Ada Apa dengan Panglima Gatot?
Berita ditolaknya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bertandang ke Amerika Serikat sangat mengejutkan jagat perpolitikan di dalam negeri maupun manca negara. Sebagai bangsa yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, tentu saja heboh ketika Panglima Tentara Nasional-nya diperlakukan bak seorang teroris. Yang membuat masyarakat terhenyak kaget dan marah dipicu oleh cara pemerintah Amerika mempermalukan Panglima TNI dengan sangat demonstratif. Ditolak berangkat oleh petugas bandara atas arahan kantor Imigrasi Amerika, pada saat Panglima TNI kita sudah berada di bandara bersiap untuk boarding.
Ada apa ini? Ada apa dengan Amerika? Padahal selama ini--terlebih sejak pemerintah Orde Baru berkuasa, Amerika selalu bersikap sangat mesra terhadap Indonesia. Peristiwa larangan terhadap Panglima TNI bertandang ke Amerika, seakan memberi sinyal politik yang menebar kesan sangat tidak bersahabat. Apakah ini bagian dari ‘jurus mabok’ Presiden Trump yang alergi terhadap sesuatu yang berbau Islam fundamental?
Mungkin saja bisa terjadi, karena terlanjur pernah ada berkas laporan di kantor pusat CIA tentang Jenderal Gatot dan manuver politiknya di penghujung 2016. Nama Gatot saat itu memang cukup erat dikaitkan dengan para tokoh yang dicitrakan sebagai Islam garis keras penggerak demo 411 dan 212. Hubungan mesra Jenderal Gatot dengan para tokoh seperti Habib Rizieq dkk hampir setiap hari menghiasi pemberitaan di berbagai media massa maupun sosial media saat itu.
Mungkinkah pelarangan terhadap Gatot yang di- ’persona non grata’-kan ini terjadi karena kesalahan teknis semata? Sulit dipercaya negara secanggih Amerika berikut kelengkapan teknologinya, melakukan hal itu. Yang lebih pas, dalam suasana kebatinan pemerintahan Trump (Trump administration) yang sangat anti Islam garis keras, bisa jadi laporan CIA yang tidak akurat itu dimakan mentah-mentah dan dijadikan arahan politiknya terhadap Indonesia.
Berpikir secara konspiratif, Amerika bisa jadi hanya ingin mengirim pesan: Hati-hati Gatot ini seorang pendukung Islam fundamentalis yang berpotensi menjadi ekstremis!
Tapi itu pun aneh. Biasanya, para jenderal yang lantang bertindak dan bersuara keras anti PKI dan komunisme, selalu menjadi ‘darling’nya pemerintah Amerika. Lewat gagasan nobar film G30S PKI, kurang apa Gatot menyuarakan sikapnya yang anti PKI dan komunisme? Nah, dengan adanya kebijakan politik yang paradoks ini, jangan-jangan Amerika mulai turut bermain mengolah gelombang politik jelang hajatan Pemilu Pilpres 2019??!
Tentunya para desainer politik sangat faham bahwa apa yang dilakukan SBY--sebagai figur yang didzolimi jelang Pemilu 2009, pernah sangat sukses meraih simpatik rakyat. Suasana histeria nasionalisme dalam kehidupan bangsa kita seperti sekarang, memunculkan figur yang didzolimi oleh Amerika--yang dalam benak kelompok Islam fundamentalis maupun ekstrem kiri adalah negara biangnya kapitalis dan biangnya provokator, tentu saja akan memancing emosi rakyat kebanyakan untuk langsung memberi dukungan dan simpatik kepada Gatot. Nama Gatot bukan jadi terpuruk, namun malah melambung.
Bisa jadi dimainkannya kartu itu karena Amerika tak begitu happy melihat kemesraan Jokowi dengan Beijing. Melakukan pendzoliman terhadap Gatot dilakukan dengan penuh perhitungan. Toh Amerika sangat yakin bahwa Jokowi bukan Jong Un yang nekad dan punya senjata pemusnah massal sangat menakutkan. Sekali permintaan maaf didatangkan dari pemerintah Amerika, Jokowi kembali akan tersenyum damai dan semua kembali normal, bussines as usual, seakan tak pernah ada apa-apa. Tapi yang pasti tetap ada, adalah simpatik rakyat terhadap Gatot yang terdzolimi sudah terjadi dan mudah untuk dikembangkan.
Tapi celakanya bila pesan Mr Trump itu justru memang serius dirancang untuk memperingatkan adanya ancaman bahaya ekstremis-teroris yang sengaja dilekatkan pada figur seorang Gatot Nurmantyo.
Kalau tidak, mengapa dong dicekal?
Am I right, Mr. Trump?!
**Erros Djarot - Dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com
Advertisement