Beda Tempe Produksi Kampung Tenggilis Kauman Dulu dan Sekarang
Hari masih pagi, namun Ghofur Rohim sudah mulai beraktivitas. Dia tampak mencuci kedelai yang sudah dikupas. Ghofur Rohim adalah salah satu pengrajin tempe di Kampung Tempe Tenggilis Kauman Surabaya yang masih bertahan. Bisa diduga jika dia meneruskan usaha yang pernah dijalankan oleh keluarganya.
Ghofur Rohim sudah mulai mengolah kedelai menjadi tempe sejak usia 13 tahun. Dia saat itu membantu orang tuanya yang memang pengrajin tempe di Kampung Tempe Tenggilis Kauman. Ghofur kemudian memutuskan untuk membuka usaha tempe sendiri pada tahun 1993 yang lalu hingga kini.
Makan asam garam usaha tempe sejak kecil menjadikan Ghofur paham apa yang membedakan proses produksi tempe dulu dan sekarang. Jika dulu kebanyakan pengrajin merendam kedelai dengan menggunakan air sungai, maka kini proses perendaman menggunakan air bersih. Proses membuat tempe memang 'makan' banyak air untuk pencucian perendaman kedelai. Bahkan saat ini masih ada pengrajin yang menggunakan air sungai untuk merendam kedelai.
"Yang membedakan olahan tempe dari Kampung Tempe Tenggilis Kauman ini dibanding tempat lain adalah hasil olahan tempe dari Kampung Tempe Tenggilis Kauman ini dijamin kualitasnya karena memakai air bersih," ujarnya berpromosi.
Selain soal proses perendaman dan pencucian, Ghofur Rohim juga menyebut ada hal yang membedakan tempe dari Kampung Tempe Tenggilis Kauman yang dulu dengan sekarang. Beda lainnya adalah soal cara memasak. Zaman orang tuanya dulu, memasak kedelai harus dua kali masak. Tapi sekarang kedelai hanya sekali dimasak.
"Kalau dua kali masak, biaya produksi menjadi semakin banyak dan waktu yang diperlukan semakin lama. Ukuran tempe kalau dua kali masak pun akan menyusut," jelas Ghofur.
Ghofur bercerita, pernah ada pengrajin yang mencoba mempertahankan cara memasak seperti zaman orang tua mereka. Alhasil usaha tempe mereka tutup karena biaya produksi yang terlalu banyak dan proses pengolahan yang terlalu lama.
Setia menjadi pengrajin tempe membuat Ghofur punya harapan setinggi langit. Utamanya soal harga kedelai yang sering tak menentu. Kata dia, setiap tahun kedelai pasti naik, tapi di era pemerintahan Jokowi ini harga kedelai naik dan tak kunjung stabil. Beda di zaman Presiden Soeharto. Dulu harga kedelai pernah melambung karena pada saat itu Indonesia sedang mengalami krisis.
"Beda lagi di zaman Presiden Gus Dur. Harga kedelai sangat stabil. Cukuplah untuk menyejahterakan kami para perajin tempe. Sedangkan pada saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono harga kedelai pernah mengalami kenaikan namun sangat cepat stabil. Sekarang Pak Jokowi tidak suka tempe kali ya, makanya tidak ada tindakan sama sekali dari presiden,” katanya sambil bercanda
Asal tahu saja, dulu Ghofur bisa memproses kedelai 150kg dalam sehari. Namun sekarang dia hanya dapat mengolah kedelai seberat 70kg. Tapi anehnya, harga beli kedelainya setara saat dia mengolah 150kg dulu.
Makanya tak heran jika kemudian dia menyarankan anaknya untuk tak mengikuti jejaknya.
“Kalau bisa jangan jadi pengrajin tempe. Cari bidang usaha yang lain yang lebih menjanjikan secara materi, kecuali siap susah dan serba pas-pasan demi menjaga warisan budaya bangsa ya lanjut jadi perajin tempe,” ujarnya pesimis.
Penulis:
Sidhiq M AsySyifa-
Bagas Wahyu A
Advertisement