Ada Kemiripan Muhammadiyah dan Aliran Mazhab, Ini Penjelasannya
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern yang mengembalikan seluruh usaha dan ijtihadnya kepada Al-Quran dan Sunah. Jika pun menemukan pendapat individu yang digunakan Muhammadiyah, hal tersebut hanya sebagai penguat bagi penjelasan yang diyakini persyarikatan.
“Karena dasar ajaran Muhammadiyah adalah Al-Quran dan Sunah, maka dalam proses dan hasil ijtihad Muhammadiyah, kita akan menemukan bahwa ijtihad Muhammadiyah memiliki irisan yang kuat dengan mazhab-mazhab tertentu, dan akan memiliki irisan lain dengan kelompok lain pada urusan yang berbeda,” tutur Mantan Ketua PCIM Mesir Cecep Taufiqurrahman dalam acara Gerakan Subuh Mengaji (GSM) yang diselenggarakan PWA Jawa Barat.
Ijtihad Majelis Tarjih
Cecep menjelaskan, ijtihad Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam urusan fikih, misalnya, dalam kasus tertentu memiliki irisan dan kemiripan dengan mazhab Hanafi, tetapi dalam urusan lain, irisannya mirip dengan mazhab Maliki, Hanafi, atau bahkan Hambali.
Sebagai contoh, walaupun Muhammadiyah satu pemikiran dengan Imam Syafii tentang ketentuan badal haji, tapi Muhammadiyah tidak sepakat dengan penulis kitab al-Risalah tersebut tentang qunut salat subuh.
Meski Muhammadiyah sangat menghormati Imam Abu Hanifah dan segala kontribusinya, tapi Muhammadiyah tidak mengikuti pandangan beliau tentang jumlah rakaat salat tarawih.
“Banyak sekali orang yang berkepentingan untuk menyeret-nyeret Muhammadiyah ke dalam kelompok tertentu hanya karena satu atau dua kemiripan saja. Setiap kemiripan tidak harus selalu dipandang sebagai satu kelompok. Seperti seorang anak yang lahir dari sepasang suami istri, pasti ada irisan kemiripan pada salah satunya,” ujar alumni doktoral Universitas Al Azhar Kairo ini.
Irisan Kemiripan dengan Muhammadiyah
Irisan dan kemiripan ijtihad Muhammadiyah tidak hanya dalam ruang lingkup fikih, tapi juga akidah. Cecep menjelaskan bahwa dalam pandangannya tentang Al Quran, ijtihad Muhammadiyah sama dengan pendapat Ahlusunnah secara umum seperti Asy’ari, Maturidi, bahkan Ibnu Taimiyah, yakni menempatkan Al-Quran sebagai Kalamullah bukan Makhluk Allah.
Dalam pembahasan ihwal sifat-sifat yang wajib bagi Allah pun sama, ijtihad Muhammadiyah memiliki irisan yang sangat kuat dengan Asy’ari, Maturid, dan Ibnu Taimiyah.
Dalam masalah yang sensitif, seperti ayat-ayat mutasyabihat yang maknanya dapat dikesankan adanya faktor antropomorfisme atau menyerupai makhluk (tajassum), menurut Majelis Tarjih yang harus dilakukan adalah 1) tafwid atau taslim yaitu mengembalikan makna yang sesungguhnya kepada Allah bukan pada makna dzahirnya, dan 2) ta’wil dengan syarat adanya qara’in. Misalnya, Firman Allah tentang yadu Allah fauqa aydiyahum.
Terkait dengan persoalan Qadha dan Qadr, ijtihad Muhammadiyah sangat mirip dengan Asy’ariyah. Sebab, perbuatan manusia jika dipandang dari sisi Allah sebagai takdir, namun bila dipandang dari sisi manusia disebut kasb. Karenanya, bila terjadi fasad di bumi, maknanya ganda yaitu qadarullah dan bima kasabat aydinnas. Sementara itu, dalam hal penciptaan, Muhammadiyah berisan dengan Maturidiyah yaitu mengakui sifat al-takwin (kun fayakun).
“Kita perlu ingat bersama jika ada orang yang mengatakan bahwa pemahaman kelompok tertentu sama dengan Muhammadiyah, maka sampaikan saja bahwa Muhammadiyah memiliki banyak irisan dengan banyak kelompok aliran, jangan pernah menisbatkan Muhammadiyah kepada mazhab tertentu. Kira-kira begitu,” tegas Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung ini.
Adanya irisan dan kemiripan ijtihad Muhammadiyah dengan beragam kelompok menunjukkan bahwa Persyarikatan yang didirikan KH. Ahmad Dahlan tahun 1912 ini begitu terbuka dengan pluralitas aliran dalam Islam.
Muhammadiyah tidak mengikuti suatu mazhab tetapi pada saat yang bersamaan tidak anti dengan pandangan mazhab. Pandangan mereka hanya sebatas pilihan, bukan sebagai keharusan.