Adab Politik Pesantren
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf sempat nglokro ketika dapat kabar ini: KH A Mustofa Bisri alias Gus Mus tak jadi berangkat ke Lampung, tempat Muktamar NU ke-34 berlangsung. Padahal, pamannya itu sudah sempat berangkat dari Rembang sampai Semarang.
Saya bisa membayangkan perasaan Gus Yahya --demikian Yahya Cholil Staquf biasa dipanggil. Sebab, Gus Mus lah yang selama ini menjadi pengganti ayahnya KH Cholil Bisri setelah beliau meninggal. Menjadi sandaran dan tameng dalam menghadapi banyak hal. Khususnya dalam kiprah ke-NU-an dan dakwah global.
Hubungan Gus Yahya dengan Gus Mus yang juga mantan Rais Aam PBNU amat dekat. Selain rumahnya di Rembang berhadap-hadapan, kiai seniman yang dikenal dekat dengan almarhum Gus Dur ini menjadi rujukan sikap. Juga rujukan dalam mengambil setiap langkah pentingnya.
Gus Rizal Wijaya, menantu Gus Mus, membenarkan bahwa kiai yang juga seniman ini sudah berangkat dari Rembang. ‘’Sesampai Semarang beliau merasa badannya tidak enak. Karena itu, beliau meminta ditelponkan Mas Yahya untuk tidak berangkat ke Lampung,’’ katanya.
Belakangan mendapat kabar, konon Gus Mus bukan hanya karena tidak enak badan. Beliau memutuskan untuk tidak hadir di arena Muktamar agar bisa tetap netral dalam kontestasi Ketua Umum PBNU. Karena yang maju adalah keponakannya. Sedangkan Kia Said adalah putra dari murid kakeknya.
Di NU, Gus Mus memang menjadi standar moral bagi para kiai lainnya. Ia sangat teguh dalam menjaga NU menjadi organisasi yang utuh dan teladan. Ia menolak dicalonkan menjadi Rais Aam ketika KH Sahal Mahfudz masih hidup. Ia baru bersedia meneruskan jabatan tertinggi NU itu setelah Kiai Sahal wafat.
Saat hendak diusung menjadi Rais Aam dalam Muktamar 33 di Jombang, ia tidak bersedia. Tidak seorang pun mampu merayunya. Padahal, kesediaan Gus Mus menjadi calon Rais Aam PBNU saat itu bisa menjadi pemersatu di tengah pertarungan yang tajam antara KH Salahuddin Wahid dan KH Said Aqil Siradj.
Tidak hanya dalam pesantren, antar kiai sebetulnya ada subkultur sendiri. Sebuah tata nilai yang menjadi patokan mereka dalam membangun relasi sosial politik antar sesama. Bisa saja antar kiai berbeda pandangan. Tapi ada struktur sanad keilmuan, kealiman dan kekerabatan yang menjaga ekspresi sikapnya.
Seorang KH Agoes Ali Mashur, pimpinan Pondok Pesantren Bumi Shalawat Sidoarjo lebih memilih tidak keluar dari tempatnya menginap di Lampung selama muktamar. Ia pengurus PWNU Jatim dan juga sering menjadi rujukan sikap organisasi.
“Gus Yahya baik dan masih ada hubungan kerabat. Kiai Said juga demikian. Karena itu saya sama sekali tak ke arena muktamar,” katanya saat ditanya kenapa tidak kelihatan selama Muktamar Lampung berlangsung.
Pemilihan Rais Aam oleh Ahlul Hali wal Aqdi (AHWA) juga sangat unik. Anggota AHWA dipilih seluruh peserta muktamar. Dengan masing-masing mengusulkan 9 nama. Setelah ditabulasi, 9 nama yang mendapat suara terbanyak ditetapkan menjadi anggota.
Kesembilan nama para kiai itu kemudian bermusyawarah memilih Rais Aam. Semacam Komisaris Utama dalam sebuah perusahaan. Pemegang otoritas tertinggi di Ormas Islam terbesar di dunia ini. Rais Aam ini juga penentu calon Ketua Umum PBNU. Jabatan seperti Direktur Utama dalam perusahaan.
Rapat penentuan Rais Aam okeh AHWA juga digambarkan penuu dengan teladan. Ketika penimpin rapat KH Makruf Amien meminta pendapat tentang siapa yang pantas, tak satu pun dari 9 kiai bersedia mengeluarkan pendapat. Juga ketika diminta dengan urutan paling tua.
“Para kiai anggota AHWA berebut tidak bersedia menunjuk seseorang dan ditunjuk menjadi Rais Aam. Akhirnya disepakati KH Miftahul Ahyar untuk meneruskan amanah yang telah diemban selama ini,” kata KH Zainal Abidin, juru bicara AHWA.
Padahal, Kiai Miftah asal Surabaya ini bukan pemeroleh suara terbanyak dari muktamirin. Tapi beliau adalah pejabat Rais Aam yang meneruskan KH Makruf Amien yang harus berhenti ketika terpilih menjadi Wakil Presiden RI.
“Suasana rapat AHWA sangat akrab sekali. Penuh dengan kekeluargaan. Bahkan dengan keadaban, sopan santun, akhlak yang ditunjukkan para kiai kita, benar-benar menjadi teladan kita semua. Bagi keluarga Nahdlatul Ulama,” kata Kiai Zainal.
Adab, akhlak, dan tradisi saling menghormati antar para kiai ini yang membikin konflik apa pun dalam NU terkendali. Ada faktor jaringan geneologi antar mereka. Juga ada penghormatan atas dasar struktur sanad keilmuan antar mereka.
Persoalannya adalah bagaimana mentransformasikan adab politik pesantren ini ke dalam peradaban politik bangsa? Mungkinkan adab politik pesantren itu mewujud dalam sistem demokrasi Indonesia?
Mestinya bisa. Sudah sejak lama, pesantren menjadi subkultur dari kultur bangsa ini. Bahkan, pesantren menjadi bagian dari pembentuk bangsa Indonesia. Sikap politik pesentren yang mewujud dalam perilaku politik NU bisa juga disosialisasikan.
Saya percaya, PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya Cholil Staquf bisa melakukannya. Bagaimana mentransformasikan adab politik NU ke dalam berbangsa dan bernegara. Sebab, ini menjadi bagian dari cara menjaga NKRI.
Advertisement