muhsinin”
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan, yang suka memberi maaf”. (QS Al-Ma'idah [5]:13)
Aduh... masih sangat jauh diriku dari berbuat ihsan. Akhirnya aku berhenti untuk mencari jawaban berikutnya. Aku khawatir tidak menemukan pada diriku ada alasan yang membuat Allah mencintaiku. Karena belum ada yang bisa aku kerjakan.
Aku mulai mengintrospeksi diri sendiri. Melihat amalanku sehari-hari, ternyata masih banyak ku gunakan untuk senda gurau, hampir sebagian besarnya tercampur dengan dosa dan maksiat. Lantas seketika terlintas di benakku, bahwa Allah mencintai “At-Tauwwabin”, orang yang bertobat,
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dari dosa karena senggama dengan istrinya yang sedang haidh, dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri dari junub." (QS Al-Baqarah [2]: 222)
Ku rasakan seakan-akan ayat ini khusus untuk diriku dan orang-orang yang semisal denganku. Lantas mulutku segera komat kamit mengucapkan:
أَسْتَغْفِرُ الله وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ, أَسْتَغْفِرُ الله وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ, أَسْتَغْفِرُ الله وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ
“Aku memohon ampun kepada Allah dan aku bertobat kepadaNya”
Advertisement