Ada Takir Kawung dan Tari Sodoran, dalam Perayaan Nyadnya Karo
Warga Tengger di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru merayakan Hari Raya Karo (Yadnya Karo), Senin, 16 September 2019. Di Kabupaten Probolinggo, Yadnya Karo diperingati warga di tiga desa di Kecamatan Sukapura yakni, Wonotoro, Jetak, dan Ngadisari.
Ketiga desa itu secara bergiliran merayakan Yadnya Karo bersama-sama. Pada 1941 Tahun Saka (tahun 2019) ini giliran Desa Jetak yang menjadi tuan rumah.
Mirip suasana Idul Fitri di kalangan kaum muslimin, warga Tengger pun merayakan Yadnya Karo selama sepekan. Mereka beranjangsana ke rumah-rumah dan saling memaafkan.
Puncak Hari Raya (Yadnya) Karo tahun 1940 Saka (bertepatan 2018 Masehi) diperingati bersama warga tiga desa di Desa Wonotoro. Ketiga desa itu secara bergiliran menjadi tuan rumah puncak peringatan Yadnya Karo setiap tahunnya.
“Puncak Yadnya Kasada selalu diwarnai Tari Sodoran, termasuk kali ini di Desa Jetak,” kata Supoyo, tokoh warga Tengger di Kabupaten Probolinggo.
Sejak pagi, warga tiga desa itu, tua-muda, pria-wanita, berbondong-bondong menuju balai Desa Jetak. Hari itu tiga kepala desa dinobatkan menjadi ”Raja Tengger”.
Ketiga “raja” itu duduk di singgasana di hadapan ribuan warga Tengger yang duduk lesehan, mengepung hidangan berwadah takir kawung. Takir dari anyaman janur kelapa itu berisi nasi berserta lauk-pauk dan jajanan tradisional.
Bagian tengah balai desa sengaja dikosongkan untuk ritual Tari Sodoran. “Tari Sodoran menggambarkan asal-usul penciptaan jagat dan manusia, selalu digelar saat Hari Raya Karo,” ujar Supoyo.
Ritual Yadnya Karo dimulai dari prosesi besanan. Usai besanan, tiga pengantin yang semuanya laki-laki duduk di singgasana Raja Tengger. Ketika pengantin sudah bersanding, gamelan membahana, penari-penari Sodoran, semuanya juga laki-laki, dengan gemulai berjalan sambil melenggangkan tangan.
Konon Hari Raya Karo sudah diperingati masyarakat Tengger sejak tahun 1700-an Masehi. Indikasinya, bisa dilihat dari kepingan mata uang logam yang dimasukkan dalam celengan sebagai sesaji upacara.
Uang logam yang dimasukkan dalam jimat klonthong itu di antaranya, berupa mata uang VOC tahun 1790. “Setiap tahun saat ritual Karo, uang logam selalu dimasukkan ke dalam jimat klonthong,” ujar Supoyo.
Takir Kawung
Ketika pemerintah mengampanyekan untuk mengurangi sampah plastik, sebenarnya warga Tengger jauh sebelumnya telah menawarkan solusinya. Saat Yadnya Kasada, mereka menggunakan takir kawung yang berasal dari anyaman daun muda kelapa (janur) sebagai wadah sesaji.
“Sesaji selalu dimasukkan takir kawung dari janur. Selanjutnya takir kawung akan diletakkan ke lahan pertanian. Filosofinya dari bumi pertiwi kembali ke bumi pertiwi,” kata Ngantoro, warga Tengger.
Dikatakan takir kawung tidak hanya dipersembahkan kepada arwah leluhur. “Sekaligus kerarifan lokal agar kita semua tidak menumpuk sampah plastik,” katanya.
Takir kawung berisi sesaji hasil bumi dan makanan, yang disipkan menjelang Tari Sodoran. Isinya, Sega Gerit (nasi jagung) dilengkapi iwak osek (lauk-pauk), dan di atasnya ditumpangi jajanan tradisional.
Advertisement