Ada 7 Poin Perubahan pada RUU Omnibus Law, Apa Saja?
Ada tujuh poin terkait perubahan UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang ada dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).
Staf Ahli Kementerian Koordinator Perekonomian yang mewakili Pemerintah, Elen Setiadi menjelaskan tentang tujuh poin tersebut:
Poin pertama; mengenai program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan sangat diperlukan pada saat pandemi COVID-19.
"Substasi pokok yang kami usulkan adalah program jaminan kehilangan pekerjaan, yang belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dan ini harus dilaksanakan dengan cepat," kata Elen dalam Rapat Panitia Kerja RUU Ciptaker, di Jakarta, Sabtu.
Dia menjelaskan, program itu dibutuhkan karena akan memberikan manfaat bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) seperti pemberian upah setiap bulan tergantung kesepakatan yang ditanggung dalam program tersebut, pelatihan peningkatan kapasitas sesuai pasar kerja, dan kemudahan mendapatkan pekerjaan baru.
Menurut dia, pekerja yang mendapatkan JKP tetap akan mendapatkan lima jaminan sosial lainnya yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian, dan Jaminan Kesehatan Nasional.
Poin kedua; mengenai waktu kerja, di UU Ketenagakerjaan hanya diatur bahwa waktu kerja adalah untuk 6 hari kerja adalah 7 jam/hari atau 40 jam/pekan, dan untuk 5 hari kerja adalah 8 jam/hari atau 40 jam/pekan.
"Dalam perubahan di RUU Ciptaker, selain waktu kerja yang umum (paling lama 8 jam/hari dan 40 jam/minggu), diatur juga waktu kerja untuk pekerjaan yang khusus, yang waktunya dapat kurang dari 8 jam/hari (pekerjaan paruh waktu eko digital) atau pekerjaan yang melebihi 8 jam/hari seperti migas, pertambangan, perkebunan, pertanian, dan perikanan," ujarnya.
Poin ketiga; mengenai Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), dalam UU 13/2003 sifatnya wajib bagi semua TKA, menghambat masuknya TKA Ahli yang diperlukan dalam keadaan mendesak, dan menyebabkan terhambatnya masuknya calon investor ke Indonesia.
Dia menjelaskan, dalam RUU Ciptaker, kemudahan pemberian RPTKA diatur hanya untuk TKA Ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu seperti kondisi darurat, vokasi, peneliti, dan investor.
Poin keempat: mengenai Pekerja Kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), di UU Ketenagakerjaan belum diberikan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap.
"Ke depan kami ingin melakukan perubahan karena perkembangan teknologi digital khususnya industri 4.0 menimbulkan jenis pekerjaan baru yang bersifat tidak tetap dan membutuhkan PKWT. Kami ingin pekerja kontrak diberikan hak dan perlindungan sama dengan pekerja tetap seperti upah jaminan sosial, perlindungan K3 termasuk kompensasi hubungan kerja," katanya.
Poin kelima: mengenai pekerja alih daya atau "outsourcing", di UU 13/2003 hanya dibatasi untuk jenis kegiatan tertentu, dan belum ada penegasan atas kesamaan jaminan hak dan perlindungan bagi pekerja alih daya.
Elen menjelaskan dalam RUU Ciptaker, alih daya merupakan bentuk hubungan bisnis sehingga pengusaha alih daya wajib memberikan hak dan perlindungan yang sama bagi pekerjanya, baik sebagai pekerja kontrak maupun pekerja tetap yaitu dalam hal hak upah, jaminan sosial, dan perlindungan K3.
Poin keenam; mengenai upah minimum (UM), di UU Ketenagakerjaan dapat ditangguhkan sehingga banyak pekerja dapat menerima upah di bawah upah minimum, peraturan UM tidak dapat diterapkan pada usaha kecil dan mikro, kenaikannya menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional, dan adanya kesenjangan nilai UM di beberapa daerah.
"Dalam RUU Ciptaker, UM tidak dapat ditangguhkan, kenaikannya menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas, basis UM pada tingkat provinsi dan dapat ditetapkan UM pada kabupaten/kota dengan syarat tertentu, dan upah untuk UMKM tersendiri," ujarnya.
Poin ketujuh; mengenai pesangon PHK, di UU 13/2003, pemberiannya sebanyak 32 kali upah dan dinilai sangat memberatkan pelaku usaha, dan mengurangi minat investor untuk berinvestasi.
Dia menjelaskan, di RUU Ciptaker diatur terkait penyesuaian perhitungan besaran pesangon PHK dan menambahkan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Elen mengatakan terkait sanksi pidana, pemerintah sepakat untuk kembali kepada UU Ketenagakerjaan sehingga tidak perlu dibahas di RUU Ciptaker. Dia juga menegaskan pemerintah akan mengikuti sejumlah Putusan MK atas berbagai pasal dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Putusan MK itu antara lain tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), upah, pesangon, hubungan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK), penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan jaminan sosial.(ant/asm)