Aceh Jelek di Pikiran Indah di Kenyataan
"Satu nusa satu bangsa, satu bahasa kita. Tanah air pasti jaya untuk selama-lamanya. Indonesia pusaka, Indonesia tercinta. Nusa bangsa, dan Bahasa kita bela bersama,” Itulah sepenggal lirik lagu Satu Nusa Satu Bangsa yang diciptakan oleh Liberty Manik.
Lagu menjelaskan tentang ikrar sumpah pemuda akan tetap satu bangsa di tengah keberagaman suku, budaya dan agama.
Apalagi Indonesia dengan wilayah yang luas terbentang dari Sabang sampai Merauke yang memiliki ribuan adat budaya.
Tak Semenyeramkan Itu
Mendengar Aceh, kebanyakan orang langsung terlintas pikiran tentang intoleransi. Pasalnya, Aceh begitu kuat memegang teguh syariat Islam. Ini menjadi pertanyaan dan rasa penasaran bagi masyarakat non muslim.
Bahkan, di Aceh memiliki polisi syariat bernama Wilayatul Hisbah yang dikenal lebih kejam. Karena setiap pelanggar akan dihukum sesuai syariat islam. Paling banyak ketahuan berhubungan badan padahal bukan muhrim akan dihukum cambuk dihadapan banyak orang.
Saking hebohnya, banyak perempuan yang kemudian menggunakan hijab untuk menghargai adat dan budaya yang dijunjung itu.
Bahkan, PB PELTI pun sampai mengeluarkan surat imbauan kepada atlet dan official yang akan datang untuk untuk menghormati budaya yang ada. Khususnya, bagi perempuan harus memakai pakaian dan celana panjang.
“Kalau cuaca biasa kami pakai pakaian tidak panjang karena panas kalau pakai panjang-panjang. Tapi kami latihan pakai pakaian panjang jadi sudah okelah dan sudah terbiasa,” ungkap Petenis Putri Jatim, Beatrice Gumulya.
Namun demikian, saat tinggal di Aceh beberapa saat rasanya terlalu berlebihan jika berpikir negatif. Nyatanya, Aceh tidak seheboh pikiran jelek itu.
Memang benar adat dan budaya islam begitu kuat, namun orang-orang provinsi berjuluk Serambi Mekkah itu begitu ramah-ramah. Mereka pun dapat menerima kehadiran orang-orang non muslim di daerahnya. Bahkan, mereka pun tidak pakai hijab bahkan berapa menggunakan celana ¾ dapat diterima.
“Memang tidak ada larangan, tapi lebih kepada imbauan. Dan, mereka (warga non muslim) pun menghormati itu,” kata Hermawan Syahputra warga asli Aceh Besar.
Bagi atlet yang bertanding, mereka pun mendapat sambutan hangat dari masyarakat Banda Aceh yang menyaksikan pertandingan di lapangan. Kendati tak pakai kerudung atau berbusana pendek mereka pun tetap memberikan sapaan dengan ramah. Tak jarang masyarakat meminta para atlet untuk bisa berfoto bersama.
“Orang Aceh sebetulnya ramah-ramah, suporternya seru dan baik-baik,” aku Atlet Basket Jatim Nathania Nicole Santoso.
Namun demikian, Nicole mengaku, bahwa ia dan teman-temannya harus beradaptasi menggunakan pakaian panjang untuk menghormati budaya yang ada.
“Mungkin kita kadang kayak pakai pakaian panjang kita kebiasaan pendek. Jadi kadang kita harus mengikuti adat yang ada. Awalnnya sih paling kalau keluar gak panjang semua kayak dilihatin tapi lama-lama biasa,” kata dia.
Hal senada juga diungkapkan oleh Christopher Rungkat Petenis Putra Jatim yang mengaku senang melihat keramahan orang Aceh.
“Masyarakat Aceh sangat ramah. Misalnya lalu baru sampai disambut gegap gempita, antusiasme penonton, terus sampai ada yang kirim kopi. Saya melihat masyarakat sini semangat lihat atlet luar daerah di Aceh, jadi kami merasa sangat welcome,” aku Christo.
Tak hanya soal itu saja, masyarakat di sini tampak begitu guyub. Warga Aceh sangat senang nongkrong bersama kerabat di warung-warung kopi dengan siapapun itu. Bahkan, kami yang baru dikenal sudah diajak ngobrol dengan santainya.
Kota 1.000 Warung Kopi
Sejauh mata memandang di setiap sudut Kota Banda Aceh banyak warung-warung kopi yang selalu diramaikan oleh warga mulai pagi, siang, malam, bahkan hingga dini hari.
Namun, sangat tampak kehidupan Kota Banda Aceh baru di malam hari dibanding pagi hingga sore hari saat jam kerja. Malam hari hampir semua warung kopi dan tempat makan diramaikan oleh warga.
“Kalau di sini tidak ada mal, tidak ada bioskop, yang ada ya warung kopi begini. Di sini julukannya Kota 1.000 warung kopi, orang-orang lebih senang nongkrong. Apalagi, kalau malam minggu sudah penuh semua warung-warung ini karena biasanya keluarga keluar Bersama,” ujar Hermawan.
Meski banyak warung kopi bahkan saling bersebelahan, namun kursi-kursinya nyaris selalu terisi oleh pengunjung. Warungnya juga tak seperti di Surabaya, pengunjung bisa menyaksikan cara penyajian kopi dengan cara yang tak biasa.
Kopi di sini dibuat dengan cara ditarik menggunakan dua gelas besar, saat menarik kopi dituang melalui saringan besar sehingga tidak ada ampas masuk dalam gelas.
Rasanya pun seperti kopi premium yang ada di kafe-kafe. Ada arabica dan robusta dengan ciri khas rasa masing-masing. Anehnya, harganya pun murah sekitar Rp10 ribu per gelasnya.
“Kalau teman-teman sih berkesan sama kuliner. Terutama Kopi. Kebetulan saya pecinta kopi, saya rasa salah satu kopi terbaik yang pernah saya coba,” ujar Christopher Rungkat.
Karena itu, cocok lah rasanya kalau ada kesempatan berlibur untuk menjadikan Aceh sebagai destinasi tujuan wisata.
Advertisement