Ada Apa dengan Amerika? (2)
Oleh: Andi Mallarangeng
Lebih dari seminggu telah lewat, drama pilpres Amerika belum juga usai. Walaupun kemenangan Biden telah jelas, dan para pemimpin dunia pun telah memberi selamat, tetapi Presiden Trump tetap belum mau mengakui kekalahannya. Sounds familiar?
Baru kali ini kandidat yang kalah di Amerika bersikap seperti ini. Bahkan ketika popular vote yang diraih oleh Biden 5 juta lebih besar. Ketika Hillary Clinton kalah, walaupun unggul lebih dari 2 juta popular votes, dia langsung memberi selamat kepada Trump. Begitu pula kandidat Partai Republik, John McCain, kepada Obama.
Beberapa pertanyaan dari beberapa kawan adalah sebagai berikut:
Apakah upaya hukum Trump menggugat hasil pemilu bisa mengubah pemenang pilpres?
Presiden Trump memang sedang melakukan upaya hukum, menggugat hasil pemilu di beberapa negara bagian seperti Georgia, Pennsylvania, Arizona dsb. Gugatan itu harus dilakukan per negara bagian, karena begitulah konsekuensi negara federal.
Dengan begitu, Trump harus membuktikan bahwa terjadi kecurangan yang merugikan dirinya yang bisa mengubah hasil pemilu, negara bagian per negara bagian. Mengingat birokrasi penyelenggaraan pemilu Amerika yang sangat ketat dan akurat, by name by address, agak sulit kemungkinan ada perubahan yang signifikan.
Yang disasar oleh Trump sebenarnya adalah meminta pengadilan untuk membatalkan penghitungan suara lewat pos, yang didominasi oleh pendukung Biden. Tapi memilih melalui pos memang dibolehkan di Amerika. Dan Trump tidak bisa membatalkannya, karena itu bukan kewenangan Presiden. Lagi pula, Trump menang di Alaska karena suara lewat pos, yang tentu saja tidak digugatnya.
Memang di Georgia akan dilaksanakan perhitungan ulang, karena perbedaan hasil pemilu kurang dari setengah persen. Itu sudah merupakan aturan, digugat atau tidak. Dan kalau pun Trump memenangkan Georgia, walau kecil sekali kemungkinannya, itu pun tidak akan mempengaruhi hasil pemilu. Dengan kemenangan di Pennsylvania, Arizona, dan Nevada, Biden tetap mampu mencapai 270 electoral college tanpa Georgia.
Apakah ada kemungkinan Presiden Trump tetap tidak mengakui hasil pemilu dan menyatakan tidak bersedia meninggalkan Gedung Putih?
Tidak mungkin. Bulan Desember para elector yang terpilih dari ke 50 negara bagian akan bersidang untuk menegaskan pemenang pilpres. Jumlah electors dari Biden sudah melewati angka 270. Dengan demikian, Biden akan ditetapkan sebagai Presiden Amerika Serikat ke 46. Pelantikan Presiden akan dilakukan pada tanggal 20 Januari 2021.
Begitu presiden dan wakil presiden yang baru dilantik, pada saat itu Presiden baru berhak bertempat tinggal di Gedung Putih. Siapa pun yang tidak berhak untuk berada di Gedung Putih saat itu akan diusir oleh Secret Service (Paspampres-nya AS) yang bertugas mengamankan presiden AS.
Mengapa Amerika tetap mempertahankan sistem pemilu electoral college yang rumit seperti ini?
Ini memang hasil dari kesepakatan sejarah Amerika yang berbentuk negara federal. Pemilu adalah kewenangan negara bagian, bukan pemerintah pusat. Dan sistem electoral college ini menguntungkan negara bagian yang kecil dan menengah, karena suara mereka "diperhatikan" dan "diperebutkan' oleh para kandidat. Sebaliknya, sistem popular votes hanya akan menguntungkan negara bagian yang besar seperti California, New York, Texas dsb.
Di Senat AS, setiap negara bagian mempunyai jumlah senator yang sama, yaitu dua senator, besar maupun kecil. Walhasil, sampai sekarang electoral college tidak pernah bisa berubah, walaupun sudah dibeberkan begitu banyak kelemahannya. Makanya, Amerika adalah satu-satunya negara di dunia yang menggunakan sistem electoral college ini.
Apakah terpilihnya Biden lebih menguntungkan Indonesia?
Tergantung bagaimana melihatnya. Tapi saya beranggapan positif. Kenapa? Jawabannya agak panjang, dan itu perlu satu artikel tersendiri.
Kalau soal Menteri Pertahanan? Sampai sekarang belum ada kabar lagi tentang hal itu.*
* Andi Mallarangeng, doktor bidang ilmu politik lulusan Northern Illinois University.