Ada Lilin Seharga Rp13 Juta di Klenteng Malang, Ini Filosofinya
Angin semilir di tengah cuaca terik menerpa ratusan lampion yang tergantung di halaman Klenteng Eng An Kiong, Kedungkandang, Kota Malang. Menjelang Imlek, klenteng yang berusia sekitar 195 tahun tersebut tampak cerah dan menyala, didominasi warna merah dan kuning.
Klenteng yang terletak di Jalan Martadinata tersebut juga dikenal dengan nama Tri Dharma, tempat ibadahnya tiga umat beragama yakni Ji (Konghucu), Too (Tao), dan Sik (Budha).
Di sayap bagian depan ada tempat ibadah bagi agama Konghucu. Pada sudut utamanya, terletak navicula atau wadah dupa besar terbuat dari tembaga, dengan warna keemasan. Serta lilin sembahyang di samping kiri dan kanannya.
Lilin sembahyang tersebut memiliki ukuran bermacam-macam. Ada yang mempunyai ketinggian sekitar 1,7 meter, 60 centimeter dan terkecil 30 centimeter. Untuk harganya pun bermacam-macam, mulai dari ratusan ribu hingga belasan juta rupiah.
"Untuk yang ukuran kecil harganya ada yang sekitar Rp250 ribu dan yang besar ukuran sekitar satu meter lebih itu harganya Rp13 juta," ujar Sekretaris Yayasan Klenteng Eng An Kiong, Rudy Phan pada Senin 31 Januari 2022.
Ia menunjuk lilin merah tertinggi di antara yang lain. Tertera keterangan ketinggian lilin mencapai 1,7 meter.
Rudy melanjutkan, umat di klenteng biasanya membeli lilin sembahyang sebagai perwujudan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu diterangi karunia Tuhan, selama menjalani kehidupan.
"Jadi ini adalah ibarat pencerah hidup. Harapan agar hidupnya selalu diterangi. Jadi apa yang dicita-citakan itu bisa tercapai," katanya.
Untuk lilin sembahyang dengan ukuran 1,7 meter tersebut, kata Rudy, diperkirakan bakal habis sekitar tiga bulan lamanya. Di Klenteng Eng An Kiong ada sekitar 80 hingga 90 lilin sembahyang tersebar di beberapa tempat.
"Jadi di lilinnya itu kan ada ditulis nama seseorang. Itu adalah yang membeli lilin itu. Nanti yang menyalakan lilinya bukan kami. Dia sendiri atau keluarganya datang ke klenteng menyalakan sendiri," ujarnya.
Ditambahkan oleh Humas Yayasan Klenteng Eng An Kiong, Bonsu Anton Triyono, lilin sembahyang tersebut merupakan tradisi dari China yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.
"Lilin itu adalah cara kami untuk berterimakasih terhadap karunia Tuhan Yang Maha Esa. Yang telah mengaruniai cahaya kepada manusia berupa matahari," katanya.
Bonsu Anton melanjutkan, bahwa menyalakan lilin adalah bentuk sembahyang di klenteng selain dengan cara membakar dupa. Adapun kata dia, tiap ukuran lilin yang berbeda-beda itu menentukan jumlah orang yang akan didoakan.
"Kalau menyalakan lilin yang kecil itu berarti dia beribadah untuk dirinya sendiri. Sedangkan lilin yang besar itu untuk banyak orang. Semisal dia punya keluarga, maka dia beli lilin yang besar. Untuk banyak orang," imbuhnya.