Ada Ajag di Gunung Bromo, Wisatawan Dilarang Mengganggu
Selain elang Jawa, lutung Jawa, dan macan tutul, kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) juga menjadi habitat bagi anjing hutan (ajag). Anjing dengan nama Latin cuon alpinus itu ditemukan jejak-jejak kakinya di kawasan Gunung Bromo oleh pemandu wisata, Jumat, 2 September 2022.
“Saya menemukan jejak-jejak ajag di dekat bibir kawah Gunung Bromo saat mendampingi wisatawan Jumat pagi. Dilihat dari jejaknya, ada dua ajag, satu besar satunya lagi kecil,” ujar Cornellius Onggat Gipze, pemandu wisata.
Cornellius mengatakan, mendapat informasi, pada tahun 1990-an, ajag banyak dijumpai di kawasan laut pasir (kaldera) Gunung Bromo. Mereka biasanya mencari makan dengan berkelompok, delapan sampai 12 ekor. “Namun setelah banyak jip wisata keluar-masuk lautan pasir Bromo, ajag sangat jarang terlihat,” katanya.
Diperkirakan satwa yang oleh masyarakat Jawa disebut “asu kikik” karena berbunyi kik, kik, kik,.... itu menjauh dari lautan pasir untuk bersembunyi di hutan di lereng Semeru.
Cornellius meminta, dengan temuan jejak ajag itu agar pihak TNBTS memperhatikan kelestarian hewan langka tersebut. “Harus dilindungi karena termasuk hewan endemik di Gunung Bromo,” katanya.
Kepala Sub Bagian Data, Evaluasi, dan Humas BBTNBTS, Syarif Hidayat mengatakan, ajag memang sudah lama berhabibat di kawasan TNBTS. Sejumlah warga dan wisatawan pernah melaporkan keberadaan anjing hutan tersebut. “Memang ajag ada di TNBTS, tetapi yang selama ini sudah kami pantau populasainya baru, elang jawa, lutung jawa, dan macan tutul,” katanya.
Syarif pun mengimbau, warga atau wisatawan yang menjumpai ajag sebaiknya tidak mengganggunya. “Biarkan ajag hidup lestari di kawasan TNBTS,” kata Syarif.
Mirip Serigala
Anjing ajag sekilas memang wujudnya mirip serigala, padahal keduanya berbeda. Ajag berasal dari spesies Cuon alpinus, yang di Indonesia ada dua jenis, Cuon alpinus javanicus (anjing hutan Jawa) dan cuon alpinus sumatrensis (anjing hutan Sumatera).
Sejauh ini, penelitian tentang ajag di Indonesia masih terbatas. Belum ada data pasti mengenai populasinya di Sumatera dan Jawa. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, anjing ajag merupakan jenis satwa dilindungi.
Anjing yang hidup di hutan belantara hingga wilayah pegunungan itu perawakannya sedang, berwarna cokelat kemerahan. Bagian bawah dagu, leher, hingga ujung perutnya putih, sedangkan ekornya panjang dan berbulu tebal kehitaman.
Secara luas Cuon alpinus, mengutip Greeners, tersebar di kawasan Asia mulai dari Bangladesh, Bhutan, Kamboja, China, India, Indonesia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Nepal, Russia, Tajikistan, Thailand, dan Vietnam.
Ajag memiliki lolongan keras dan jelas. Biasanya hidup berkelompok dalam lima hingga 12 ekor, tergantung lingkungannya. Dalam kondisi tertentu, ia dapat hidup soliter (sendiri). Jenis ini merupakan pemburu yang menyukai kelinci, kancil, babi hutan, kijang, dan rusa.
Keberadaan ajag di Jawa diketahui berada di Taman Nasional Alas Purwo, Baluran, Gede Pangrango, Halimun Salak, dan Ujung Kulon. Di Sumatera kehadirannya terdeteksi di di Taman Nasional Gunung Leuser dan Kerinci Seblat.
Dan tentu saja, ajag hidup di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dengan indikasi ditemukannya jejak-jejak kakinya di lautan pasir Bromo.
Uni Internasional untuk Konservasi Alam (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources/IUCN) menetapkan, status ajag pada kategori genting (Endangered/En] atau dua langkah menuju kepunahan di alam liar.
Populasi ajag dewasa pada habitat alami di seluruh dunia, berdasarkan IUCN, diperkirakan tidak lebih dari 2.200 ekor, dan diprediksi menurun. Satu hal penyebab menurunnya populasi ajag adalah adanya anggapan masyarakat bahwa jenis ini merupakan satwa yang merugikan, sehingga dijadikan satwa buruan untuk dimusnahkan. Selain itu, kerusakan habitat satwa mangsa juga memberi pengaruh terhadap berkurangnya populasi hewan ini.