Ada ISIS di PAUD? Ini Warning dari Aktivis Gerakan Sosial
Peristiwa pawai karnaval TK dan PAUD di Probolinggo menyita perhatian. Kegiatan memperingati HUT ke-73 Kemerdekaan RI, karena salah satu peserta TK mengenakan jubah dan cadar sambil memegang senjata mainan. Sejumlah warga menjepret dan mem-video kan anak-anak TK bercadar memegang senjata tersebut dan membagikannya ke media sosial.
Apa sesungguhnya yang tengah terjadi dengan hal itu? Aktivis gerakan feminisme dan gerakan sosial di Indonesia, Lies Marcoes Natsir memberikan gambaran menarik dalam catatannya “Merebut Tafsir: Herankah ada ISIS di PAUD?”.
Berikut catatan lengkapnya untuk ngopibareng.id:
Saya, terus terang, tak terkejut melihat unggahan di FB yang menampilkan anak TK memakai gaun hitam/burqa sambil menyandang replika senjata. Saya justru heran pada reaksi orang yang terkejut atas fakta ini. Artinya selama ini banyak yang tak melihat kenyataan tak terkendalinya materi pendidikan dan pengajaran di PAUD (TK, pendidikan luar sekolah dan pendidikan usia dini lainnya).
Tahun 2014, bersama Ary Hasriadi, peneliti dari Ininnawa Makassar, melakukan penelitian tentang partsipasi masyarakat dan peran pemerintah dalam pendidikan TK di provinsi xxx. Kesimpulannya, lembaga pendidikan yang meraih partisipasi masyarakat paling tinggi adalah TK. Namun pada saat yang sama, pendidikan ini pula yang paling tak terkontrol dan tak terawasi oleh negara. Karenanya, mau mengajari apa saja di TK pasti bisa!
Di suatu kabupaten, misalnya, atas nama penerapan syariat dan untuk menjaga anak perempuan dari prilaku buruk, pemerintah lokal mengeluarkan kebijakan anak perempuan segara umur tak boleh menari- pun di tingkat TK! Di suatu sekolah, pengibaran bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya tidak diperbolehkan karena dianggap akan merusak aqidah.
"Kini, sangat sulit ditemukan lembaga pendidkan TK/PAUD di tingkat komunitas yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang netral dari muatan ajaran agama. Lembaga serupa itu mungkin hanya tersedia di kota yang dikelola sebagai lembaga pendidikan semi internasional dengan bahasa pengantar Inggris."
Masalahnya, dari sisi nomenklatur, lembaga pendidikan tingkat TK didefinisikan sebagai lembaga pendidikan yang dikelola warga masyarakat. Karenanya unsur partisipasi masyarakat sangat diutamakan.
Seharusnya besarnya partisipasi warga tak menghilangkan kehadiran negara utamanya dalam kerangka untuk menjaga tujuan umum pendidikan di negeri ini. Namun kenyatannya, kehadiran negara seringkali sangat mnimalis.
Akibatnya siapapun bisa memberi makna apa saja pada pendidikan tingkat dasar itu dan bagaimana cara mewujudkannya.
Hal yang paling umum adalah memenuhi tuntutan orang tua agar anak bisa baca tulis sebelum masuk SD. Orang tua melakukan itu karena banyak SD menggunakan “kemampuan baca tulis” sebagai [arameter seleksi atas nama pembatasan kuota kelas.
Karena mayoritas pendudukan Indonesia beragama Islam, TK dan PAUD diisi oleh anak-anak komunitas Muslim. Dan seperti sebuah aksioma yang wajar dan masuk akal, pendidikan TK pun dijadikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan warga. Karenanya bertebaranlah TKIT- TK Islam terpadu.
Kini, sangat sulit ditemukan lembaga pendidkan TK/PAUD di tingkat komunitas yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang netral dari muatan ajaran agama. Lembaga serupa itu mungkin hanya tersedia di kota yang dikelola sebagai lembaga pendidikan semi internasional dengan bahasa pengantar Inggris.
Di TK yang tersedia di komunitas, anak dijejali beragam hafalan, utamanya hafalan bacaan keagamaan. Tempat di mana seharusnya mereka membangun jutaan jaringan neuron pada jaringan otaknya yang dikembangkan melalui gerak motoriknya justru dimatikan dengan meminta anak duduk dan diam. Mereka dipaksa menghafalkan bacaan dengan target-target tertentu. Hal ini, dalam banyak kasus, juga dilakukan sebagai perpaduan antara agenda lembaga pendidikan tersebut dengan kehendak orang tua.
Ini karena lembaga informal lain yang semula dimaksudkan sebagai lembaga untuk pembelajaran agama yang dikelola masyarakat tak lagi hadir. Perubahan tata kelola hunian yang menjadi kompleks-kompleks perumahan telah menggusur salah satu peran lembaga pendidikan informal yang semula dikelola warga seperti Madrasah atau Sekolah Minggu. Masih untung di sejumlah tempat, mesjid komunitas bisa dimanfaatkan sebagai lembaga pengajian anak-anak (pengganti madrasah), sebab di sejumlah tempat, dengan alasan tak boleh mendirikan rumah ibadah, tak tersedia Sekolah Minggu bagi anak-anak kaum Kristiani setempat.
Sebagai lembaga yang dikelola warga, di sejumlah tempat lembaga TK juga menjadi lembaga bisnis untuk meraup keuntungan. Bukan keuntungan besar-besaran. Di sejumlah tempat TK/PAUD didirikan karena ada subsidi dari dinas pendidikan. Hal yang lebih umum adalah, karena dana ditarik dari warga, maka yang terjadi munculnya perlombaan untuk menjadi TK favorit!
Selain tersedia ragam alat bermain canggih (yang belum tentu kreatif), di TK favorit harus ada komputer, plus kecanggihan guru dalam mem”beo”kan anak-anak dalam menghafal bacaan. Betapa bangga seorang ibu yang anaknya sudah khatam bacaan tertentu melampaui anak usia SD!.
Tak terkontrolnya materi pembelajaran di tingkat TK juga dipengaruhi oleh input pendidiknya. Di sejmlah TK ada yang menyaratkan gurunya memiliki sertifikat mengajar tingkat TK/ PAUD, namun di banyak tempat, gurunya sama skelai tak tahu cara mengajar dan mendidik untuk pendidikan tingkat usia dini. Boro-boro filsafat pendidikannya. Tapi dengan gaji minimal – ada yang Rp 200.000/ bulan, kualitas apa yang diharapkan dari para pendidiknya?
Jadi masih herankah melihat ada yang aneh-eneh keluar dari lembaga pendidikan TK? Termasuk TK yang menampilkan semangat ISIS dalam karnaval 17-annya dan dimaksudkan sebagai meneladani Nabi.? Ini jelas bukan melulu salah gurunya, kitalah yang telah membiarkan TK sebagai pabrik untuk memproduksi monster!
Demikian catatan aktivis gerakan perempuan di Indonesia itu, yang tak lain adalah isteri aktivis LP3ES Ismed Natsir, almarhum. (adi)
Advertisement