Ada Masjid Ojo Gelo di Klaten yang Antisampah Plastik
Niat awalnya itu mencari tempat bernama Nggone Mbahmu. Rumahnya Simbah. Bisa juga berarti tempatnya simbah. Bukan tempat singgah biasa sebenarnya, melainkan sebuah roastery coffee. Sebuah tempat menyangrai kopi. Secara kebetulan saja meneggunakan nama nggone mbahmu. Ikonik, Jawa banget, dan secara fisik bangunan nggone mbahmu memang rumah kuno khas peningalan jaman dulu.
ngopibareng.id pernah menuliskannya utuh pada saat pembukaan rumah sangrai kopi ini. Di Klaten, tahun berselang. Mengenal Klaten kan? Klaten itu sisi Selatan Provinsi Jawa Tengah. Di pertengahan, antara Kota Solo dan Jogjakarta. Tempat asal muasalnya pedagang akringan di Jogja, dan hik di solo.
Banyak orang menamai Klaten seperti kota kejepit. Karena kejepit itu, dulu, ketika musim-musimnya isu pemekaran daerah, isu pemekaran provinsi begitu masifnya, Klaten termasuk wilayah yang bersemangat menyambut isu pemekaran bersama Boyolali, Solo, Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, dan Wonogiri. Jawa Tengah dirasa terlalu besar, sementara perkembangan di wilayah Selatan Jateng ini terkesan lamban.
Itu awalnya. Tapi di Klaten tentu tak hanya ada roastery coffee Nggone Mbahmu bukan? Pasti ada lainnya juga yang layak diceritakan. Masjid Ojo Gelo misalnya. Masjid yang sama sekali tidak berdinding. Usai salat, leyeh-leyeh sejenak menunggu panas sirap, menunggu buka puasa datang, rasanya hati ini mak nyes dan ayem.
Masjid ini aslinya tidak bernama ojo gelo. Filosofinya yang menuju ke sana. Aslinya masjid ini bernama Joglo Baitul Ma’mur. Berada di tepi Jalan Raya Penggung-Jatinom. Dukuh Tegalsari, Desa Kunden, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten.Arsitektur masjid ini berbeda dengan masjid umumnya. Tak terlihat kubah di atap masjid. Bangunan juga berupa Joglo Jawa. Beratap genting, sementara sisi-sisinya terbuka tanpa tembok. Sisi barat menjadi satu-satunya sisi bangunan yang tertutup gebyok serta sekat untuk mimbar dan ruang imam.
Usai menunaikan salat, di hari yang panas begini, tampak orang-orang tiduran di antara tiang penyangga bangunan masjid. Suasana begitu sejuknya. Karena angin berembus dari berbagai sisi masjid serta dukungan lantai keramik yang begitu bersih. Pemandangan los, sebab bersingungan langsung dengan perswahan yang luas.
Tiang penyangga menjadi penopang bangunan yang berbahan kayu jati ini. Ada lampu gantung terpasang. Kesannya klasik. Ada kentongan dan bedug. Ini tak sekadar menjadi penghias lantaran ditabuh juga oleh pengurus masjid sebelum azan dikumandangkan.
Usut punya usut, masjid ini didirikan warga setempat juga. Namanya Karyawan Hari Susetyo, 60 tahun, pensiunan pegawai PT. Taspen. Setelah pensiun kini menetap di Desa Kunden. Dalam perjalannya, setelah didirikan, Hari mewakafkan tanah beserta bangunan masjid tersebut untuk kepentingan umum.
Hari berkisah, 2006 silam dia membeli tanah di tepi Jalan Raya Penggung-Jatinom. Sejak awal dia sudah berniat membeli tanah untuk didirkan sebuah masjid. “Tujuan saya mendirikan masjid simpel. Memfasilitasi para musafir. Yang saya tahu dari Jatinom sampai Penggung itu tidak ada masjid di pinggir jalan yang terbuka,” katanya.
Pada Juli 2015, selang lima bulan setelah pensiun, Hari mulai merealisasikan niat membangun masjid. Konsep dan biaya ditanggung sendiri. Pilihannya adalah konsep bangunan Jawa, sesuai dengan asal usulnya yang orang Jawa. Selebihnya adalah tak ada keharusan soal bentuk masjid.
Bangunan Masjid Joglo didirikan di tanah seluas 1.030 meter persegi. Selama empat bulan proses pembangunan berjalan. Untuk membangun masjid ini Hari mengeluarkan biaya sekitar Rp600 juta.
Kata Hari, ada filosofi yang dia sertakan di balik pembangunan ini. Ukuran bangunan 17 meter X 17 meter serta jumlah tiang lampu yang mengelilingi pagar masjid berjumlah 17 unit. Angka 17 disesuaikan dengan jumlah total rakaat salat wajib dalam satu hari.
Selain angka 17, ada filosofi lain soal jumlah kran wudu masjid. Masing-masing tempat wudu putra dan putri terdapat kran berjumlah 6. Ini melambangkan jumlah rukun enam. “Nama masjid ini juga bukan sekadar karena bentuknya joglo. Sebenarnya joglo yang dimaksudkan itu ojo gelo. Jangan kecewa. Jadi untuk mengingatkan semua agar melaksanakan salat dengan tekun,” kata Hari yang pernah menjabat sebagai Kepala Cabang PT Taspen Surakarta itu.
Ia juga memiliki filosofi tersendiri soal konsep bangunan berupa joglo yang terbuka. “Konsep joglo yang terbuka itu filosofinya masjid terbuka untuk siapa saja. Masjid bukan miliki aliran tertentu. Sepanjang masih Islam mereka berhak salat di tempat tersebut,” katanya.
Hari memiliki pesan khusus kepada pengurus masjid untuk mempertahankan bentuk masjid tersebut tanpa menambahi bangunan lainnya agar keindahan Masjid Joglo serta suasananya yang sejuk tetap bisa dinikmati. “Karena masjid ini menjadi masjid musafir, saya harap pengurus bisa menjaga kerapian, kebersihan, dan ketertiban masjid.”
Suyudi, 42 tahun, pengurus masjid, mengatakan, Masjid Ojo Gelo ini difungsikan pertama kali saat salat Jumat dua tahun silam. Soal kegiatan masjid, kata Suyudi, ada beragam kegiatan. Seperti ramadhan kali ini ada kegiatan rutin penyediaan menu buka puasa. Semuanya disiapkan pengurus masjid. Pada ramadan ini, panitia berkomitmen menerapkan antisampah plastik dalam berbagai penyajian menu berbuka.
“Wadah bisa menggunakan daun atau bahan selain plastik. Sementara, tempat minum menggunakan gelas kaca. konsep tanpa plastik ini memang dicanangkan mulai ramadan kali ini,” katanya. (idi)