Ada Apa dengan Deddy Mizwar dan Jokowi?
PRESIDEN Jokowi punya tawaran menarik untuk Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar. Jokowi akan mencarikan Deddy partai pengusung untuk Pilkada 2018. "Sudah ada partai belum?" tanya Jokowi ketika bertemu Deddy di Tasikmalaya dua pekan lalu.
Ketika Deddy menjawab belum ada komitmen dari partai dan baru sebatas komunikasi, Jokowi dengan sigap menjawab. "Mau saya carikan gak,“ ujarnya.
Pertanyaan Jokowi dijawab oleh Deddy “terserah Bapak.. ha…ha...ha ... Saya kan berkomunikasi dengan siapa saja.”
Walaupun hanya bercanda, tapi ucapan seorang presiden tidak bisa dianggap enteng. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah "guyon-guyon parikeno." Bercanda, tapi serius.
Kendaraan politik atau sering juga disebut sebagai perahu politik adalah masalah krusial dan kritikal bagi seorang kandidat yang ingin berlaga. Apalagi bagi seorang kandidat non partai seperti Deddy.
Maju mundurnya seorang kandidat sangat ditentukan oleh tersedia tidaknya kendaraan politik. Dalam hal ini posisi parpol menjadi sangat penting.
Karena itu tawaran Jokowi kepada Deddy adalah sebuah langkah politik serius, sebagai tahap awal/penjajakan sebuah proses akuisisi politik, pengambilalihan kandidat potensial dari kubu lawan.
Akuisisi atau dalam dunia bisnis dikenal sebagai _take over_ adalah tahap kedua dari tiga skenario besar Jokowi untuk menundukkan Jabar. (Baca :Blusukan Jokowi dan tiga skenario Pilkada Jabar).
Langkah pertama menyiapkan proxy dalam hal ini adalah para kandidat cagub/cawagub yang didukung partai pendukung pemerintah.
Pilihannya bisa Walikota Bandung Ridwan Kamil (Nasdem), Walikota Purwakarta Dedi Mulyadi (Golkar) atau calon lain yang didukung PDIP, Hanura, PKB, PPP dan PAN. Jokowi bisa memilih satu dari kandidat tersebut.
Langkah kedua Jokowi melakukan akuisisi kandidat potensial dari partai oposisi. Tawaran kepada Deddy Mizwar adalah salah satu bentuknya.
Deddy Mizwar dan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan pada Pilpres lalu tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengusung Prabowo-Hatta, rival Jokowi-JK. Deddy bahkan tampil dalam beberapa iklan yang meng-endorse pasangan Prabowo-Hatta.
Jadi bila Jokowi berhasil menarik keluar Deddy Mizwar dari kubu KMP yang tersisa (Gerindra-PKS), maka itu akan merupakan sebuah keberhasilan akuisisi politik politik yang dahsyat, sekaligus pukulan telak bagi kubu lawan.
Apabila gagal men-take over Deddy Mizwar, Jokowi masih punya jurus ketiga, yakni memperbanyak kandidat dari kalangan lawan khususnya pemilih muslim. Strategi ini disebut sebagai “membuat becek lapangan.”
Semakin banyak kandidat dari kubu penentang Jokowi, maka peluang kandidat yang didukung oleh Jokowi untuk menang semakin besar.
Publikasi survei belakangan ini bisa dilihat sebagai bagian dari strategi membuat becek lapangan.
Semakin banyak kandidat yang diunggulkan dari sisi popularitas dan elektabilitas, maka potensi public figure, politisi, kalangan alim ulama untuk tergoda bersaing dalam Pilkada Jabar, akan semakin besar pula. Airnya dibuat keruh dan ikannya tinggal dicomoti.
Bagi mereka yang syahwat kuasanya mulai tergoda, tahap berikutnya tinggal menyediakan partai politik pengusung.
Dalam barisan koalisi partai pendukung pemerintah stok kursinya saat ini cukup banyak. Syarat kecukupan sebanyak 20 kursi, bukan hal yang sulit bagi pemerintah. Di DPRD Jabar, partai pendukung pemerintah menguasai 65 kursi, atau cukup untuk tiket tiga pasang kandidat. PDIP memiliki jumlah terbanyak 20 kursi.
Bila jumlah kursi telah terbagi habis, sementara masih ada kandidat dari lawan yang tergoda, maka masih ada jalur lain yang bisa ditempuh, yakni jalur independen.
Dengan berbagai sumber daya secara politik dan finansial, menyediakan tiket pencalonan melalui jalur independan agaknya tidak akan terlalu sulit bagi seorang presiden. Prinsipnya, makin banyak calon, makin baik. Pada Pilkada Jabar 2014 ada lima pasang calon.
Berpengalaman melakukan akuisisi
Dalam soal akuisisi politik Jokowi cukup berpengalaman. Berbagai aksi take over politiknya menunjukkan keberhasilan yang tinggi. Ada diantaranya yang dalam dunia bisnis mempunyai ciri-ciri yang disebut sebagai hostile take over.
Masih ingat ketika Jokowi harus memerintah dengan menghadapi oposisi di parlemen yang dikuasai KMP.
Dalam barisan KMP terdapat Partai Gerindra, PKS, Golkar, PAN dan PPP Kubu Djan Faridz. Selain itu meski tidak secara resmi bergabung di KMP, Demokrat juga berada dalam kubu oposisi. Semua posisi pimpinan DPR habis diduduki oleh KMP. PDIP sebagai partai pemenang pemilu secara tragis tidak mendapat jatah kursi.
Tidak memerlukan waktu yang cukup lama, Jokowi segera berhasil memporak porandakan KMP. Yang pertama kali digerilya adalah Golkar.
Jokowi dengan jeli memahami bahwa Golkar adalah partai yang tidak punya “pengalaman” menjadi oposisi. Sepanjang sejarahnya Golkar selalu berada dalam kekuasaan.
Berbagai manuver dilakukan, Golkar berhasil dipecah belah melalui kepengurusan kembar.
Aburizal Bakrie sebagai salah satu pentolan KMP berhasil disingkirkan dari posisinya sebagai ketua umum dan sebagai gantinya Setya Novanto didudukkan menjadi ketum Golkar. Segera setelah itu Golkar bersicepat bergabung dengan kubu pemerintahan Jokowi.
Setya Novanto yang belakangan mendapat panggilan baru sebagai Gus Nov --karena telah resmi menjadi anggota NU-- menjadikan Golkar sebagai partai yang pertama kali mendeklarsikan diri sebagai pengusung Jokowi pada Pilpres 2019.
PPP mendapat giliran berikutnya. Sejak Ketua Umum PPP Surya Dharma Ali ditetapkan sebagai tersangka korupsi, PPP terpecah dalam dua kubu, yakni kubu Djan Faridz dan kubu Romahurmuzy (Romy).
Dengan kepengurusan kembar tersebut, PPP terbagi dua. Separuh mendukung KMP (Djan Faridz) dan separuhnya lagi mendukung pemerintah (Romy).
Melalui pertempuran politik dan hukum yang melelahkan akhirnya Djan Faridz bertekuk lutut dan memutuskan bergabung sebagai partai pendukung kubu pemerintah.
Perubahan haluan politik Djan Faridz menjadi pendukung pemerintah merupakan strateginya untuk memenangkan pertarungan melawan Romy.
Djan sangat memahami bila tetap berada dalam kubu oposisi, maka akan sulit memenangkan pertarungan. Legalitas sebuah partai sangat tergantung dari Depkumham yang berada di bawah kontrol pemerintah (PDIP).
Akuisisi, atau lebih tepatnya penyerahan diri berikutnya dilakukan oleh PAN. Di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan, PAN memutuskan meninggalkan KMP dan bergabung ke dalam partai pendukung pemerintah.
Sebagai imbalan PAN mendapat jatah posisi Menpan dan Reformasi Birokrasi. Ketua Majelis Pertimbangan PAN Sutrisno Bachir yang sejak awal pendukung Jokowi sebelumnya telah ditunjuk menjadi Ketua Komisi Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN).
Kegamangan PKS
Melihat track record politik pemerintahan Jokowi, maka akusisi adalah sebuah jurus yang biasa dimainkan untuk melanggengkan dan menstabilkan pemerintahan.
Secara nasional Jokowi telah berhasil dengan sepenuhnya menguasai eksekutif dan legislatif. Posisi pemerintahannya sangat kuat.
Pilkada Jabar 2018 menjadi pertempuran antara Jokowi, untuk memenangkan perang sesungguhnya pada Pilpres 2019.
Dari lima provinsi di Jawa, Jokowi hanya kalah di Jabar. Karena itu sangat wajar bila dia _all out_ untuk memenangkan Pilpres di Jabar sebagai kantong pemilih Islam sekaligus kantong pemilih terbesar di Indonesia.
“Bocoran” pembicaraan antara Jokowi dan Deddy Mizwar di Tasikmalaya, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, sebagai bukti nyata bahwa Jokowi mulai menjalankan skenario kedua untuk memenangkan pertempuran di Jabar. Kedua, signal dari Deddy kepada calon partai pengusungnya agar segera memutuskan dukungan kepadanya.
Bila situasinya mendesak, maka prinsip dalam "jual beli" siapa cepat, dia akan mendapat, bisa saja berlaku. Kabar baiknya, melihat perjalanan hidupnya, Deddy bukan tipe politisi seperti itu.
Sejauh ini baru Gerindra Jabar yang menyatakan akan mendukung Deddy. Sementara dari DPP Gerindra belum ada keputusan resmi.
Sementara dari PKS yang menjadi mitra koalisi permanen Gerindra masih belum ada pernyataan yang jelas. PKS agaknya masih melakukan kalkulasi politik utamanya berkaitan dengan akomodasi kadernya sebagai kandidat.
Belajar dari Pilkada DKI, kendati memenangkan kontestasi, namun PKS tidak kebagian jatah posisi apapun. Anies adalah calon eksternal, sementara Sandi adalah kader Gerindra.
Bila PKS sepakat mendukung Deddy bersama Gerindra, maka setidaknya pasangan Deddy haruslah berasal dari kader PKS.
Kepercayaan diri dan ekspektasi politik PKS yang tinggi sangat wajar. Selama dua periode Gubernur jabar dijabat oleh kader PKS Ahmad Heryawan. Tentu mereka berharap ada kesinambungan kekuasaan dengan tampilnya kembali kader mereka sebagai kandidat gubernur atau setidaknya wakil gubernur.
Kegamangan politik PKS ini yang tampaknya diamati secara jeli oleh Jokowi sebagai sebuah peluang. Mengapa tidak dicoba?
Bila berhasil melakukan akuisisi politik terhadap Deddy Mizwar, maka langkah politik Jokowi ibarat pepatah “ Sekali dayung, dua pulau terlampaui." Memenangkan Pilkada Jabar 2018, sekaligus memenangkan kembali kursi kepresidenan pada Pilpres 2019. end