Ada Dendam ke Pemkot Surabaya di Balik Film Kartolo
Sambil menghisap rokok filternya, M. Ainun Ridho bercerita tentang motivasinya membuat film dengan tokoh Kartolo. Ainun Ridho adalah sutradara sekaligus produser film Kartolo Numpak Terang Bulan. Film Kartolo Numpak Terang Bulan, akan segera tayang di jaringan bioskop nasional mulai 14 Maret mendatang.
Ngefans Kartolo
"Saya ini sejak kecil memang ngefans dengan Cak Kartolo," kata Ridho, arek Suroboyo yang dulu tinggal di Tembok Sayuran, Surabaya.
Saking nge-fansnya, dia bahkan hampir setiap hari terlambat masuk sekolah. Penyebabnya, dia lebih rela terlambat masuk sekolah daripada kelewatan mendengarkan ludruk Kartolo di radio. Sampai di sekolah, dia kemudian 'tarung' dengan temannya sesama pecinta Kartolo soal ludrukan di radio tadi.
Dendam ke Pemkot Surabaya
Tak heran, jika kemudian Kartolo menjadi spesial bagi Ridho. Baginya Cak Kartolo adalah legenda hidup yang harusnya diberi apresiasi. Sayangnya, apresiasi itu dianggapnya tak pernah ada. Terutama apresiasi dari Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Apresiasi yang dibayangkan oleh Ridho bukan hanya soal seremoni dengan memberikan piagam penghargaan. Tapi sebuah pentas yang megah dan rutin untuk Cak Kartolo dan kawan-kawan. Sekaligus untuk menghidupkan kesenian ludruk.
"Tapi itu tak pernah ada. Makanya untuk mengapresiasi Cak Kartolo itu, saya buatkan filmnya. Uangnya, saya ambilkan dari kocek pribadi," ujar Ridho, pria jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini saat berkunjung ke Ngopibareng.id
Kocek Pribadi
Soal uang ini, kata dia memang tak bisa diduga. Banyak orang yang mengeluarkan uang miliaran sekedar untuk menyalurkan hobinya. Misalnya saja, hobi motor gede alias moge Harley Davidson. Namun, Ridho tak memilih itu. Dia lebih memilih membuat film dengan dana miliaran sebagai penyaluran hobinya. Apakah modal miliaran itu akan menghasilkan untung atau minimal kembali modal? Atau malah rugi? Ridho sudah siap apa pun risikonya.
Kata Ridho, industri film itu memang industri dengan margin error yang 'tebal'. Kadang juga malah unpredictable alias tak bisa diprediksi. Dia mencontohkan film Joker. Pengamat film menyebut jika film Joker tak bakal laku di pasar. Kenyataannya malah sebaliknya, film Joker meledak luar biasa.
"Saya juga termasuk orang yang percaya jika pasar itu sebenarnya bisa dibentuk. Makanya, saya berusaha untuk rutin memproduksi film untuk membentuk pasar itu," ujar pria yang sudah 30 tahun makan garam di bidang industri film ini.
Kuliah ke Jakarta
Selain ngefans Kartolo, sejak muda Ridho memang sudah aktif di teater. Saat masuk di SMA Negeri 2 Surabaya, dia masuk dalam grup teater. Padahal saat itu, SMA Negeri 2 terkenal dengan grup band musiknya. Dia seangkatan dengan Piyu Padi. Meski terkenal dengan grup musiknya, Ridho tetap memilih grup teater.
"Entah sekarang teaternya SMA 2 masih ada atau tidak," katanya.
Diramal Guru
Karena keseringan terlambat itu, suatu saat gurunya memperingatkan Ridho. "Kamu gak bakalan bisa masuk Unair (Universitas Airlangga) atau ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya)," kata Ridho menirukan guru tersebut. Padahal, dalam hati Ridho dia memang tak pernah bercita-cita masuk Unair atau ITS. Ridho inginnya berkuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Benar saja, setelah lulus Ridho daftar di IKJ. Meski sejak awal suka teater, dia tak memilih jurusan teater melainkan jurusan film. "Kalau masuk teater lagi tak ada tantangannya," ujarnya.
Modal BPKB Motor
Ridho kemudian berkuliah di IKJ. Ridho ingat betul, saat itu dengan modal BPKB Suzuki RC yang dia jual seharga Rp 1,25 juta. Uang sebesar itu dianggap sangat berarti sekali. Pasalnya sejak kecil Ridho sudah tak punya bapak.
Ridho pun kemudian berangkat ke Jakarta sekitar tahun 90an. Uang hasil menjual motor itu ia gunakan untuk mendaftar IKJ, Besarnya sebesar Rp1,15 juta. Lalu bagaimana dia bisa hidup dengan uang yang tersisa?
"Ah gampang, hidup di Taman Ismail Marzuki," katanya mengingat masa lalu.
Bikin Production House
Setelah lulus, Ridho kemudian meniti karier di Jakarta. Dia mendirikan rumah produksi (production house/PH). Rumah produksi milik Ridho ini menjadi langganan klien perusahaan multinasional. Banyak iklan produk dari perusahaan multinasional adalah garapan dari PH milik Ridho. Dia bekerjasama dengan perusahaan multinasional dalam jangka waktu yang lama. Padahal untuk bisa bertahan lama bekerja sama itu susah. Tapi kenyataannya Ridho bisa.
Selain bikin film untuk iklan produk perusahaan multinasional, Ridho juga bikin film untuk layar lebar. Sudah banyak film layar lebar yang dia produksi. Salah satunya adalah film Suroboyoan dengan judul Jack. Film Jack ini beredar pada 2019 lalu. Film ini sangat mengangkat Surabaya.
Film ini bercerita tentang seorang pria Arab bernama Zacky alias Jack yang tidak lulus-lulus kuliah karena tidak cocok dengan jurusan yang diambilnya. Jack tinggal di daerah Ampel Surabaya. Lalu, Jack bertemu dengan wanita Chinese bernama Meyling yang tinggal di sekitar Pasar Besar Surabaya. Mereka berpacaran.
Film ini mengambil setting lokasi di beberapa kawasan Surabaya. Tempat-tempat ikonik seperti Kawasan Religi Sunan Ampel, Jalan Tunjungan, hingga Kya-Kya yang berada di Jalan Kembang Jepun. Jadi, film Kartolo Numpak Terang Bulan ini adalah film kedua Ridho yang mengangkat Surabaya.
Kembali ke Surabaya
Sukses bikin film Jack, Ridho kini kembali lagi Surabaya dengan film Kartolo Numpak Terang Bulan. Sebenarnya tak sepenuhnya kembali sekarang, karena syuting film ini dimulai usai pandemi COVID-19, tapi penayangan yang harus mundur 2,5 tahun. Penyebabnya?
"Karena setelah pandemi sistem antre di bioskop menjadi berbeda dan harus menunggu," kata Ridho.
Selain kembali dengan filmnya, Ridho juga ingin kembalinya ke Surabaya ini bisa menumbuhkan iklim perfilman di Kota Pahlawan ini. Ridho sangat menyayangkan iklim perfilman di Surabaya kurang tumbuh. Padahal Surabaya adalah kota kedua di Indonesia dengan gedung bioskop paling banyak setelah Jakarta. Baginya, ini peluang bagi arek Suroboyo untuk bikin film dan tayang di bioskop.
"Butuh campur tangan Pemerintah Kota Surabaya untuk menghidupkan iklim perfilman di Surabaya," pungkasnya.