Abu Nawas pun Pusing, Ketika Penguasa Minta Harimau Berjenggot
Kisah Abu Nawas selalu menyisakan lelucon. Tanda seseorang yang cerdik. Ia adalah pujangga Arab dan merupakan salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Penyair ulung sekaligus tokoh sufi ini mempunyai nama lengkap Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami dan hidup pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M).
Terkadang permintaan Baginda Khalifah Harun Al-Rasyid nggak masuk di akal. Parahnya, jika permintaan itu tidak dituruti bisa berabe bagi Abu Nawas. Begitu juga yang terjadi pada hari itu.
“Hai Abu Nawas,” seru Khalifah Harun Al-Rasyid. “Sekarang juga kamu harus dapat mempersembahkan kepadaku seekor harimau berjenggot, jika gagal, aku bunuh kau.”
Abu Nawas hanya bisa menatap lantai bila sudah begitu. Dia menyadari Baginda sedang keluar bencinya kepada dirinya. Dari bentuk mulut dan intonasinya ketika mengucapkan kalimat itu jelas betapa Sultan sedang kesal dengan Abu Nawas.
“Ya tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas mau tidak mau. “semua perintah paduka akan hamba laksanakan, namun untuk yang satu ini hamba mohon waktu delapan hari.”
“Baik,” kata Baginda.
Alkisah, pulanglah Abu Nawas ke rumah. Agaknya ia sudah menangkap gelagat bahwa Raja sangat marah kepadanya, dicarinya akal supaya dapat mencelakakan dirinya.
"Ini perkara serius," pikir Abu Nawas gelisah. “Kali ini aku juga harus berhati-hati.”
Sesampainya di rumah dipanggilnya empat orang tukang kayu dan disuruhnya membuat kandang macan. Hanya dalam waktu tiga hari kandang itu pun siap sudah.
Kepada istrinya ia berpesan agar menjamu orang yang berjenggot yang datang ke rumah. “Apabila adinda dengar kakanda mengetuk pintu kelak, suruh dia masuk ke dalam kandang itu,” kata Abu Nawas sambil menunjuk kandang tersebut.
“Baik,” kata istrinya. Abu Nawas pun kemudian bergegas pergi ke Musalla dengan membawa sajadah.
“Hai Abu Nawas, tumben Lu salat di sini?” bertanya Imam dan penghulu mushalla itu.
"Sebenarnya saya mau menceritakan hal ini kepada orang lain, tapi kalau tidak kepada tuan penghulu kepada siapa lagi saya mengadu,” jawab Abu Nawas. “Tadi malam saya ribut dengan istri saya, itu sebabnya saya tidak mau pulang ke rumah,” dalih Abu Nawas.
“Pucuk dicinta, ulam tiba,” pikir penghulu itu. “Kubiarkan Abu Nawas tidur di sini dan aku pergi ke rumah Abu Nawas menemui istrinya. Sudah lama aku menaruh hati kepada perempuan cantik itu,” otak nakal penghulu itu mulai berandai-andai.
“Hai Abu Nawas,” kata si penghulu, “Bolehkah aku menyelesaikan perselisihan dengan istrimu itu?”
“Silakan,” jawab Abu Nawas. “Hamba sangat berterima kasih atas kebaikan hati tuan,” lanjutnya.
Maka pergilah penghulu ke rumah Abu Nawas dengan hati berbungan-bunga, dan dengan wajah berseri-seri diketuknya pintu rumah Abu Nawas. Begitu pintu terbuka ia langsung mengamit istri Abu Nawas dan diajak duduk bersanding.
“Hai Adinda,,,” katanya. “Apa gunanya punya suami jahat dan melarat. Lagi pula Abu Nawas hidupnya tak karuan. Lebih baik kamu jadi istriku. Kamu dapat hidup senang dan tidak kekurangan suatu apa,” rayunya.
“Baiklah kalau keinginan tuan demikian,” jawab istri Abu Nawas polos-polos saja.
Tak berapa lama kemudian terdengar pintu diketuk orang. Ketukan itu membuat penghulu belingsatan. “Ke mana aku harus bersembunyi," tanyanya kepada istri Abu Nawas.
“Tuan penghulu…silahkan bersembunyi di dalam kandang itu,” ujarnya lalu menunjuk kandang yang terletak di dalam kamar Abu Nawas.
Tanpa pikir panjang lagi penghulu itu masuk ke dalam kandang itu dan menutupnya dari dalam. Sedangkan istri Abu Nawas segera membuka pintu, sambil menengok ke kiri-kanan. Abu Nawas masuk ke dalam rumah.
“Hai Adinda, apa yang ada di dalam kandang itu?” tanya Abu Nawas.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Istrinya. “Apa putih-putih itu?” tanya Abu Nawas, lalu dilihatnya penghulu itu gemetar karena malu dan ketakutan.
Setelah delapan hari, sesuai janji dengan Baginda, Abu Nawas memanggil delapan kuli untuk memikul kandang itu ke Istana. Bagdad menjadi gempar karena orang-orang ingin melihat Harimau berjenggot. Seumur hidup, jangankan melihat, mendengar harimau berjenggot pun belum pernah.
Kini Abu Nawas malah dapat seekor. Mereka terheran-heran akan kehebatan Abu Nawas. Tetapi begitu dilihat penghulu di dalam kandang, mereka tidak bisa bilang apa-apa selain mengiringi kandang itu sampai ke Istana hingga menjadi arak-arakan yang panjang. Si penghulu malu bukan main. Tidak lama kemudian sampailah iring-iringan itu ke dalam Istana.
“Hai Abu Nawas, apa kabar?” tanya Baginda Sultan, “Apa kamu sudah berhasil mendapatkan harimau berjenggot?”
“Dengan berkat dan doa tuanku, Alhamdulillah hamba berhasil,” jawab Abu Nawas enteng.
Maka dibawalah kandang itu ke hadapan Baginda, ketika Baginda hendak melihat harimau tersebut, si penghulu memalingkan mukanya ke arah lain dengan muka merah padam karena malu.
Namun, ke mana pun ia menoleh, ke situ pula Baginda memelototkan matanya. Tiba-tiba Baginda menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub, sebab menurut penglihatan beliau yang ada di dalam kandang itu adalah penghulu Musalla.
Abu Nawas buru-buru menimpali, “Ya tuanku, itulah Harimau berjenggot.”
Tapi baginda tidak cepat tanggap. Beliau termenung sesaat. Kenapa penghulu dikatakan harimau berjenggot? Tiba-tiba baginda bergoyang ke kiri dan ke kanan seperti orang berdoa. “Hm, hm, hm oh penghulu…”
“Ya Tuanku Syah Alam,” kata Abu Nawas, “Perlukah hamba memberitahukan kenapa hamba dapat menangkap harimau berjenggot ini di rumah hamba sendiri ?”
“Ya, ya,” ujar Baginda sambil menoleh ke kandang itu dengan mata berapi-api. “ya aku maklum sudah.”
Bukan main murka baginda kepada penghulu itu, sebab ia yang semestinya menegakkan hukum, ia pula yang melanggarnya, ia telah berkhianat.
Baginda segera memerintahkan punggawa mengeluarkan penghulu dari kandang dan diarak keliling pasar setelah sebelumnya dicukur segi empat, agar diketahui oleh seluruh rakyat betapa aibnya orang yang berkhianat.
Advertisement