Abu Sa'id Abul Khair, Insan yang Mengenal Cinta
Oleh: Ady Amar
“Seorang Sufi sejati biasa berada di antara orang-orang. Makan dan tidur bersama mereka. Membeli atau menjual sesuatu di pasar. Dia menikah dan kadang bercinta. Namun dia tidak pernah melupakan Tuhan.” (Syekh Abu Sa’id Abul Khair).
Syekh Abu Sa’id Abul Khair, salah satu Sufi penyair Persia generasi awal. Dilahirkan tahun 357 Hijriah atau 967 Masehi, di desa Meyhana, Khurasan Raya. Lahir seabad sebelum Fariduddin Attar.
Adalah sang cucu, dari generasi kelima, Muhammad Ibnu Munawwar, 130 tahun setelah
kematian Abu Sa’id, menulis buku Asrar at-Tawhid (Misteri Penyatuan), di tahun 574 Hijriah atau 1178 Masehi.
Dari buku itulah dunia mengenal Abu Sa’id dan syair-syair sufistiknya. Dan karenanya, Attar pun lalu menulis tentangnya yang dimuat dalam Tadzkiratul-Awliya’. Bahkan Attar menyebut Abu Sa’id sebagai pembimbing spiritualnya.
Sebelum buku Asrar at-Tawhid, belum ada buku lainnya yang membahas tentang Abu Sa’id. Setelah itu, sekitar empat abad setelah kematiannya, sebuah buku biografi tentangnya ditulis dalam bahasa Persia, Halat va Sohanan Sheikh Abu Saeed (Kehidupan dan Perkataan Syekh Abu Sa’id). Buku ini dianggap karya otoritatif paling penting tentang kehidupan Sufi besar ini.
Asrar at-Tawhid
Sejak kecil, Abu Sa’id menyenangi karya sastra klasik. Dia menyatakan, sebagaimana
diungkap dalam buku Asrar at-Tawhid, di mana disebutkan dia hafal 30.000 bait syair-syair era jahiliyah.
Pada suatu ketika, saat dia datang pada seorang alim, Abu Ali, dia mendengarkan ayat, “Katakanlah, Allah, kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (Q.S. al-An’am: 91).
Ayat tersebut terngiang di telinga tak mau pergi, sejak saat itu dia menyendiri di rumahnya, dan lalu mengasingkan diri selama tujuh tahun hanya untuk menyebut Asma-Nya, merupakan jalan menuju fana.
Dalam Asrar at-Tawhid itu pula didapat kisah demikian:
“Suatu ketika, ayahanda mengajakku menuju masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at. Di tengah perjalanan, kami berjumpa dengan Syekh Abu Qasim Bisyr Yasin. Dia dianggap sebagai pembesar para syekh.
Saat Syekh Abu Qasim melihatku, dia bertanya, ‘Ini putra siapa?’ Ayahku menjawab,
‘Putraku.’ Lalu, dia berada di depanku, sambil menatap wajahku. Aku melihat air matanya membasahi wajah teduh itu. Beliau lalu berkata pada ayahanda, ‘Wahai Abu Khair, hari ini aku melihat putramu kelak akan mencapai maqam kewalian’.”
Seorang penulis kritikus sastra, editor dan pengajar di Fakultas Sastra Universitas Teheran, Prof. Muhammad-Reza Shafiei Kadhani, yang juga meneliti khusus karya-karya Abu Sa’id, mengatakan, “Dari seluruh Rubaiyah dan Syair yang dinisbatkan pada Abu Sa’id, termasuk deretan penyair besar dan paling terkenal dalam sejarah Sastra Persia, dan (dianggap) sebagai ‘peletak dasar’, bahkan pelopor syair sufistik.
Beliau menyempurnakan Rubaiyah, bersama penyair terkemuka Persia lainnya, Omar Khayyam. Namun, Abu Sa’id yang utama, guru para guru yang mulia, berpikir jernih, dan terbuka.”
Dari literatur Sastra Persia-Islam klasik, Asrar at-Tawhid mendeskripsikan sejarah kehidupan beragama masyarakat pada saat itu.
Abu Sa’id termasuk Sufi dengan karakteristik khusus, terutama pada karyanya di bidang sastra sufistik, bahkan jika dibandingkan dengan Sufi Persia lainnya, al-Hallaj, Abu Yazid al-Bustami, dan lainnya. Di samping itu, beliau dikenal sebagai ahli hadits, dan sekaligus sastrawan.
Abu Sa’id mencintai puisi melebihi penyair pada umumnya. Kehidupannya sulit dipisahkan dengan syair-syair, kebanyakan dalam bentuk puisi dan prosa dengan bahasa yang mudah dipahami kalangan awam sekalipun.
Hari ketika kucapai tujuan dan aku temukan diriku bersama-Mu,
keriangan orang-orang yang Kau berkahi tidak menimbulkan kecemburuan bagiku,
jika ke ladang-ladang Elysian,
mereka memanggilku, tanpa Diri-Mu,
kepada hatiku yang merindu sendu, langit pun akan bersedih.
Kukatakan kepada-Nya: “Untuk siapa Keindahan-Mu tersibak?”
Dia menjawab: “Untuk Diri-Ku sendiri,
karena Aku adalah Aku sejak dulu:
Untuk Pencinta-Ku dan Cintailah Aku Sang Kekasih,
Akulah Cermin dan Keindahan:
Aku memandang Diri-Ku dalam Diri-Ku.”
Wahai sang arif yang telah mengenal misteri,
dari keakuan yang dibebaskan,
sekarang bersama Tuhan semata,
Sangkal dirimu, akui Kebenaran Hidup,
Allah adalah Tuhan, tiada siapa pun di samping-Nya.
Asrar at-Tawhid merupakan salah satu referensi klasik terpenting mengenai teks Piagam Irfan Persia Islam. Sebab, selain membahas pemikiran Abu Sa’id mengenai tasawuf, buku tersebut juga menjelaskan metode sufisme serta adab tasawuf, dan hubungan sosial di dalam maupun luar lingkaran Sufi dari perspektif sastra sufistik.
Asrar at-Tawhid dianggap karya bernilai sekaligus indah menawan, mengenai Sastra Sufi Islam. Muhammad Ibnu Munawwar menggunakan gaya penulisan sederhana dan jelas.
Namun demikian ia mampu menyampaikan “ruh” tasawuf sebagaimana dijelaskan Abu Sa’id Abul Khair.
Abu Sa’id Abul Khair, Sufi sekaligus penyair, yang berkontribusi besar pada perkembangan Sastra Sufi, meninggal dunia pada tahun 440 Hijriah atau 1048 Masehi, dalam usia 81 tahun. Dimakamkan di tanah kelahirannya Meyhana.
Tuliskan pada Batu Nisanku:
“Ini adalah makam insan yang mengenal cinta.”
(Syekh Abu Sa’id Abul Khair).**
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.
Advertisement