Ada Ulama Berperangai Kerdil, Ini Penjelasan Haedar Nashir
Manusia itu memiliki watak dasar angkuh diri. Angkuh karena kuasa tahta, harta, dan segala digdaya dunia. Bahkan angkuh diri karena kuasa ilmu dan agama. Keangkuhan itu sering menyeret manusia pada perangai suka melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup (QS Al-Alaq : 6-7).
Fir'aun bahkan dengan arogan mengaku diri sebagai tuhan yang maha tinggi. Padahal, Tuhan mengingatkan, meski angkuh diri melebihi Fira'aun, manusia itu tidak akan melampaui tingginya gunung. Sebuah metafora betapa lemah atau dhaifnya manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Pencipta.
“Manusia angkuh, sabda Nabi, cirinya dua yaikni suka menolak kebenaran yang datang dari orang lain, serta gemar merendahkan sesama. Mereka yang bertahta dan berkuasa menindas rakyat jelata. Mereka yang berharta mengeksploitasi kaum papa. Mereka yang berilmu merendahkan yang bodoh. Merasa paling besar jumlah pengikut semena-mena terhadap yang sedikit dan minoritas. Mereka yang merasa Pancasilais menganggap lainnya tidak Pancasila, bahkan menuding anti-Pancasila. Bahkan, tidak jarang mereka yang merasa paling benar dengan paham agamanya mencerca dan memperolok paham lain yang berbeda darinya,” kata Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Karena keangkuhan diri melebih takaran, menurutunya, lalu terjadi pemberhalaan paham, pandangan, pemikiran, dan apa saja yang dimilikinya secara fanatik-buta. Lalu terjadi segala kedunguan logika. Segala pandangan dan paham yang berbeda diamggap sesat dan menyesatkan tanpa dalil dan argumen yang kokoh.
Orang lain dilarang berbuat sekehdaknya lalu dicap intoleran, radikal, dan ekstrem. Sementara dirinya bebas berkata, berpikir, dan berbuat apa saja yang sebenarnya sering berwatak ekstrem, radikal, dan intoleran. Kebenaran dan kesahalan hanya berpatokan pada dirinya, yang angkuh dan merasa diri paling banyak.
Akibatnya, keberagamaan dan apapun logika berpikir para manusia angkuh diri itu tak menyentuh sukma terdalam ajaran agama nan autentik. Mereka berpikir, berkata, dan bebuat layaknya buih di lautan sebagaimana Firman Allah, yang artinya:
"Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan" (QS Ar-Ra'du: 17)
“Karena angkuh diri, mereka sering tersesat dan merasa benar di jalan salah layaknya berenang di lautan buih sering menjadikan insan beriman dan berilmu sekalipun menjadi kerdil diri. Mankala yang berbuat sesat jalan itu orang-orang awam tak berilmu, boleh jadi khalayak akan memakluminya,” tutur Haedar Nashir.
Namun menjadi paradoks jika yang salah jalan dan angkuh dalam kesalahannya itu mereka yang beriman dan berilmu. Angkuh diri di jalan salah yang dibenarkan dan disakralkan sungguh merupakan ironi kebenaran dalam jejak hidup kaum beriman dan berilmu. Inilah wujud lain pemberhalaan paham keagamaan yang berkarakter ghuluw, serba ekstrem dalam wajah lain. Mereka yang berilmu agama tinggi pun, karena keangkuhannya lantas menjadi kerdil.
Menuru Haedar Nashir, dalam khazanah Islam klasik dikenal istilah "Ash-Shaagiir", ulama yang ilmunya tampak mumpuni tetapi perangainya kerdil. Ketika Ibnu Mubarak ditanya “Siapakah itu Ash-Ashaghir?”.
Dia menjawab, yakni “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata". Ulama atau mereka yang berilmu tetapi pikiran, ujaran, dan tindakannya sungguh tidak mencerdaskan dan mencerahkan. Sebaliknya tampak naif, bodoh, dan dungu. Ilmunya selain kehilangan kedalaman dan filosofi kebenaran yang autentik, pada saat yang sama tak dibalut hikmah hingga mengerdilkan dirinya. Iman dan ilmunya boleh jadi telah terkontaminasi berhala hawa nafsu. (adi)
Advertisement