Ada yang Salah dengan Cara Testing dan Tracing di Indonesia
Epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr Windhu Purnomo menyebut ada yang salah dengan cara testing dan tracing yang dilakukan oleh pemerintah saat ini. Menurut dia, testing yang dilakukan oleh pemerintah saat ini masih terkesan sembarangan. Dia mencontohkan testing yang dilakukan terhadap kerumunan atau gerombolan yang ditemukan di jalan, kemudian langsung dites. Kata dia, itu seharusnya tak dilakukan karena harus disesuaikan dengan kemampuan alat yang ada.
“Benar kata Pak Menteri Kesehatan, testing kita sudah kurang dan salah sasaran. Hanya suspect, kontak erat dan yang memiliki gejala influenza like illness (ILI) saja yang harusnya dapat dites,” kata Windhu.
Menurut Windhu pemilihan obyek sample yang lebih selektif ini disesuikan dengan kapasitas testing di Indonesia yang masih sangat terbatas. Saat ini kapasitas testing di Indonesia masih sangat kurang dibandingkan dengan jumlah sampel yang masuk. Dampaknya pengumuman hasil terlambat sampai berhari-hari. Sehingga terjadi keterlambatan penanganan terhadap mereka yang dinyatakan positif dan sangat dimungkinkan sudah melakukan kontak dengan lebih banyak orang.
“Tes tidak boleh terlambat begini, virus sudah ke mana-mana kalau terlambat diumumkan. Maka kecepatan testing ini harus ditingkatkan, maksimal dalam 24 jam sudah harus keluar dan langsung melakukan tracing,” tegasnya.
Selain masalah keterbatasan kapasitas testing, kata Windhu pemerintah saat ini juga mengurangi anggaran untuk pandemi. Pemerintah saat ini lebih fokus kepada pemulihan ekonomi sebagai dampak pandemi. Makanya, tak heran jika kemudian testing dan tracing saat ini makin menurun jumlahnya dalam empat bulan ini.
“Sekarang jumlah testing kita turun tajam, per 1 Maret 2021 testing kita terendah dalam empat bulan terakhir. Padahal, target WHO untuk Indonesia 39 ribu sedangkan kita hanya 17 ribu per hari kurang dari separuh dari target minimum,” ungkap Windhu.
Kemudian, kalau testing sudah beres, menurut dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair itu mengatakan, tracing harus betul-betul dilakukan dengan masif. Salah satunya dengan memperbanyak jumlah orang yang di-tracing. Berdasar ukuran jumlah penduduk di Indonesia, harus dilakukan tracing terhadap 30 orang yang merupakan kontak erat dan sucpect dari satu orang yang dinyatakan positif.
“Tracing kita selama ini lemah, bahkan jumlahnya sekarang sangat kurang. Bahkan ada teman ya itu yang positif tapi tidak pernah mendapat tracing,” ungkap Windhu.
Ia memahami pelaksanaan tracing tidaklah mudah. Pasalnya, tak sedikit orang yang bergejala atau memiliki kontak erat yang menutupi dirinya padahal pernah bertemu dengan kasus positif. Belum lagi banyak orang yang menolak ketika akan dilakukan tracing.
“Itu soal komunikasi publik bagaimana kita itu harus bisa membuat masyarakat persepsi risikonya tinggi, sekarang ini banyak pemahaman masyarakat rendah terkait testing itu dampaknya apa. Itu yang harus digencarkan pemerintah mereka punya kekuatan. Harus ada upaya paksa dari pemerintah kalau masyarakat menolak karena ini pandemi yang menghambat penanganan wabah bisa disanksi pidana,” pungkasnya.